Informasi Terpercaya Masa Kini

Perjalanan Mahal Menuju Baduy Dalam

0 30

Halo Sobat Kompas!

Salam kenal. Ini kali pertama saya menulis di Kompasiana. Semoga Sobat Kompas suka ya.

Dua belas kilometer. Memasuki hutan, naik-turun gunung, membayar setiap tanjakan dengan turunan curam. Terkadang licin, berair, tak cukup sekali membuat terpeleset, bahkan terjatuh. Menerka-nerka bebatuan tak beraturan di setiap sungai-sungai kecil yang akan mengantar hingga ke seberang. Sambutan jalan berlumpur, menjebak kaki-kaki sampai dalam. Yang lebih kejam adalah batu – batu bermuka tajam, yang sembrono merobek telapak kaki. Perih. Tiba-tiba tanah liat, kadang merah, sebentar lagi kuning kecoklatan. Apapun warnanya, tanah liat empuknya lumayan memanjakan dan memijat kaki.

Berjalan lebih dari empat jam sejak senja hingga berganti malam. Demi menuntaskan rasa pensaram akan keindahan Baduy Dalam. Sudah lama sekali saya ingin berkunjung ke tanah Baduy Dalam. Namun kesempatan tak urung jua datang. Hingga sempat ingin itu luntur dan terlupakan, namun tumbuh kembali karena cerita seorang teman tentang perjalanannya ke sana. Serba mendadak, saya dan teman-teman memantapkan tekad untuk bertemu di Stasiun Palmerah Sabtu pagi Desember 2016 yang lalu.

Kereta lokal dari Jakarta – Rangkas Bitung hanya ada beberapa kali, pukul 08.00, 08.27, 10.12. Berhubung kami cukup santai, anggap saja kami penikmat tidur pagi, jadi kami memilih kereta jam 10.12. Sesungguhnya ini karena tidak tahu jadwal dan enggan mencari tahu. Yang penting dapat kereta. Palmerah – Rangkas Bitung yang memakan lebih dari dua jam ini cukup dengan harga lima ribu rupiah saja. Tapi tak usah berharap dapat tempat duduk ya. Kereta pasti padat, apalagi menjelang hari Natal.

Panasnya gerbong kereta yang semakin panas dan tangisan balita semakin mengurungkan minat penumpang bertegur sapa, apalagi memberikan kursinya pada yang lebih berhak. Mending tidur atau pura-pura tidur. Dua setengah jam kemudian kami tiba di Rangkas Bitung. Ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di sini, di depan stasiun yang menjadi pasar. Terlihat banyak sopir angkot yang memburu penumpang lalu lalang melahap jalan. Panas! Rangkas Bitung panas.

Dari stasiun kami berjalan sebentar mencari masjid dan sesuap nasi. Eh yang kami dapat ialah semangkok mie ayam Uun. Tidak mengapa, selain murah, enak, porsinya juga banyak. Cukup lima belas ribu sudah termasuk es teh. Setelah perut kenyang, kami mencari angkot merah (biru juga bisa) menuju Terminal Aweh. 

Tiba di terminal Aweh, kami ditawari angkot seharga empat ratus ribu menuju Ciboleger, dengan iming-iming tidak lama menunggu dan cepat sampai. Tapi kami tidak tergoda. Kami lebih memilih menggunakan elf yang harganya cuma dua puluh lima ribu per orang dengan bonus bisa menikmati perjalanan bersama warga lokal, berdesakan. Mendengar percakapan mereka dengan Bahasa Sundanya. Sekitar satu setengah jam perjalanan menuju pintu masuk Baduy Luar, jalannya berkelok, naik turun, tapi kami suka! 

Pemandangan dari jendela yang seret dibuka lumayan menyegarkan mata. Sawah yang menguning, bukit-bukit yang kaya tambang, juga aktivitas warga di sepanjang jalan. Tiba di Ciboleger, kami dipertemukan dengan orang baik. Dialah Ibu Hj. Entik yang menyuguhi teh hangat dan tikar untuk istirahat sejenak. Ini bermula dari ulah salah satu teman  yang baik pula. Ia menawarkan bantuan untuk membawakan barang turun dari elf. Ibu Hj. Entik yang tinggal seorang diri dan sangat merindukan hadirnya buah hati, memaksa kami untuk menginap di rumahnya. Tapi, karena kami akan bermalam di Baduy Dalam, kami menolaknya dengan sopan dan berjanji untuk mampir esok harinya.

