Informasi Terpercaya Masa Kini

Belajar dari Seven Eleven yang Menguasasi Dunia tetapi Gagal di Indonesia

0 5

Industri minimarket di Indonesia telah lama didominasi oleh pemain besar seperti Indomaret dan Alfamart. Dua merek ini telah membuktikan kemampuannya dalam menyajikan produk yang terjangkau dan mudah dijangkau oleh masyarakat Indonesia.

Namun demikian, tidak semua pemain dapat bertahan di pasar ini, bahkan dengan nama besar dan strategi global. Salah satu contoh nyata adalah Seven Eleven, yang meskipun dikenal di seluruh dunia, harus menutup pintunya di Indonesia setelah beroperasi selama hampir satu dekade.

Dalam artikel sederhana ini, kita akan menganalisis perjalanan Seven Eleven di Indonesia dan apa yang dapat dipelajari dari kegagalan mereka. Selain itu, kita juga akan membahas langkah terbaru dari Seven & i Holdings yang sedang mengejar strategi global yang lebih agresif untuk mengembangkan merek 7-Eleven di pasar internasional.

Seven Eleven di Indonesia: Mimpi Besar yang Terpaksa Pudar

Seven Eleven (Sevel) memasuki pasar Indonesia pada tahun 2009 dengan harapan besar untuk merevolusi konsep minimarket. Dengan membawa pengalaman ritel dari luar negeri, Sevel menawarkan konsep toko minimarket yang lebih premium, dengan tambahan kafe untuk tempat nongkrong bagi kalangan muda. Konsep ini terlihat menjanjikan, tetapi sayangnya, tidak dapat bertahan lama di pasar Indonesia.

Pada tahun 2017, Seven Eleven akhirnya menutup seluruh 136 gerainya di Indonesia setelah menghadapi berbagai tantangan yang menghambat kelangsungan bisnis mereka. Kegagalan Sevel memberikan pelajaran berharga yang dapat diterapkan oleh pemain ritel lainnya dalam menghadapi tantangan pasar Indonesia yang dinamis.

Penyebab Tutupnya Seven Eleven di Indonesia

Terdapat beberapa faktor kunci yang menyebabkan tutupnya Seven Eleven di Indonesia, yang bisa menjadi pelajaran penting untuk pemain ritel lainnya, termasuk Indomaret dan Alfamart serta peritel lainnya.

Model Bisnis yang Tidak Tepat Sasaran: Sevel mengusung model bisnis minimarket premium dengan kafe, yang bertujuan untuk menarik konsumen yang menginginkan lebih dari sekadar tempat berbelanja. Namun, pasar Indonesia lebih mengutamakan harga terjangkau dan kenyamanan praktis, bukan harga premium untuk pengalaman nongkrong di sebuah minimarket. Keputusan untuk menggabungkan konsep toko dengan kafe, tanpa memperhitungkan daya beli pasar lokal, menjadi salah satu kesalahan fatal dalam strategi Sevel.Biaya Operasional yang Tinggi: Konsep premium yang diusung oleh Sevel memerlukan biaya operasional yang tinggi, mulai dari biaya sewa lokasi yang strategis hingga biaya penyediaan makanan dan minuman premium. Dengan tingkat penjualan yang tidak memenuhi ekspektasi, biaya operasional yang tinggi semakin memperburuk kondisi keuangan Sevel.Target Pasar yang Salah: Sevel gagal memahami dengan tepat kebutuhan pasar Indonesia. Meskipun kalangan muda sering datang untuk nongkrong, banyak di antaranya yang hanya membeli produk dengan harga murah, tanpa berfokus pada pembelian makanan dan minuman premium. Hal ini menyebabkan pendapatan yang tidak optimal.Regulasi yang Berbeda: Salah satu penyebab lainnya adalah larangan penjualan alkohol yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 06/M-DAG/PER/1/2015. Minuman beralkohol, terutama bir, merupakan salah satu produk unggulan Sevel yang banyak diminati oleh pelanggan, terutama bagi mereka yang datang untuk sekadar nongkrong. Dengan adanya regulasi ini, Sevel kehilangan salah satu sumber pendapatan utama, yang berakibat pada penurunan daya tarik pelanggan.

Pelajaran untuk Industri Minimarket Indonesia

Kegagalan Seven Eleven di Indonesia memberikan pelajaran penting bagi industri minimarket di Indonesia, termasuk Indomaret dan Alfamart, yang dapat diambil untuk menghindari kesalahan serupa.

