Kasus Cirebon dan Rapor Kapolri
TIGA bulan lagi Prabowo Subianto dilantik sebagai presiden. Itu artinya, Prabowo tentu juga akan mengecek rapor Kapolri sebelum memutuskan mengganti atau mempertahankan Jenderal Pol Listyo Sigit di singgasana Tribrata 1.
Salah satu isian rapor itu, saya yakini, adalah seberapa jauh Kapolri berhasil menangani kasus pembunuhan Vina Dewi (16) dan Muhammad Rizky (16) atau Eki di Cirebon secara tuntas, menyeluruh, objektif, dan transparan.
Sayangnya, sudah berbulan-bulan berlalu pascakegemparan menyusul film Vina, tidak kunjung tampak kemajuan yang Polri raih.
Kapolri sudah menyampaikan testimoni, bahkan otokritik, bahwa kerja Polda Jabar pada tahun 2016 atas kasus Cirebon tidak memadai dari sisi saintifik.
Presiden pun menekankan pentingnya transparansi. Pernyataan kedua pejabat itu pastinya harus dimaknai sebagai instruksi agar Polda Jawa Barat (dan Mabes Polri) melakukan review dan mengambil langkah koreksi serta mengomunikasikannya ke masyarakat.
Namun pernyataan tinggal pernyataan, tanpa tindak lanjut yang hasilnya memberikan kepastian. Akibatnya, efektivitas kepemimpinan Kapolri dan Presiden menjadi layak dipertanyakan.
Yang mengemuka justru nilai negatif berupa kalahnya Polda Jawa Barat di sidang praperadilan. Ke depan, kemungkinan nilai negatif berikutnya datang dari sidang gugatan terhadap Kapolri.
Isi gugatan itu adalah desakan agar Polri membuka CCTV serta bukti komunikasi elektronik via gawai para terpidana dan korban pada malam 2016, menjelang ditemukannya jasad Vina dan Eki.
Peninjauan Kembali (PK) oleh para terpidana sangat mungkin menambah nilai negatif lagi bagi Polri.
Bayangkan jika Polri takluk 3-0 di mahkamah hukum! Kalah hattrick, niscaya berat bagi Jenderal Listyo Sigit untuk bertahan di posisinya.
Namun Polri punya peluang menjadi pahlawan. Caranya, jangan tunggu PK. Jangan pula tunggu hingga sidang gugatan terhadap Kapolri kadung bergulir.
Selekasnya bentuk semacam conviction integrity units (CIUs). Di organisasi kepolisian di sekian banyak negara, CIUs dibentuk sebagai unit khusus yang me-review dan mengoreksi kasus-kasus salah pemidanaan terhadap warga negara. Baik kesalahan berupa false arrest, wrongful detention, bahkan wrongful imprisonment.
Jadi, alih-alih menunggu terpidana menemukan alat bukti baru, justru institusi kepolisian sendiri–melalui CIUs–yang berinisiatif mengubah nasib para terpidana.
Jalan yang ditempuh adalah CIUs menemukan novum, lalu membawanya ke mekanisme hukum yang berlaku, sehingga terpidana yang tidak melakukan kejahatan dapat diubah status hukumnya serta dipulihkan nama baiknya. Sikap profesional nan luhur itu, sekali lagi, dilakukan oleh institusi kepolisian.
Polri sepatutnya membentuk unit ad interim dengan tugas menyerupai CIUs. Semakin baik jika menyertakan representasi publik di dalamnya.
Eksaminasi dengan format gabungan ini dilakukan sebagai penawar atas pekatnya keragu-raguan masyarakat akan kesungguhan dan kejujuran Polri dalam mengurai benang kusut kasus Cirebon.
Berdasarkan data yang dihimpun CIUs di beberapa negara, kebanyakan kasus salah pemidanaan disebabkan oleh police misconduct dan false confession.
Artinya, penyidik sengaja tidak mengungkap bukti-bukti yang dapat meringankan, bahkan membebaskan terdakwa, serta saksi memberikan keterangan palsu.
Mengacu pemberitaan media Indonesia, dua faktor itu pula yang terindikasi kuat ada pada kasus Cirebon. Yakni, CCTV di jembatan serta gawai para terpidana dan kedua korban tidak dibuka lalu dianalisis oleh penyidik.
Juga, adanya beberapa saksi, misalnya Aep dan Dede, yang diduga kuat telah memberikan keterangan palsu kepada Iptu Rudiana.
Kekacauan sistemik
Pada awalnya, saya memandang, kekacauan sistemik terkait pengungkapan kasus Cirebon sebatas berada di Polda Jawa Barat.
Namun apa yang terjadi jika Mabes Polri juga tidak kunjung tuntas, menyeluruh, objektif, dan transparan, plus tanpa tenggat waktu kerja yang definitif, menangani kekacauan Polda Jabar itu?
Saya waswas, simpulan tentang kekacauan sistemik itu nantinya juga akan dikenakan ke level Mabes Polri. Dan simpulan sedemikian rupa jelas merupakan catatan tak sedap, berkenaan dengan tiga tafsiran.
Pertama, bagaimana mungkin Mabes Polri ikut-ikutan tidak berhasil mengurai kesemrawutan pengungkapan kasus Cirebon, mengingat kasus tersebut hanya pidana umum atau kriminalitas konvensional alias kejahatan jalanan belaka.
Kedua, poin pertama di atas akan menjadi sampel kinerja buram atas sebagian dari 16 Program Prioritas Kapolri Jenderal Listyo Sigit.
Yakni, butir ketiga (Menjadikan SDM unggul Polri di era police 4.0), keempat (Perubahan teknologi kepolisian modern di era police 4.0), keenam (Peningkatan kinerja penegakan hukum), ke-14 (Pengawasan pimpinan terhadap setiap kegiatan), dan ke-15 (Penguatan fungsi pengawasan).
Ketiga, skandal penegakan hukum pada kasus Cirebon berpotensi menjadi antitesis kasus Sengkon-Karta. Maknanya, berpuluh-puluh tahun berlalu sejak Sengkon dan Karta melalui exoneration, hari ini tujuh orang warga ternyata masih dengan begitu gampangnya dibui–seumur hidup–sebagai akibat dari kesemena-menaan kerja penegakan hukum.
Pada alinea di atas, saya sengaja menulis tujuh, bukan delapan, warga. Rivaldi alias Ucil tidak saya sertakan, mengingat latar belakang masalah pidana yang ia alami berbeda dengan tujuh terpidana lainnya.
Tinggal tiga bulan tersisa. Sanggup, Pak Kapolri?
Dengan pompaan semangat dari citizen dan netizen, jawaban Kapolri cuma satu: Sanggup. Semestinya demikian.