Sebelum naik ke Baduy Luar, kami cek barang bawaan. Jas hujan! Bawalah dari rumah, di sini harganya menjadi lima kali lipat. Selain harga yang nggak kira-kira, kami juga kena isengnya warga setempat untuk membayar administrasi yang entah uang ini masuk ke kantong siapa. Mereka memang iseng, tapi baik. Kami yang menolak tawarannya untuk menggunakan jasa guide seharga empat ratus ribu, dikenalkan dengan warga Baduy Dalam yang sedang ke Baduy Luar. Herman namanya.

Setelannya beda, ia mengenakan baju putih, samping (bawahan), gandongan (tas dari kain), cangklungan (ikat kepala), dan membawa gobang (golok) yang terselip di samping. Begitulah mereka sehari-hari. Kainnya dibuat sendiri, modelnya sama, hitam dan putih saja.

Kemudian kami berkenalan, tanya ini itu tentang Baduy Dalam. Lalu, satu persatu secara bergantian, muncul Agus, Sailin, dan Sapri – teman Herman. Kami mengakrabkan diri.

Sebelum naik ke Baduy dalam, kami dipersilakan untuk izin dulu ke Jaro (Kepala Kampung) Baduy Luar dan membayar administrasi seikhlasnya. Juga belanja untuk bekal kami di sana: beras, teh, kopi, gula, ikan asin, dan mi instan.Dua puluh menit menuju pukul lima, kami memulai perjalanan sulit nan mahal ini. Memaksa kaki-kaki kami untuk kuat melangkah sejauh ingin kami. Mencoba selalu seimbang agar tak goyang. Mengucap salam pada alam. Saling berbincang dengan empat sekawan yang akan menemani perjalanan ini. Mereka malu-malu. Suaranya pelan sekali, membuat kami berkali-kali mengulang tanya serta memastikan jawabnya. Kami sangat ingin tahu tentang Baduy, kami penasaran. Tentang budayanya, tentang kesehariannya, tentang pakaiannya, tentang Baduy Dalam, juga persamaan dan perbedaannya dengan Baduy Luar.Perbincangan selama perjalanan sangat seru, ketika tanjakan menyambut, gerimispun membuntuti. Kemudian, terpeleset, terjebak lumpur, kami tertawa. Tepatnya saling menertawakan satu sama lain. Dengan siap dan sigapnya, empat sekawan tersebut mengulurkan tangan. Kami malu, kaki ini benar-benar tak mengenal alam, jauh dari akrab kiranya. Kesal karena terjebak lumpur, kami pun memutuskan untuk menyimpan sepatu. Beralas kaki lebih baik. Bisa merasakan segala macam tekstur tanah yang disajikan oleh-Nya yang Maha mendengar. Mendengar setiap komentarku ketika yang lain sempat terjatuh. Kemudian saya diingatkan dengan terjatuh pula. Nah!!

Beberapa menit berlalu, masih lama dari sampai. Untuk mengobati rasa lelah, kami pun mengabadikan beberapa momen dalam bentuk gambar. Selagi masih di Baduy Luar.

Benar-benar sulit nan mahal. Perjalanan ini hanya untuk yang mau dan mampu. Tiba-tiba inget lift, eskalator, ojek. Tidak mungkin, khayalanku dibangunkan oleh indahnya pemandangan gunung, lembah, hijau dimana-mana. 

Lagi, kami abadikan momen selagi masih di Baduy Luar. Selama perjalanan, kami menanyakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di Baduy Dalam Salah satu yang tidak boleh dilakukan ialah penggunaan alat elektronik, termasuk kamera pastinya. Ini yang ku maksud mahal, kamu yang penasaran, tak cukup membaca gambar dipenuhi caption, maka memang benar-benar harus datang ke sana. Rasakan. Dengan kakimu. Selain itu, tidak boleh juga menggunakan bahan-bahan kimia, seperti sabun dan odol. 