Mengetahui Kebutuhan Pasar Lokal: Penting bagi pemain minimarket untuk benar-benar memahami pasar lokal dan daya beli konsumen. Meskipun menawarkan konsep premium bisa menarik, harga yang terjangkau dan kemudahan berbelanja harus tetap menjadi prioritas utama dalam bisnis di Indonesia.Adaptasi terhadap Regulasi: Pemain minimarket harus bisa mengantisipasi perubahan regulasi yang dapat berdampak langsung pada penjualan. Jika ada perubahan terkait produk yang boleh dijual atau peraturan baru yang membatasi produk tertentu, penting bagi perusahaan untuk menyesuaikan strategi mereka dengan cepat.Efisiensi Biaya dan Model Bisnis yang Sesuai: Memiliki model bisnis yang efisien adalah kunci untuk bertahan di pasar Indonesia yang sangat kompetitif. Biaya operasional yang tinggi dan model yang tidak sesuai dengan preferensi konsumen dapat menjadi beban besar yang mengancam kelangsungan bisnis.

Seven & i Holdings: Mencapai Tujuan Global dengan Fokus pada 7-Eleven

Sementara Seven Eleven di Indonesia menghadapi kegagalan, Seven & i Holdings terus mempercepat strategi globalnya di tingkat internasional.

Pada 13 November 2024, Seven & i Holdings mengonfirmasi bahwa mereka telah menerima proposal pembelian dari Ito-Kogyo, yang terkait dengan keluarga pendiri, sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat strategi pertumbuhannya. Proposal manajemen buyout (MBO) ini, jika terwujud, bisa menjadi rekor terbesar dalam sejarah, dengan nilai tawaran mencapai $58 miliar.

Strategi global Seven & i Holdings berfokus pada pengembangan 7-Eleven secara internasional, dengan lebih dari 80.000 toko yang tersebar di 20 negara. Perusahaan ini bertujuan untuk menjadi “Grup ritel kelas dunia yang berfokus pada makanan dan inovasi distribusi”, dengan 7-Eleven sebagai inti dari ekspansi global mereka.

Untuk mempercepat ekspansi ini, Seven & i Holdings mendirikan 7-Eleven International LLC pada tahun 2021, yang bertujuan untuk mendukung pemegang lisensi di negara-negara tempat mereka beroperasi dan mempercepat ekspansi ke wilayah baru.

Langkah ini menunjukkan komitmen mereka untuk membangun merek 7-Eleven sebagai merek global yang semakin diakui dan dipercaya oleh konsumen.

Quick Commerce: Ancaman Baru bagi Dominasi Minimarket Tradisional

Di sisi lain, dengan munculnya quick commerce yang menawarkan pengantaran barang dalam waktu singkat, tantangan baru semakin mendekat ke industri minimarket tradisional.

Model bisnis ini mengancam posisi dominan Indomaret dan Alfamart yang harus beradaptasi dengan perubahan kebiasaan konsumen yang lebih memilih kenyamanan berbelanja online dan pengiriman cepat.

Merek seperti Astro memberikan pengalaman belanja yang jauh lebih praktis, mengantarkan barang dalam waktu 15 menit hingga kurang dari satu jam, yang memaksa minimarket tradisional untuk berinovasi lebih jauh.

Kesimpulan: Menatap Masa Depan Industri Minimarket

Meskipun Seven Eleven gagal bertahan di Indonesia, perjalanan mereka memberikan banyak pelajaran bagi para pemain ritel lainnya. Dari adaptasi terhadap regulasi, pemahaman terhadap pasar lokal, hingga pentingnya efisiensi biaya dan model bisnis yang tepat, industri minimarket Indonesia harus belajar untuk terus berinovasi dan memahami perubahan pasar dengan lebih baik.

Selain itu, dengan perkembangan quick commerce yang semakin pesat, industri minimarket harus menyesuaikan diri dengan tren teknologi dan kebiasaan konsumen yang semakin mengutamakan kecepatan dan kenyamanan dalam berbelanja.

Seven & i Holdings, di sisi lain, terus mempercepat ekspansi global 7-Eleven dan belajar dari pengalaman mereka di Indonesia untuk lebih bijaksana dalam strategi internasional. Melalui pembelian yang sedang dipertimbangkan oleh keluarga pendiri, langkah ini bisa menjadi titik balik bagi mereka untuk membangun kembali merek 7-Eleven menjadi lebih kuat dan lebih global.

Industri minimarket Indonesia, yang kini didominasi oleh pemain besar seperti Indomaret dan Alfamart, memiliki kesempatan untuk bertahan dan berkembang dengan memanfaatkan pelajaran dari kegagalan Sevel dan mengadopsi inovasi yang relevan dengan pasar modern yang terus berubah.

Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)

Leave a comment