Informasi Terpercaya Masa Kini

CERITA Prajurit Cakrabirawa Culik Jenderal AH Nasution saat Tragedi G30S/PKI

0 5

TRIBUN-MEDAN.com – Peristiwa G30S/PKI atau Gerakan 30 September 1965 yang didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi cerita kelam dalam perjalanan Bangsa Indonesia.

Peristiwa itu menyeret pasukan Cakrabirawa, satuan yang dibentuk khusus untuk melindungi atau mengamankan Presiden RI, saat itu Soekarno dan keluarganya.

Nama Cakrabirawa pun tercoreng usai peristiwa penculikan para jenderal pahlawan revolusi.

Mereka dianggap terlibat dalam peristiwa itu hingga harus dihukum dan dikutuk karena perbuatannya.

Hingga sekarang, pasukan Cakrabirawa masih mendapat stigma buruk di masyarakat karena banyak narasi yang menyudutkan mereka, melalui bermacam media.

Sulemi, mantan anggota Cakrabirawa dari Kabupaten Purbalingga termasuk yang beruntung masih diberi nafas panjang.

Nasibnya tak berakhir di ujung senapan seperti temannya yang dihukum mati. Meski ia harus merasakan siksa pedih di penjara.

Kehidupannya selepas bebas dari penjara juga sulit karena terus-terusan menanggung stigma. Pengalaman pedih di penjara masih tertanam di bawah sadarnya.

Ia masih suka mengigau hingga mengerang sakit seperti sedang disiksa. Wajah-wajah bengis itu seperti mudah menyelinap dalam mimpinya.

Dalam wawancara dengan Tribun, beberapa waktu lalu, Sulemi sempat menunjukkan bekas siksaan yang membekas di tubuhnya saat di penjara Salemba.

Kuku jempol kakinya yang tak tumbuh normal jadi saksi bisu aksi penyiksaan itu. 

Kuku yang dicabut paksa menggunakan tang adalah siksa paling perih yang dia rasakan.

Selain itu, ia sudah kenyang dengan bermacam jenis hukuman di penjara.

Ia masih mengingat saat kedua tangannya diikat di kursi, lalu tubuhnya disetrum dengan tegangan listrik hingga ia terpental.

Kakinya pernah ditindih kaki kursi, lalu petugas mendudukinya dengan sekuat tenaga.

Tubuh Sulemi sampai harus digotong menuju sel karena tak bisa berjalan usai diperiksa.

Sulemi meyakinkan ia tak sedang mengarang cerita. Ia hanya menyampaikan pengalamannya. Ia pun siap menanggung risiko atas kejujurannya.

Seperti saat ia masih dipenjara karena dituduh terlibat dalam G30 SPKI. Dalam kondisi tertekan hingga disiksa, Sulemi tak pernah mengubah pendiriannya.

Ia selalu membantah tuduhan atas keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Saya lebih baik mati disiksa daripada harus mengakui sebagai komunis,” katanya saat itu

Ia hanyalah seorang prajurit rendah, begitu pun teman-temannya sesama anggota Cakrabirawa.

Ia tidak mungkin berani mengambil keputusan sendiri untuk menjemput Jenderal AH Nasution, kecuali atas perintah komandan.

PKI, atau partai apa pun yang berhaluan politik, ia tak punya kepentingan di dalamnya.

Sebagai seorang prajurit, ia hanya melaksanakan perintah untuk kepentingan melindungi negara.

Suatu hari di Bulan September 1965, Sulemi dan sejumlah anggota Cakrabirawa dikumpulkan oleh Komandan Batalyon 1 Kawal Kehormatan (KK) Cakrabirawa Letkol Untung Samsuri.

Di situ diumumkan situasi negara sedang gawat. Muncul isu akan ada kudeta dari sejumlah perwira Angkatan Darat pada tanggal 5 Oktober 1965.

Isu ini perlu disikapi serius. Cakrabirawa harus siaga untuk melindungi Presiden Soekarno.

Pada 28 September 1965, dalam apel terbuka, seluruh pasukan Cakrabirawa dipersiapkan untuk menjemput para jenderal kontrarevolusi pada 1 Oktober dini hari.

Isu kudeta ini tentu membuat Cakrabirawa berang. Terlebih mereka punya tugas khusus untuk melindungi presiden, termasuk dari upaya kudeta.

Mendengar pengumuman itu, Sulemi pun berpikir, Presiden Soekarno dalam bahaya. Ada yang akan menggulingkan pemimpin revolusi.

“Pikiran kami, ada yang mau menggulingkan pemimpin revolusi. Karena itu kami siap melaksanakan perintah komandan,” katanya.

Pada 30 September 1965, sebelum misi itu dijalankan, ia melihat Letkol Untung bersama Kolonel Latief sempat menemui Panglima Kostrad Soeharto di RS Subroto. Soeharto saat itu sedang menunggui Tommy Soeharto yang dirawat karena tersiram air panas.

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, pasukan disebar untuk menjemput para jenderal. 

Satu rombongan penjemput jenderal berisi sekitar 35 prajurit, termasuk di dalamnya anggota Cakrabirawa.

Sulemi termasuk dalam rombongan pasukan yang bertugas menjemput Jenderal AH Nasution.

Pemahaman Sulemi, rombongan pasukannya diperintah untuk menjemput AH Nasution agar menghadap Presiden Soekarno. Namun, Nasution berhasil lolos keluar dengan melompat pagar.

Cerita Ishak Bahar

Terpisah, Ishak Bahar (87), mantan Komandan Regu Pengawal Istana Batalion Cakrabirawa, menyampaikan keterangan tak jauh berbeda.

Ia merupakan pasukan Cakrabirawa yang mengawal Letkol Untung dan Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), ke Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Di sana, Ishak diperintahkan untuk bersiaga di sebuah rumah pondok. Menjelang tengah malam, pasukan Batalyon Cakrabirawa yang lain datang berduyun-duyun.

“Saya kaget malah, pasukan-pasukan datang, ya anggota Cakrabirawa, teman-teman saya. Tahu-tahu dibagi regu untuk menculik jenderal. Saya tidak (menculik), saya ngawal Untung di Lubang Buaya,” ujar Ishak.

Masuk 1 Oktober pukul 01.00 WIB, satu per satu regu bergerak untuk menculik Dewan Jenderal.

Pukul 03.00 WIB, para jenderal datang silih berganti. Ishak menuturkan, tidak semua jenderal yang dibawa oleh prajurit Cakrabirawa dalam keadaan hidup.

“Jenderal Yani (Letjen Ahmad Yani), Panjaitan (Brigjen DI Panjaitan), Haryono (Mayjen Harjono) mati, dan Toyo (Brigjen Sutoyo) sudah meninggal. Yang hidup hanya tiga, Jenderal Prapto (Mayjen R Soeprapto), Jenderal Parman (Mayjen S Parman) dan Tendean (Lettu Pirre Tandean). Jenderal Nasution enggak ada,” kata Ishak.

“Saya kaget, saya panik malah, kok ada begini, ada apa,” sambungnya.

Karena kepanikan itu, para jenderal yang diculik, baik masih hidup atau sudah meninggal dijebloskan ke dalam sebuah sumur tua. Tubuh mereka dilempar lalu ditembak dari atas secara membabi-buta. (*)

Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com

Leave a comment