Kalau mau mandi dan cuci, pergilah ke sungai. Cukup. Belajar tentang kecukupan, cukup dengan yang ada di alam, cukup dengan yang diberikan Tuhan, cukup dengan bersyukur. Kami sangat bersyukur dipertemukan dengan empat sekawan ini, yang mana masing-masing dari mereka menjaga kami dengan tulus. Tangannya tak pernah lengah memperhatikan langkah kami. Pekanya terlalu dalam, sebelum aku meminta, mereka sudah bersedia. Apa jadinya tanpa mereka. Mereka yang masih belia, baik hatinya.

Kemudian kami menanyakan usianya, masih belasan. Herman baru akan menginjak delapan belas ketika dijodohkan dengan salah satu perawan Baduy Dalam, Sarah. Ya, pernikahan dini terjadi di sana, orang tua saling menjodohkan putera puterinya. Tiada yang melawan, kalaupun berani, maka beranjaklah dari Baduy Dalam. 

Adat pernikahannya pun unik, lamaran dilakukan tiga kali yang jaraknya berbulan-bulan. Di mana setiap lamaran, pihak laki-laki akan bekerja untuk pihak perempuan, entah ke ladang, atau apapun. Barulah disahkan oleh Ulun (penghulu alias kepala adat, yang rumahnya tidak boleh dikunjungi pendatang juga warga lokal). Tidak ada ijab qabul, juga janji di depan pendeta, cukup dengan Ulun memberikan beras kepada kedua mempelai dan makan bersama satu kampung. Maka SAH. Karena mereka bukan muslim juga bukan kristiani. Sunda Karawitan, kepercayaannya.

Delapan malam terlewati oleh jarum panjang. Kami masih berjuang di alam. Sesekali berhenti, istirahat di salah satu rumah saudara Herman. Kami disuguhi pisang emas, rasanya nikmat sekali. Sambil menikmati pisang terenak di dunia, kami pun melemaskan otot betis yang membeku kencang, keras. 

Agus menipu kami, hampir jam sembilan, aroma kampung belum juga tercium. Ia menawari untuk bermalam di rumah kebun saja jika lelah. Tidak, kompak kami. Demi Baduy Dalam, kami saling menguatkan. Mulanya melawan setiap licinnya turunan, lama-lama kami memasrahkan diri untuk terpeleset dan tertawa.

Tidak ada lagi kamera. Leuit-leuit (lumbung padi) berjajar mengucap Selamat Datang di Baduy Dalam!

Suara bambu yang dimainkan orang sungguh menenangkan. Kami semakin dekat dengan kampung mereka, Cibeo. 

Lalu, kami menyeberangi sungai, sungai belakang rumah Agus. Kami sampai! Kami sampai! Tapi gelap, tapi sepi. Hening. Agus mencuci kakinya dengan air dalam ruasan bambu-bambu yang disusun rapi di teras rumah panggungnya. Mempersilakan kami masuk dan mengenalkan ayahnya pada kami. Ambunya sedang berada di rumah kebun bersama tiga orang adiknya. Kami membersihkan diri, mengikuti Agus ke dalam rumahnya yang kini terang karena lilin, dan susunan sumbu, minyak, batu, digantung pada bambu. Tikar digelar, bantal-bantal kapuk dalam karung diturunkan. Kami rebahan. Melemaskan otot-otot kami. Sementara Agus, Herman, Sapri, dan Sailin meemaak bekal kam dengan tungku. Beberapa menit kemudian, gelas-gelas bambu sudah siap dengan teh dan kopi. Kami mengaduknya dengan sendok bambu juga.

Kami berbincang dengan Jakri, ayah Agus. Mencari tahu lebih jauh tentang Baduy Dalam. Sambil melihat desain rumahnya yang tersusun dari bambu, kayu, dan daun atap. Semua rumah Baduy Dalam sama. Jakri banyak cerita, tentang pengalamannya ke Jakarta tiga hari tiga malam. Yang benar saja?? Ya benar,  Jakri jalan kaki, tanpa alas. Mengikuti jalur rel kereta, bertanya pada siapapun yang ditemui tentang sebuah alamat. Alamat orang-orang yang pernah mengunjungi rumahnya. Sampai juga di Jakarta. Heran.

