Untung Rugi Antidumping Keramik China terhadap Industri Lokal
Bisnis.com, JAKARTA – Rencana pemberlakuan bea masuk antidumping (BMAD) keramik asal perusahaan China menuai pro kontra karena dipandang mempertaruhkan keberlangsungan industri nasional. Satu sisi, efektivitas bea masuk tinggi dipertanyakan, sedangkan di sisi lain potensi investasi dapat lebih bergairah.
Dalam laporan Komite Antidumping (KADI) disebutkan bahwa praktik dumping oleh perusahaan asal China telah terbukti merugikan pelaku usaha dalam negeri. Tarif masuk untuk antidumping pun diusulkan di kisaran 100,12% – 199,88%.
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan, penerapan BMAD dengan besaran tarif tersebut dapat memicu trade diversion atau pengalihan perdagangan dari negara lain. Artinya, meski pintu masuk impor dari perusahaan China dibatasi, barang impor dari negara eksportir keramik lainnya berpotensi semakin terbuka.
Baca Juga : Faisal Basri Kritik Penyelidikan Dumping Keramik China: KADI Seperti Pesilat Mabok
“Kami juga melihat bahwa cukup besar angka diversion ke India dan Vietnam karena ini dua negara eksportir terbesar keramik untuk HS code 690721 [ubin keramik],” kata Andry di Jakarta, Selasa (16/7/2024).
Tak hanya itu, Andry menilai pasar pesaingan akan semakin kecil sehingga opsi konsumen semakin sedikit. Alhasil, harga keramik semakin mahal. Pihaknya pun menduga ada dugaan perang harga yang dilakukan produsen lokal.
Baca Juga : : Kemenperin Blak-blakan 7 Perusahaan Keramik Bangkrut, Ini Biang Keroknya!
Pasalnya, dalam kajian KADI terdapat keluhan dari perusahaan lokal yang mengeluhkan harga jual keramik yang tidak bisa tinggi di tengah maraknya impor murah dari China.
“Kecurigaan kami ini memang ada price war di dalam domestic producer, apakah ini memang memperbesar kuenya sehingga domestic price-nya akan meningkat untuk memfasilitas produsen tersebut? Kita tidak tahu,” ujarnya.
Baca Juga : : KADI Ungkap Progres BMAD Produk Keramik Impor Asal China
Namun, pemberlakuan BMAD akan membuat produsen tersebut meningkat margin keuntungannya dengan menaikkan harga jual. Sebab, harga impor keramik akan meningkat tajam.
“Praktis semakin rendah kuantitas atau volume di pasar di saat permintaan meningkat, maka harga yang diterima konsumen akan semakin mahal,” terangnya.
Dampak lainnya dari pemberlakuan BMAD, yaitu banyaknya sektor yang akan terdampak mulai dari ritel, developer, importir, forwarder, logistik, dan konsumen secara umum. Selanjutnya, terdapat potensi retaliasi atau balasan dari China terhadap pembatasan produk-produk asal Indonesia.
Andry juga menyoroti investigasi KADI yang dilakukan berdasarkan permohonan sekelompok kepentingan dan tidak menggambarkan mayoritas pelaku usaha dalam negeri. Dalam hal ini, hanya tiga perusahaan dengan porsi 26% dari total produksi yang dianalisis kerugiannya.
“KADI juga melakukan investigasi di saat indikator industri keramik ini mengalami ekspansi dan impor justru mengalami penurunan,” pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Kolaborasi Internasional Indef Imaduddin Abdullah menambahkan potensi bahaya retaliasi dari negara-negara yang terkena dampak kebijakan antidumping ini, terutama dari China.
“Pemberian BMAD dapat memicu tindakan balasan [retaliasi] dari negara-negara eksportir yang terkena dampaknya, termasuk China, yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia. Tindakan balasan ini bisa berupa pengenaan tarif atau hambatan perdagangan lainnya terhadap produk-produk Indonesia yang masuk ke pasar mereka,” jelasnya.
Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat selama ini Indonesia dan China memiliki hubungan perdagangan yang kuat yang pada 2023, nilai ekspor Indonesia ke China mencapai US$64,94 miliar atau 23% dari total ekspor.
Angka ini mencerminkan ketergantungan yang signifikan terhadap pasar China. Oleh karena itu, retaliasi dari China dapat berdampak serius pada industri yang bergantung pada ekspor ke negara tersebut.
Imaduddin juga menambahkan bahwa pengenaan BMAD yang tidak tepat sasaran dapat memunculkan praktik yang tidak sehat di dalam negeri. Salah satunya adalah adalah praktik monopoli dari industri yang menguasai pasar dalam negeri dan pada akhirnya akan mempengaruhi harga produk di level konsumen domestik yang mengalami peningkatan.
Gairah Investasi
Di sisi lain, rencana penerapan BMAD langsung disambut pelaku industri. Janji investasi yang sempat tertunda, kini semakin pasti melaju usai sentimen positif yang digulirkan pemerintah.
Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) membeberkan kehadiran pemain-pemain baru yang sebelumnya merupakan importir atau trader tengah berencana membangun pabrik keramik di Indonesia.
Ketua Umum Asaki Edy Suyanto mengatakan, investasi baru dan penyerapan tenaga kerja dapat dipastikan akan bergulir seiring dengan sejumlah importir yang telah memulai pembangunan pabrik keramik jenis homogeneus tiles (HT) dan diharapkan rampung 2025.
“Mereka sebenarnya wait and see, hanya menunggu hasil penyelidikan KADI jika angka BMAD di atas 100% maka pilihannya adalah segera merampungkan pembangunan pabriknya,” tuturnya.
Salah satu trader atau importir utama yang dimaksud, yaitu PT Trust Trading yang akan segera melanjutkan pembangunan pabriknya di Kendal dengan kapasitas produksi 18 juta meter persegi per tahun dengan nilai investasi Rp1,2 triliun. Rencana penyerapan tenaga kerja mencapai 700 orang.
Selain itu, PT RKI di Batang yang akan membangun pabrik dengan kapasitas produksi 21,5 juta meter persegi per tahun dengan nilai investasi Rp1,5 triliun dan akan menyerap 1000 tenaga kerja.
“Selain para importir atau trader yang ‘ganti baju’ menjadi manufaktur atau pabrik, terdapat juga investasi baru dari anggota-anggota Asaki yang diperkirakan akan selesai di semester kedua tahun 2025,” terangnya.
Pihaknya juga optimistis bahwa BMAD akan segera memulihkan kapasitas produksi keramik nasional khususnya pabrik yang memproduksi homogeneus tiles/HT lantaran berhadapan langsung dengan produk impor dari China.
Terlebih, produk tersebut hanya mampu bertahan dengan tingkat utilisasi dibawah 40% karena terdampak berat kerugian akibat praktek dumping. Untuk itu, Asaki optimistis penerapan BMAD akan meningkatkan utilisasi produksi keramik nasional kembali ke 80% tahun ini dan 90% pada 2025.