Informasi Terpercaya Masa Kini

Borobudur Writers & Cultural Fest Telisik Jejak di Muarajambi

0 7

Setelah dua belas kali dilangsungkan, Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) kembali digelar. Perhelatan ke-13 BWCF mengangkat tajuk yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang pada dua tahun berturut-turut menyoal arkeologi Jawa dan Bali. Tahun ini, topik khazanah percandian, arca-arca, prasasti, keramik. dan pelabuhan-pelabuhan kuno di Sumatra diusung dalam tema “Membaca Ulang Hubungan Muarajambi-Nalanda dan Arca-Arca Sumatra”.

Kurator sekaligus pendiri BWCF, Seno Joko Suyono, menyampaikan bahwa pemilihan Sumatra sebagai tajuk penelusuran tahun ini berlandaskan investigasi untuk jejak historinya yang masih lestari.

“Yang menurut saya penting dari Muarajambi itu ekosistemnya masih terjaga. Muarajambi itu ekosistemnya tetap ada. Segala jenis pohon itu masih ada. Jadi, itu yang menurut saya, membuat Muarajambi sangat istimewa,” ujar Seno saat ditemui pada Jumpa Pers BWCF di Ke:kini Ruang Bersama, Jakarta, Selasa (5/11).

Seno menegaskan, ekosistem Muarajambi yang masih terlindungi menjadi ‘alasan’ sejarahnya disoroti, bahkan disebut sebagai bagian dari sejarah. Dengan bukti ini, tambahnya, bisa menjadi landasan dalam mendukung revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi.

Perlu diketahui bahwa dalam rentang waktu yang sama pada tiga tahun terakhir, para arkeolog telah melakukan pemugaran terhadap candi di Muarajambi. Museum baru di Muarajambi juga akan didirikan.

Perkembangan dalam arkeologi Muarajambi tak lepas dari penemuan situs arkeologi teranyar. Pada 2018, misalnya, ditemukan prasasti Baturaja yang isinya bisa dimaknai oleh para arkeolog baru-baru ini. Hal ini tidak hanya menjadi catatan penting arkeologi, tetapi juga berperan signifikan dalam penelitian panjang mengenai lokasi persis Minanga yang merupakan awal kerajaan Sriwijaya yang disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit. Maka dari itu, BWCF bermaksud membaca ulang situs Muarajambi dan arkeologi Sumatra, serta memadukan elemennya.

“Jadi, BWCF ini adalah satu festival yang mengkombinasikan interaksi arkeologi dan literasi sastra modern. Selama lima hari festival, kita akan banyak mengikuti simposium yang temanya arkeologi, tetapi juga ada lecture atau program yang berkaitan dengan sastra moden, salah satu bagiannya adalah kita mengundang beberapa penyair Asia Tenggara,” tambah Seno.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V, Agus Widiatmoko, menyetujui pentingnya revitalisasi dalam menyelamatkan tidak hanya budaya, tetapi juga ekosistem.

“Visi kita di sana adalah menyelamatkan budaya, yang juga menyelamatkan ekosistemnya,” ucap Agus.

Perhelatan BWCF sebagai Persembahan

Pada pertengahan November mendatang, tepatnya 19 sampai dengan 23 November, BWCF akan dilangsungkan di sekitar situs Muarajambi dan Kota Jambi. Perhelatan ini terdiri dari pidato kebudayaan, simposium, ceramah umum, diskusi sastra, dialog sastra, launching buku, podium sastra, seni pertunjukan (malam tari, malam sastra, malam musik), dan meditasi.

Pakar-pakar arkeologi Sriwijaya, baik dari luar maupun dalam negeri, akan dilibatkan dalam BWCF. Seniman dan sastrawan terkemuka dari Sumatra dan Asia Tenggara pun tak luput hadir untuk memeriahkan.

Bergabungnya para pakar, seniman, dan sastrawan dalam BWCF di Sumatra tahun ini bukan tanpa alasan. Untuk mengenang kajian arkeologi Sumatra yang dilakukan Satyawati Suleiman, arkeolog perempuan pertama Indonesia yang melakukan penelitian terhadap artefak-artefak percandian Sumatra, BWCF ditujukan pula sebagai tribute.

Selama dua tahun berturut-turut, BWCF telah memberikan persembahan khusus bagi para arkeolog perempuan berjasa. Pada tahun ini, tidak hanya untuk mengenang dan mengapresiasi, BWCF juga diinisiasi untuk menumbuhkan luaran yang berbeda.

“BWCF adalah salah satu forum yang kami inginkan untuk menstimulasi karya penulis yang out of the box,” ungkap Seno.

Out of the box dalam hal ini, Seno menyebutnya sebagai stimulasi ide-ide berdasarkan imajinasi dan akurasi. Seno menambahkan bahwa akurasi ini bersumber dari data para arkeolog yang dipertemukan melalui Borobudur Writers and Cultural Festival 2024.

Leave a comment