Pilpres AS 2024, 5 Alasan Kenapa Kamala Harris Kalah dari Donald Trump
WASHINGTON, DC, KOMPAS.com – Donald Trump dipastikan menang dalam Pilpres AS 2024 dan akan kembali ke Gedung Putih setelah mengalahkan pesaingnya, Kamala Harris.
Tak seperti penghitungan suara yang berlarut-larut pada 2020, Trump terus unggul sejak awal dalam pertarungannya dengan Kamala Harris. Mayoritas warga Amerika di negara bagian medan pertempuran utama memilih Trump.
Harris, yang dijagokan oleh Partai Demokrat saat Presiden Joe Biden mengundurkan diri dari Pilpres 2024 pada Juli silam, adalah kandidat perempuan kedua yang kalah dari Trump, setelah kekalahan Hillary Clinton pada 2016.
Baca juga: Mengapa Kamala Harris Kehilangan Dukungan Pemilih Perempuan AS?
Dalam artikel ini, kami menelisik lima alasan mengapa Harris kalah dari Trump.
Ekonomi
Kendati tingkat pengangguran rendah dan pasar saham menguat, kebanyakan warga Amerika mengatakan mereka merasakan tekanan kenaikan harga.
Isu ekonomi telah menjadi perhatian utama bagi para pemilih.
Inflasi yang terjadi pascapandemi—melonjak ke level yang belum terlihat sebelumnya sejak 1970-an—telah memberikan angin segar bagi Trump untuk bertanya: “Apakah (kondisi) Anda lebih baik sekarang dibandingkan empat tahun lalu?”
Pada 2024, para pemilih di seluruh dunia telah beberapa kali melengserkan partai yang berkuasa, yang sering kali didorong oleh tingginya biaya hidup pasca-Covid. Para pemilih AS tampaknya juga mendambakan perubahan.
Hanya satu dari empat warga Amerika merasa puas dengan arah negara itu, dan dua per tiga memiliki pandangan pesimistis terkait ekonomi.
“Inflasi—didorong oleh anggaran belanja Biden yang besar—tetap menjadi masalah yang mengganggu, dan sentimen pemilih tentang agenda Biden terus negatif sehingga membuat pencalonan Harris menjadi lebih berat,” menurut kolumnis Foreign Policy, Michael Hirsh.
Lebih dari setengah pemilih berkata mereka lebih memilih Trump ketimbang Harris dalam hal penanganan ekonomi—dengan 31 persen pemilih bilang ekonomi adalah masalah utama mereka, menurut data jajak pendapat CNN.
Baca juga: Biden-Harris Tampil Bersama di Hari Veteran Usai Kekalahan Pemilu AS
Beban Biden
Setelah Biden keluar dari persaingan menyusul penampilan debat yang buruk, Harris dilantik sebagai kandidat pengganti Biden dalam pemilihan presiden AS.
Ia memulai kampanye 100 harinya dengan menjanjikan “generasi kepemimpinan baru”, menggalang dukungan perempuan untuk hak aborsi.
Dia juga bersumpah untuk memenangkan kembali suara kelas pekerja dengan berfokus pada isu-isu ekonomi termasuk meningkatnya biaya dan keterjangkauan perumahan.
Dengan hanya tiga bulan menjelang hari pemilihan, pencalonannya dalam Pilpres 2024 telah menghasilkan gelombang momentum, meliput daftar dukungan dari pesohor seperti Taylor Swift, hingga jumlah sumbangan yang memecahkan rekor.
Namun, Harris tidak dapat menghilangkan sentimen anti-Biden yang merasuki sebagian besar pemilih.
Tingkat kepuasan terhadap Biden secara konsisten berkisar di angka 40-an selama empat tahun masa jabatannya, sedangkan sekitar dua pertiga pemilih mengatakan, mereka yakin AS berada di jalur yang salah.
Harris mencoba menjaga jarak dengan bosnya, menunjukkan keengganan untuk memutuskan hubungan dengan kebijakan Biden.
Bahkan, Harris tak mempromosikan kebijakan-kebijakan itu secara terbuka selama kampanyenya.
Namun, ia kemudian gagal menyampaikan argumen yang meyakinkan tentang mengapa ia harus memimpin Amerika, dan bagaimana ia akan menangani tekanan ekonomi serta kekhawatiran yang meluas tentang imigrasi.
David Axelrod, mantan penasihat Barack Obama, menyebut pernyataan itu—yang kemudian digunakan dalam iklan kampanye Trump—”berdampak buruk” bagi Harris.
Selain itu, ada “krisis citra” di Partai Demokrat, menurut sumber BBC.
Seorang politikus Demokrat di Washington DC mengatakan kepada Ione Wells dari BBC bahwa partai itu “perlu menyingkirkan para elite sombong di DC sebagai permulaan.”
Yang lain, meski memuji upaya kampanye itu, merasa partai itu punya “masalah citra,” terutama karena isu-isu seperti biaya hidup sangat membebani pikiran para pemilih.
“Keputusasaan Demokrat ini mengingatkan saya pada percakapan saya dengan seorang Republikan di kampanye Trump,” kata Wells.
“Ia mengeklaim kandidat mereka telah sepenuhnya ‘menata ulang’ Partai Republik, menjauh dari citra pedesaannya untuk menarik keluarga kelas pekerja, sementara Demokrat telah menjadi ‘partai Hollywood’.”
Baca juga: Dampak Serius Kekalahan Kamala Harris bagi Dinamika Politik AS
Isu sosial
Di luar ekonomi, pemilu sering kali dibentuk oleh isu-isu yang bermuatan emosional.
