Kenapa Pemimpin Mangkunegaran Gusti Bhre Dianggap Raja padahal Bukan? Ini Penjelasan Sejarawan
KOMPAS.com – Sebagian orang menganggap pemimpin Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X atau Gusti Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo merupakan raja.
Padahal, Gusti Bhre dan Pemimpin Pura Mangkunegaran pendahulunya adalah adipati atau pangeran miji atau pangeran mandiri yang memimpin sebuah kadipaten di bawah Keraton Kasunanan Surakarta bernama Mangkunegaran.
Hal tersebut dikatakan sejarawan sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Prof Warto merespons ketidaktahuan sebagian orang mengenai kedudukan Gusti Bhre sebagai Pemimpin Mangkunegara.
Gusti Bhre berhak memakai gelar KGPAA setelah ditetapkan sebagai Mangkunegara X pada Sabtu (12/3/2022) menggantikan Mangkunegaran IX yang wafat.
Sementara itu, sejarawan sekaligus pendiri Solo Societeit Heri Priyatmoko menyampaikan, Gusti Bhre bukanlah raja, melainkan seorang adipati sebagaimana gelar yang ia gunakan, yaitu KGPAA.
Baca juga: 7 Raja Paling Populer dalam Sejarah Peradaban Manusia, Siapa Saja?
Kenapa Mangkunegara bukan raja?
Heri menerangkan, Mangkunegara adalah seorang adipati berdasarkan struktur Mataram Islam.
Diketahui, Istana Mangkunegaran berada di bawah Keraton Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono selaku raja.
Hal tersebut sesuai dengan isi Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada 1757.
Perjanjian tersebut melibatkan pewaris takhta Mataram Islam, yakni Hamengkubuwono (Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat), Pakubuwana III (Keraton Kasunanan Surakarta), dan Raden Mas Said (cucu Pakubuwana I) dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Isi Perjanjian Salatiga adalah Raden Mas Said mendapatkan sebagian wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta yang dikuasai Pakubuwana III.
Baca juga: Sejarah Pura Mangkunegaran yang Berusia Ratusan Tahun, Lokasi Pernikahan Kaesang-Erina
Menurut sejarahnya, Raden Mas Said kemudian diberi gelar Mangkunegara I, namun statusnya sebagai adipati.
“Makanya mereka (Mangkunegara) ini diberi gelar adipati, bukanlah raja,” ujar Heri saat dihubungi Kompas.com, Rabu (17/7/2024).
Ia menambahkan, karena Mangkunegara bukanlah raja, Mangkunegaran tidak diperbolehkan memiliki alun-alun layaknya Keraton Kasunanan Surakarta.
Sebelum Indonesia merdeka, Mangkunegara juga sowan atau berkunjung ke Keraton Kasunanan Surakarta di waktu-waktu tertentu.
Kunjungan tersebut mengisyaratkan bahwa Mangkunegara berada di bawah keraton.
“Kasunanan memang lebih ‘tinggi’. Jadi, Mangkunegara yang lebih muda, adipati sowan, (datang) atau berkunjung ke Keraton Kasunanan,” jelas Heri.
Baca juga: Sultan Ibrahim Iskandar Jadi Raja Baru Malaysia, Ini Mekanismenya
Mangkunegara “dianggap” sebagai raja
Meski kedudukan Mangkunegara yang sebenarnya adalah adipati, Heri menjelasakan pemimpin Pura Mangkunegaran ini tetap dianggap sebagai raja dalam memori masyarakat Mangkunegara.
Pasalnya, Mangkunegara dulu sempat berkuasa atas beberapa wilayah, yakni Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Wonogiri.
Masyarakat Solo tempo dulu juga mengenal pembagian wilayah kampung lor dan kampung kidul yang dibatasi oleh Jalan Slamet Riyadi.
Kampung lor merujuk pada Pura Mangkunegaran, sementara kampung kidul merujuk pada Keraton Kasunanan Surakarta.
“Jadi, orang-orang Wonogiri melihat Mangkunegoro ini seperti raja,” imbuh Heri.
Baca juga: Mengintip Kekayaan Raja Baru Malaysia Ibrahim Iskandar, Punya Mobil Milik Hitler
Selain itu, pemahaman sebagian orang yang keliru menyebut Gustu Bhre sebagai raja, menurut Heri, berkaitan dengan pamor Keraton Kasunanan Surakarta yang meredup.
Ada beberapa faktor yang dinilai Heri menyebabkan pamor Keraton Solo turun, yakni banyaknya konflik internal yang terjadi, wilayah yang mengecil, dan kurangnya branding sebagai institusi tradisional.
Hal tersebut berbeda dengan Mangkunegaran yang ia nilai lebih memiliki pamor, karena kerap menghelat atau dijadikan lokasi event-event lokal maupun nasional.
Di sisi lain, posisi Mangkunegaran semakin terpandang karena melambungnya nama Gusti Bhre yang berusia muda namun menurutnya mampu mengelola kebudayaan.
“Aneka faktor tadi yang membuat masyarakat mengira ini (Gusti Bhre) adalah raja,” tutur Heri.
“Semacam ada pembuktian secara kewibawaan, pembuktian secara kultural, ketiga secara keguyuban,” tambahnya.
Baca juga: Sejarah Pura Mangkunegaran yang Berusia Ratusan Tahun, Lokasi Pernikahan Kaesang-Erina
Apa peran Mangkunegara di era modern?
Warto menjelaskan, dari kacamata sejarah, kedudukan Mangkunegaran mengalami perubahan setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945
Bergabungnya Mangkunegaran ke Indonesia secara otomatis menghilangkan status kadipaten yang disandang sejak 1757.
Meski begitu, penguasa Mangkunegaran dengan gelar Mangkunegara tetap ada, namun posisinya berubah menjadi penjaga tradisi, adat, dan budaya.
Mangkunegara juga sudah tidak lagi mempunyai kekuasaan untuk memerintah suatu daerah, dan tidak memiliki wilayah kekuasaan setelah Indonesia merdeka.
“Tentu saja Mangkunegaran (Istana Mangkunegaran) tetap menjadi aset bangsa yang penting karena menjadi salah satu pusat dan sumber kebudayaan Jawa,” jelas Warto.
“Bukan hanya menjadi destinasi wisata, tapi menjadi pusat ilmu pengetahuan terutama budaya jawa yang tinggi nilainya,” tambahnya.
Warto menuturkan, tugas Mangkunegara saat ini adalah penjaga gawang berlanjutnya tradisi Jawa yang agung.
“Mangkunegara tidak sekadar merawat dan melestarikan, tapi juga mengaktualisasikan seluruh aset budaya itu sesuai perkembangan zaman, sehingga bermanfaat bagi bangsa Indonesia dan dunia,” kata dia.
Itulah penjelasan ahli sejarah mengenai alasan kenapa Pemimpin Pura Mangkunegaran Gusti Bhre dianggap raja padahal bukan.