Benar-benar penuh integritas. Orang Baduy Dalam berjalan kaki sepanjang hidupnya. Dimanapun. Pernah sekali ada yang kelelahan dalam sebuah perjalanannya menuju ibu kota, ia pulang dengan kereta. Apa yang terjadi? Ia mengakui kesalahannya, ia memutuskan untuk keluar dari Baduy Dalam. Selamanya tidak akan pernah menjadi Baduy Dalam lagi. Budayanya dibudayakan. Dijaganya dengan sangat maksimal. Kantuk kami segera lenyap mendengar pernyataan Jakri sembari menunggu makan malam, bahwasanya orang luar negeri DILARANG masuk ke Baduy Dalam. Yang benar saja? Mereka lebih memilih mencegah kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi yang mungkin akan mengeruhkan kemurnian Baduy Dalam.

Tiba-tiba bau ikan asin. Oh rupanya Agus sedang menggorengnya, saya membantu eh menungguinya. Di samping ada berbagai jenis kain tenun Baduy, berbagai macam gantungan kunci, berbagai jenis gelang dari akar dan serat pohon. Langsung pindah fokus, dilihatnya dan dicobanya.

Jakri kemudian mempersilakan kami untuk makan malam yang terlalu malam. Kami sungkan. Katanya, tamu harus duluan. Baiklah, kami makan bersama dengan daun sebagai wadah nasinya. Enak. Lalu kenyang. Berbincang sebentar, kemudian tidur. Dingin. Sapri, Sailin, dan Herman ikut tidur di rumah Agus.

Rencana semula kami akan turun pada jam tujuh pagi, agar bisa ikut elf yang hanya ada pada jam dua belas siang untuk sampai ke Rangkas Bitung. Lagi-lagi kami malah sibuk memilih dan memilah kain dan gelang untuk buah tangan. Sayang sekali jika pulang dengan tangan kosong. Perjalanan ini terlalu mahal. Tidak sadar, tawar menawar memakan waktu hingga jam sembilan. Kemudian makan pagi diburu secepat mungkin.

Sepakat dengan harga yang pas untuk anak muda, kami pun bersiap. Jakri mengingatkan untuk memberi seikhlasnya pada Jaro Baduy Dalam. Kami tidak sempat mampir ke rumah Jaro, di sana sangat ramai oleh mahasiswa Banten yang sedang melakukan kunjungan. Kami menyempatkan untuk berkeliling sebentar, sebagian bapak-bapak dan anak-anak sedang berkumpul, ronda katanya. Rondanya siang hari.

Lalu kami berpamitan. Turun melalui jalan yang lain, yang katanya harus melalui enam tanjakan dilengkapi turunan. Tapi lebih cepat sampai, katanya. Jalan pulang tiada beda dengan jalan datang, justru lebih curam, lebih bikin ngosngosan. Masih bersama empat sekawan yang tidak pernah luput memberikan perhatian untuk kami. Akhirnya, tiba juga di perbatasan Baduy Dalam dan Baduy Luar yang ditandai pohon kelapa. Akhirnya, lima tanjakan terlampaui. Kami bisa foto lagi. Tidak peduli dengan bau badan yang belum mandi, yang penting kami sangat senang.

Tiga puluh menit lebih cepat dari jalan berangkat. Kami pun tiba di Ciboleger. Sudah dengan jas hujan masing-masing. Sesuai dengan janji kami dengan Ibu Hj. Entik, kami mampir sejenak untuk istirahat dan membersihkan badan. Sempat tergoda untuk bermalam, tapi esoknya harus kembali bekerja. Kami berpamitan. Menuju warung makan. Makan siang perpisahan.

Terimakasih Agus, Herman, Sapri, dan Sailin untuk segala kebaikan kalian, untuk setiap ketulusan, dan banyak sekali pelajaran. Sampai jumpa kawan, singgahlah di alamat yang kami titipkan.

Leave a comment