Ke Mana Tentara Lebanon Saat Hizbullah Berkonflik dengan Israel?
SAAT konflik antara Israel dan kelompok Hizbullah di Lebanon terus mengarah ke perang, seperti yang terjadi saat ini, banyak orang bertanya, apakah negara Lebanon punya tentara? Jika punya, mengapa tentaranya tidak berperan dalam konflik itu? Ke mana mereka?
Lebanon punya tentara. Namun peran dan posisi mereka rumit dan dilematis ketika berhadapan dengan kelompok-kelompok bersenjata seperti Hizbullah. Selain sebagai kelompok bersenjata dengan kekuatan militer yang besar, Hizbulah juga merupakan kelompok politik (partai politik) dengan pengaruh yang signifikan tak hanya di Lebanon tetapi juga di kawasan Timur Tengah.
Hubungan yang Rumit
Saat konflik Hizbullah dengan Israel meletus, misalnya pada Perang Lebanon tahun 2006, tentara Lebanon bersikap pasif. Mereka tak terlibat atau melibatkan diri dalam konflik itu. Salah satu alasannya adalah kompleksitas hubungan antara militer Lebanon dan kelompok-kelompok bersenjata di negara itu.
Baca juga: Kondisi Lebanon Disebut Mencekam, Serangan Israel Meluas ke Beirut
Lebanon dikenal sebagai negara dengan keragaman agama dan politik yang sangat kompleks. Sistem politiknya, yang didasarkan pada pembagian kekuasaan berbasis kelompok-kelompok agama, menciptakan keseimbangan yang rapuh. Dalam konteks ini, tentara Lebanon sering kali mengambil posisi netral dalam banyak konflik besar demi menghindari risiko perpecahan seperti perang saudara.
Khalil Helou, jenderal Lebanon yang sedang cuti dan menjadi profesor geopolitik di Universitas St Joseph Beirut, mengatakan kepada Euronews bahwa peran tentara di Lebanon bukan hanya untuk mempertahankan perbatasan negara.
“Mereka bukan tentara klasik seperti tentara di negara-negara Barat. tentara Lebanon tunduk pada instruksi pemerintah Lebanon,” katanya.
“Saat ini, dan untuk jangka waktu yang lama, telah terjadi perpecahan yang esktrem. Tentara dibiarkan sendiri. Sekarang siapa pun yang memimpin tentara, siapa pun panglima tentara, mereka harus mengambil keputusan yang menurut mereka paling sesuai,” tambah Helou.
Lebanon dan militer regulernya mempunyai beberapa masalah penting yang harus dipertimbangkan, yang semuanya mempunyai konsekuensi serius.
Jika tentara Israel mengubah serangan udaranya saat ini terhadap Hizbullah menjadi perang darat seperti tahun 2006, kekerasan akan meluas dari Lebanon selatan dan Lembah Bekka ke seluruh negeri itu, dan seluruh Timur Tengah berada dalam ancaman.
Selama invasi Israel tahun 2006, tentara reguler Lebanon menghindari konfrontasi dengan Israel, meskipun beberapa pangkalan militernya dibom. tentara Lebanon tidak menggunakan kekuatannya untuk melucuti senjata Hizbullah meskipun ada ketentuan menyatakan hal itu dalam Resolusi PBB Nomor 1701.
Lebanon Selatan dan Lembah Bekka seharusnya berada di bawah perlindungan hukum Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1701. Resolusi itu menetapkan pembentukan pasukan penjaga perdamaian PBB, UNIFIL, di wilayah Selatan.
Resolusi itu juga memberikan peran kepada tentara reguler Lebanon, dan menyerukan kepada Pemerintah Lebanon dan UNIFIL “untuk mengerahkan pasukan mereka secara bersama-sama” sehingga “tidak akan ada senjata (yang digunakan) tanpa persetujuan dari Pemerintah Lebanon dan tidak ada otoritas selain Pemerintah Lebanon” setelah penarikan tentara Israel dari wilayah itu.
Keseimbangan yang Rapuh
Pada tahun 1975 hingga 1990, Lebanon dilanda perang saudara, dan menjadi arena militer bagi aktor-aktor regional dan negara-negara besar.
Rezim politik Lebanon saat ini merupakan sebuah keseimbangan yang rumit antara perwakilan komunitas agama yang berbeda, dan tentara secara konstitusional berada di bawah lembaga-lembaga politik yang anggotanya memiliki pandangan yang saling bertentangan mengenai krisis yang sedang berlangsung.
Baca juga: Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah Tewas, Warga Lebanon Tak Percaya
“Jika terjadi serangan darat, unit-unit militer yang dikerahkan di selatan harus mempertahankan diri dan mempertahankan wilayah Lebanon dengan segala sarana yang mereka miliki,” kata Helou.
“Tetapi pada dasarnya, misi dari brigade-brigade yang dikerahkan di wilayah Selatan adalah untuk bekerja sama dengan UNIFIL dan bukan untuk menggunakan kekuatan. Jadi ini bukan pasukan tempur, ini bukan pasukan yang akan melawan Israel. Keseimbangan kekuatan sama sekali tidak menguntungkan kami dalam situasi ini.”