Partai Demokrat mengandalkan aborsi untuk memengaruhi pemilih, sedangkan Trump bertaruh pada isu imigrasi.
Perlintasan perbatasan yang mencapai rekor tertinggi selama pemerintahan Biden dan dampak imigrasi di negara-negara bagian yang jauh dari perbatasan telah membuat para pemilih lebih memercayai Trump dalam isu imigrasi, menurut jajak pendapat yang dilakukan Pew Research Center.
Sementara itu, Harris berkampanye dengan giat untuk memulihkan akses aborsi dan mengamankan keunggulan 54 persen pemilih perempuan dibanding 44 persen pemilih pria, menurut jajak pendapat exit poll Edison Research.
Namun, ini adalah margin yang lebih sempit daripada keunggulan Biden, yakni 57 persen berbanding 42 persen pada 2020.
Sedangkan untuk Trump, 54 persen pendukungnya adalah pria, sedangkan 44 persen adalah perempuan.
Pada akhirnya, isu aborsi tidak memiliki dampak yang sama kuat seperti yang terjadi pada 2022, ketika Demokrat tampil lebih baik dari yang diharapkan dalam pemilihan paruh waktu.
Niall Ferguson, peneliti senior di Hoover Institution di Universitas Stanford, mengatakan bahwa pemilih AS telah “dengan tegas menolak kebijakan empat tahun terakhir.”
Ia berpendapat bahwa orang Amerika menentang kebijakan ekonomi yang gagal yang menyebabkan lonjakan inflasi, kebijakan luar negeri yang menyebabkan perang di Timur Tengah, dan agenda sosial yang sering dicap sebagai “woke”—yang berarti waspada terhadap rasisme dan diskriminasi.
“Dalam berbagai manifestasinya yang progresif, agenda ini tidak hanya mengasingkan orang Amerika kulit putih, bukan hanya orang Amerika kelas pekerja, tetapi juga orang Amerika Latin, Hispanik, dan mengasingkan orang-orang di seluruh negeri,” katanya kepada program Today di BBC Radio 4.
“Partai Demokrat telah menerima pesan yang jelas: Warga Amerika tidak menginginkan kebijakan ini. Mereka menginginkan perdamaian melalui kekuatan dan kemakmuran tanpa inflasi.”
“Mereka tentu tidak menginginkan ‘wokers’ dalam kebijakan sosial.”
Baca juga: Perempuan Belum Dapat Menyelamatkan Harris di Pemilu AS 2024
Kurang populer di kalangan pemilih kulit hitam dan latin
Kembalinya Trump ke Gedung Putih menjadi lebih pasti ketika ia mengamankan Pennsylvania dan 19 suara elektoralnya—negara bagian yang hanya pernah kalah satu kali oleh Demokrat sejak 1988, ketika Trump mengalahkan Hillary Clinton pada 2016.
Kampanye Harris menggelontorkan sumber daya ke negara-negara medan pertempuran seperti Arizona, Nevada, Georgia, dan North Carolina, dengan harapan dapat memenangkan suara dari Partai Republik moderat dan Independen yang frustrasi oleh perpecahan era Trump.
Namun, investasi itu gagal membuahkan hasil.
Dukungan Demokrat yang biasa di antara pemilih kulit hitam, Latino, dan yang lebih muda terpecah dan sementara Harris mempertahankan sejumlah dukungan pemilih di pinggiran kota yang berpendidikan perguruan tinggi.
Namun itu tidak cukup untuk mengimbangi perolehan suara Trump di basis Demokrat yang kuat.
Jajak pendapat exit poll Edison Research menunjukkan Harris menang dengan perolehan suara 86 persen pemilih kulit hitam berbanding 12 persen, dan 53 persen pemilih Latin berbanding 45 persen.
Namun, pada 2020, margin Biden lebih besar, mengamankan 87 persen pemilih kulit hitam dan 65 persen pemilih Latin.
Sementara Trump memperoleh perolehan suara terbesar di kalangan pria Latin, dengan perolehan suara 54 persen berbanding 44 persen atas Harris, dibandingkan dengan kemenangan Biden sebesar 59 persen berbanding 36 persen di antara kelompok yang sama pada 2020.
Harris, dibandingkan dengan kemenangan Biden pada 2020, juga berkinerja buruk di daerah pedesaan yang mayoritas penduduknya adalah Republikan.
Baca juga: Kamala Harris dan Kegagalan Endorsement Politik
Fokus yang berlebih terhadap Trump
Seperti yang dilakukan Hillary Clinton pada 2016, Harris sangat berfokus menjatuhkan Trump dan menudingnya tak layak untuk menjabat sebagai presiden.
Sejak awal, Harris memposisikan persaingan sebagai referendum terhadap Trump.
Pada minggu-minggu terakhir kampanye, ia meningkatkan retorikanya, menyebut Trump sebagai seorang “fasis,” “tidak waras,” dan “tidak stabil,” mengutip pernyataan mantan Kepala Staf Gedung Putih, John Kelly, tentang dugaan kekaguman Trump terhadap Hitler.
Ia membingkai pilpres kali ini sebagai perjuangan untuk demokrasi, menggemakan pendekatan Biden sebelum ia keluar dari persaingan pada Juli.
“Kamala Harris kalah dalam pemilihan ini ketika ia hampir secara eksklusif berfokus menyerang Donald Trump,” tulis Frank Luntz, pencatat jajak pendapat di X, yang sebelumnya bernama Twitter.
“Para pemilih sudah mengenal Trump; mereka ingin tahu lebih banyak tentang rencana Harris untuk hari-hari pertama dan tahun pertama masa jabatannya.”
Baca juga: 10 Alasan Harris dan Trump Berharap Menang di Pilpres Amerika Hari Ini