Terlihat Cantik dari Bawah, Awan Melingkar di Atas Gunung Ternyata Bahaya untuk Pendaki
KOMPAS.com – Fenomena awan melingkar cukup sering terjadi di semua gunung tinggi di Indonesia, seperti Gunung Merapi, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dan Gunung Slamet.
Uniknya, fenomena awan seperti topi di gunung tersebut kerap terjadi bersamaan.
Fenomena tersebut dikenal dengan awan lentikular. Awan lentikular adalah awan yang memiliki bentuk seperti lensa atau cakram.
Fenomena unik ini kerap muncul di puncak gunung dan bisa dilihat dengan kasat mata sehingga disebut sebagai fenomena gunung ‘bertopi’.
Belakangan, fenomena awan lentikular muncul di puncak Gunung Merapi yang berlokasi di perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta pada Jumat (29/11/2024).
Momen itu terekam kamera pemantauan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) di lereng selatan.
Dilansir dari laman Instagram resmi BPPTKG @bpptkg, Sabtu (30/11/2024), awan lentikular terjadi bersamaan dengan erupsi.
Namun, kemunculan awan lentikular justru membahayakan bagi para pendaki. Lantas, apa bahaya awan lentikular bagi pendaki gunung?
Baca juga: Ramai soal Fenomena Awan Bertopi di Puncak Merapi, Ini Penjelasan BPPTKG dan BMKG
Bahaya awan lentikular bagi pendaki gunung
Ketua Tim Kerja Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Ida Pramuwardani mengonfirmasi, awan lentikular yang muncul di gunung bisa membahayakan pendakian.
Ia menerangkan, awan lentikular belakangan memang kerap muncul di sejumlah gunung di Jawa Tengah, seperti Merapi, Merbabu, hingga Lawu.
Hal tersebut disebabkan karena faktor topografi dan dinamika atmosfer di musim peralihan dari musim kemarau ke penghujan yang mendukung pembentukan awan melengkung itu.
Fenomena awan lentikular terlihat secara kasat mata, sehingga Ida mengimbau kepada para pendaki untuk mengurungkan perjalannannya apabila fenomena itu terjadi.
“Fenomena awan lentikular menandakan kondisi atmosfer di puncak gunung kurang mendukung untuk aktivitas pendakian,” ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Minggu (1/12/2024).
Ida menjelaskan, fenomena awan lentikular bisa memicu terjadinya angin kencang, perubahan suhu, hingga visibilitas yang mengganggu dan membahayakan pendakian.
Berikut bahaya awan lenticular bagi pendaki gunung:
1. Menyebabkan angin kencang
Awan lenticular menunjukkan adanya aliran angin kuat di puncak gunung yang berisiko bagi keselamatan pendaki.
2. Mengakibatkan turbulensi atmosfer
Awan lentikular membuat sisi bawah angin (leeward side) sehingga terdapat udara yang sangat bergejolak.
Hal ini dapat membuat aktivitas pendakian menjadi lebih sulit atau berbahaya.
3. Perubahan suhu ekstrem
Kemunculan awan lentikular sering kali disertai dengan turunnya suhu di puncak gunung yang bisa membahayakan pendaki tanpa perlengkapan yang memadai.
4. Visibilitas pendaki terganggu
Jika awan lentikular meluas atau bergabung dengan awan lain, dapat menyebabkan penurunan visibilitas yang signifikan di area puncak.
Tak hanya bagi para pendaki, awan lentikular juga berbahaya bagi penerbangan karena bisa membuat pesawat turbulensi.
Baca juga: Ramai soal Muncul Awan Lentikular Saat Merapi Erupsi, Apa Itu?
Proses terjadinya awan lentikular
Awan lentikular terjadi ketika angin stabil dan cukup kuat bertemu dengan pegunungan dan memaksa udara lembab naik ke atas.
Udara yang naik mengalami pendinginan dan kondensasi sehingga menghasilkan awan dengan bentuk khas seperti topi atau piring terbang di puncak gunung.
Di sisi belakang lereng gunung (leeward side), udara turun kembali menghangat, menciptakan turbulensi yang memperkuat pola gelombang awan.
Umumnya, fenomena awan lentikular dipengaruhi oleh kombinasi dinamika atmosfer dan pengaruh topografi. Berikut proses terjadinya awan lentikular:
1. Aliran udara stabil dan lembab
Angin yang stabil dan mengandung uap air bertemu dengan pegunungan, memaksa udara naik ke atas lereng (windward side).
2. Proses kondensasi
Saat udara naik ke ketinggian tertentu, suhunya turun hingga mencapai titik jenuh, menyebabkan uap air terkondensasi menjadi awan.
3. Bentuk khas gelombang udara
Awan lentikular terbentuk di puncak gelombang udara yang dihasilkan oleh angin yang melewati puncak gunung. Gelombang ini terus berlanjut di sisi bawah angin (leeward side).
Namun udara yang turun menghangat sehingga tidak membentuk awan tambahan.
4. Turbulensi atmosfer
Pada bagian bawah gelombang di sisi leeward, terbentuk awan rotor dengan gerakan udara yang berputar yang sering menandakan adanya turbulensi di lapisan atmosfer.
Fenomena awan lentikular bersifat momentum dan hanya terjadi saat kecepatan angin cukup kuat selama beberapa hari dan kondisi udara lembab mendukung pembentukan awan.
Hal ini membuat fenomena ini terkesan lebih sering muncul, terutama pada periode tertentu seperti masa peralihan.
Baca juga: Viral Foto Awan Unik di Daerah Tawangmangu, Namanya Awan Lentikular
Imbauan BMKG soal awan lentikular bagi pendaki
Jika muncul awan lentikular di pegunungan, BMKG mengimbau kepada masyarakat untuk menghindari aktivitas pendakian.
Jangan lupa untuk memeriksa prakiraan cuaca terkini, terutama informasi mengenai kecepatan angin dan kemungkinan turbulensi di area pegunungan.
Selain itu, pendaki juga diimbau agar tetap tenang karena fenomena awan lentikular tidak mengindikasikan cuaca ekstrem atau bencana lain.
Namun, penting untuk tetap waspada terhadap risiko lokal, seperti angin kencang dan suhu dingin.