Menurut Resolusi 1701, Hizbullah seharusnya menarik kelompok bersenjatanya keluar dari Lebanon Selatan, dan khususnya sistem misilnya yang mampu menyasar Israel, tetapi kelompok itu tidak mematuhi hal tersebut.
Hizbullah secara formal merupakan kekuatan politik Lebanon yang sah dan konstitusional, yang sebagian besar terdiri dari kaum Muslim Syiah Lebanon. Kekuatan bersenjatanya beroperasi sebagai kontingen yang sangat efektif, terpisah dari struktur komando tentara Lebanon, dan bertindak sebagai perpanjangan tangan Iran.
Ketika Hizbullah mengambil inisiatif sepihak untuk menyerang Israel, kekuatan politik Lebanon lainnya dan tentara Lebanon tidak berdaya.
Banyak orang Lebanon dari berbagai kelompok agama tidak akan menganggap kekalahan Hizbullah sebagai masalah besar; mereka bisa dengan mudah menerimanya. Namun, di Lebanon, semua orang tahu bahwa ada batas-batas antar-komunitas yang tidak bisa dilanggar.
“Berkonfrontasi dengan Hizbullah adalah jalan yang pasti dan otomatis menuju perang saudara. Dan para komandaan militer menyadari bahwa prioritas utama adalah stabilitas internal, bukan perang yang dapat berlarut-larut antara tentara (Lebanon) dengan Hizbullah,” kata Helou.
Hubungan antara Hizbullah dan struktur keamanan Lebanon juga ditandai dengan beberapa momen kerja sama penting yang konstruktif:
“Kita hanya perlu memikirkan kolaborasi antara Hizbullah dan tentara Lebanon selama periode ekspansi ISIS di Suriah dan Irak, ketika unsur-unsur yang terkait dengan kelompok ISIS dan Al-Nusra hadir dan beroperasi di Lebanon terkait dengan persiapan, pelatihan, dan perekrutan,” kata Claudio Bortolotti, peneliti di International Politics Research Institute yang berbasis di Milan, kepada Euronews.
Sayap bersenjata Hizbullah memiliki struktur paramiliter yang khas. Kelompok itu memiliki kapasitas balistik yang kuat, namun menggunakan unit gerilya sebagai infanteri dan tidak memiliki angkatan udara atau resimen tank.
Sebaliknya, tentara reguler Lebanon memiliki struktur militer yang khas tetapi persenjataannya tidak memadai.
Keterbatasan Militer Lebanon
Alasan lain mengapa militer Lebanon tidak berperan aktif dalam konflik adalah keterbatasan kekuatan militer. tentara Lebanon memiliki peralatan yang kurang modern dan sumber daya yang terbatas jika dibandingkan dengan Hizbullah, apalagi dengan militer Israel. Kekuatan tentara konvensional mereka lebih diarahkan untuk menjaga stabilitas internal ketimbang menghadapi ancaman eksternal seperti Israel.
Hal ini membuat mereka cenderung menghindari bentrokan langsung, karena kekhawatiran bahwa mereka tidak akan mampu menghadapi Israel secara efektif, sementara Hizbullah dengan taktik gerilyanya lebih siap untuk bertempur di medan seperti itu.
tentara Lebanon memiliki posisi strategis yang sulit. Mereka lebih fokus untuk mempertahankan keutuhan negara dan menekan konflik internal yang berpotensi memecah-belah negara. Selain itu, keterbatasan anggaran dan dukungan dari komunitas internasional membuat mereka tidak bisa melakukan modernisasi besar-besaran, sehingga fokus mereka lebih banyak pada keamanan internal daripada ikut campur dalam konflik eksternal yang didominasi Hizbullah.
Pengaruh Internasional Selain faktor internal, militer Lebanon juga dipengaruhi oleh tekanan internasional. Konflik antara Hizbullah dan Israel selalu mendapat perhatian besar dari komunitas internasional, termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan negara-negara Arab lainnya. Dalam banyak kasus, tentara Lebanon mendapat tekanan untuk tidak terlibat secara langsung dalam konflik, guna menghindari eskalasi yang lebih besar.
Negara-negara Barat lebih memilih agar tentara Lebanon berfungsi sebagai kekuatan stabilisasi di dalam negeri ketimbang ikut terlibat dalam konflik yang melibatkan Israel dan Hizbullah.
Sejumlah analis mengatakan, tekanan diplomatik semacam itu membuat tentara Lebanon lebih memilih untuk menjaga ketertiban di dalam negeri dan membiarkan Hizbullah berhadapan dengan Israel. Ada kekhawatiran bahwa keterlibatan langsung tentara Lebanon dalam konflik bisa memicu intervensi asing yang lebih luas, dan ini dianggap akan menambah ketegangan di kawasan yang sudah sangat tidak stabil.