Banyak Cacat, Amazon Tunda Peluncuran Alexa Berbasis AI Generatif
Amazon akan menunda peluncuran asisten digital Alexa versi terbaru yang didukung oleh AI generatif hingga tahun depan. Rencananya, Alexa versi terbaru itu baru akan meluncur pada akhir tahun ini. Amazon mengungkapkan alasan utama penundaan itu karena mengalami berbagai tantangan dalam tahap pengembangan dan uji coba. Amazon berencana membuat Alexa lebih pintar dan andal dengan kemampuan percakapan yang lebih alami, tetapi beberapa masalah muncul selama pengujian.
Menurut laporan Bloomberg, Alexa versi terbaru itu masih terhambat dalam tahap pengembangan dan akses beta-nya telah ditutup. Salah satu masalah utama adalah model bahasa besar (LLM) yang digunakan oleh Alexa, yang sering gagal melakukan tugas dasar seperti mengatur timer atau mengoperasikan lampu pintar.
“Alexa versi ini sangat baik dalam mengumpulkan dan menggabungkan data, tetapi kurang efektif dalam “mengambil tindakan” untuk pengguna,” kata CEO Amazon Andy Jassy.
Selain itu, para pengguna beta melaporkan bahwa Alexa memberikan jawaban yang panjang dan tidak relevan dengan pertanyaan awal, serta kadang memberikan informasi yang salah. Awalnya, Amazon berencana memperkenalkan versi baru Alexa pada 17 Oktober 2024, namun mereka memilih untuk menampilkan seri baru Kindle ereader pada tanggal tersebut.
Pada Agustus 2024, ada kabar bahwa Alexa baru akan didukung oleh AI dari Anthropic’s Claude dan memerlukan biaya langganan bulanan. Meskipun Alexa telah melewati tahap “cukup baik” dan para eksekutif Amazon percaya bahwa teknisi mereka dapat mengembangkan versi beta pada awal 2024, Amazon gagal memenuhi tenggat waktu ini.
Beberapa karyawan menyatakan bahwa masalah utama di luar pengembangan Alexa adalah manajemen Amazon yang kelebihan beban dan kurangnya visi yang jelas untuk AI Alexa. Walaupun demikian, Amazon tetap berkomitmen untuk mengatasi masalah ini sebelum meluncurkan versi baru secara global.
Dengan penundaan ini, pengguna Alexa harus menunggu lebih lama untuk melihat peningkatan yang dijanjikan. Meski demikian, potensi untuk versi Alexa yang lebih cerdas dan interaktif tetap tinggi, dan Amazon berkomitmen untuk menghadirkan versi yang lebih baik pada tahun 2025.
Pakai Energi Nuklir
Amazon telah melakukan investasi besar-besaran dalam energi nuklir, bergabung dengan perusahaan teknologi besar lainnya seperti Microsoft dan Google yang mencari sumber daya listrik terbaru untuk memenuhi kebutuhan energi tinggi dari cloud computing dan kecerdasan buatan (AI).
Dalam upaya memperluas kapasitas pusat data, Amazon menandatangani tiga perjanjian untuk mendukung pengembangan Reaktor Modular Kecil (SMR), yang dianggap lebih mudah diterapkan dibandingkan reaktor nuklir konvensional. Meskipun teknologi itu masih dalam tahap pengembangan dan belum sepenuhnya disetujui, Amazon berkolaborasi dengan Energy Northwest untuk membangun empat SMR canggih di negara bagian Washington, dengan potensi kapasitas hingga 960 megawatt (MW) pada awal 2030-an.
Selain itu, Amazon juga berinvestasi sebesar USD500 juta di X-energy, pengembang SMR terkemuka, untuk mendukung lebih dari lima gigawatt proyek energi nuklir baru seperti dikutip AFP.
Sementara itu Google mulai menggunakan energi nuklir untuk menjalankan teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan menuju energi terbaru, mengingat penggunaan dan pengembangan AI sangat boros energi listrik. Google menggandeng Kairos Power, sebuah perusahaan teknologi energi, di Three Mile Island, yang dikenal sebagai lokasi insiden nuklir terbesar di Amerika Serikat (AS).
Michael Terrell (Direktur Senior Google untuk Energi dan Iklim) mengatakan energi nuklir sangat penting untuk mendukung pertumbuhan AI, karena jaringan energi membutuhkan sumber daya yang bersih dan andal. “Kerja sama ini mendukung pengembangan proyek reaktor modular kecil (SMR) pertama Kairos. PLTN ini akan beroperasi sebelum akhir dekade dan menghasilkan 500 megawatt listrik pada 2035,” katanya.
Penggunaan SMR dinilai lebih kompak dan efisien dibanding reaktor nuklir konvensional, meski teknologi ini masih dalam tahap awal dan memerlukan persetujuan regulator. Perusahaan lain, seperti Microsoft, juga berinvestasi dalam teknologi SMR, dengan dukungan dari Bill Gates.
Terrell menekankan bahwa energi nuklir merupakan bagian dari strategi jangka panjang Google untuk memastikan pasokan energi bebas karbon sekaligus mendukung penggunaan AI yang semakin berkembang. “Jika proyek ini berhasil dikembangkan secara global, akan memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan jaringan energi dunia,” katanya.
Namun, meskipun dianggap lebih konsisten daripada tenaga surya atau angin, energi nuklir masih diperdebatkan karena risiko limbah radioaktif, potensi kecelakaan, dan biaya tinggi. Tragedi Three Mile Island pada 1979 menimbulkan kekhawatiran, meskipun Komisi Pengaturan Nuklir AS menyatakan tidak ada dampak kesehatan signifikan dari insiden tersebut.
Microsoft sendiri akan memanfaatkan energi nuklir dari Three Mile Island untuk memperkuat jaringan listrik yang melayani 13 negara bagian. Konsumsi daya pusat data yang sangat besar telah menyebabkan kekhawatiran terkait stabilitas jaringan listrik terutama dengan meningkatnya kebutuhan energi akibat AI. AWS juga berinvestasi sebesar USD650 juta atau sekitar Rp10 triliun di sebuah pusat data yang didukung oleh pembangkit listrik nuklir lain di Pennsylvania.
Meskipun begitu, energi nuklir masih memiliki banyak penentang karena masalah limbah radioaktif, potensi kecelakaan, serta biaya tinggi terkait pembangunan dan penutupan pembangkit.
Baca Juga: Bos Apple Berhenti Sebut Indonesia Setelah iPhone 16 Series Diblokir