Desak Yogyakarta Bebas dari Kekerasan dan Miras, Ribuan Santri Turun ke Jalan
TEMPO.CO, Yogyakarta – Seruan Yogyakarta damai tanpa kekerasan dan minuman keras (miras) mewarnai aksi ribuan santri turun ke jalan di Yogyakarta, Selasa, 29 Oktober 2024. Aksi damai dan istagasah yang diikuti para santri dari berbagai pondok pesantren di Yogyakarta itu dipusatkan di Markas Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Aksi solidaritas itu dipicu kekerasan yang dilakukan sekelompok orang di kawasan kampung turis Prawirotaman yang membuat sedikitnya dua santri Pondok Pesantren Krapyak Yogya terluka. Dua santri asal Pati dan Rembang Jawa Tengah itu dikeroyok dan ditusuk saat sedang bersantai makan sate pada 23 Oktober lalu.
Koordinator aksi, Abdul Muiz, menuturkan dalam aksi itu mereka mendesak pemerintah, aparat keamanan, dan lembaga terkait untuk meningkatkan keamanan Yogyakarta di semua sektor.
“Setiap tempat di Yogyakarta ini harus bebas dari ancaman kekerasan, dan setiap individu yang berada di dalamnya berhak merasa aman,” kata Muiz. “Kami keluarga besar pesantren dan seluruh elemen masyarakat akan terus bersatu menolak segala bentuk kekerasan dan mendukung setiap langkah menuju terciptanya keamanan dan ketertiban.”
Kasus Kekerasan di Yogyakarta
Massa pun mendesak aparat lebih melakukan pengawasan ketat untuk mencegah kekerasan di jalanan Yogyakarta yang belakangan kembali marak terjadi. Sejumlah kasus kekerasan dinilai dipicu akibat peredaran minuman keras yang semakin banyak.
“Kami mendesak aparat dan pemerintah segera mengevaluasi dan mengendalikan peredaran miras yang kian marak, karena satu botol miras dapat memicu seribu kriminalitas,” kata Muiz.
“Kami mendesak Pemda DIY, Pemkab dan Pemkot untuk tidak lagi memberikan izin pendirian toko atau outlet yang memperjualbelikan minuman keras, serta mencabut izin yang telah dikeluarkan,” kata dia.
Tuntutan Pesantren
Mewakili dari pondok pesantren, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta Ida Rufaida Ali menilai bahaya akibat miras melebihi dari zina dan pembunuhan. Karenanya, ia menuntut outlet-outlet yang sudah terlanjur mendapat izin untuk segera dicabut.
“Tampaknya miras lebih ringan, tapi dengan miras, orang bisa berzina dan membunuh. Inilah keprihatinan kami sebagai pengasuh pesantren,” kata dia. “Jangan cuma dihentikan, tapi cabut perizinan toko-toko yang menjual miras ini.”
Kapolresta Yogyakarta Komisaris Besar Polisi Aditya Surya Dharma mengatakan dari penyelidikan kasus pengeroyokan santri itu, para pelaku sengaja mabuk dengan minuman keras.
“Setelah minum, mereka membuat keonaran melalui sebuah provokasi,” kata dia.
Aditya menuturkan, para santri Yogyakarta yang dianiaya itu merupakan korban salah sasaran. “Kemungkinan besar seperti itu (salah sasaran), karena para santri itu sedang makan sate, mereka tidak ada kaitan apa pun hingga dianiaya sampai luka seperti itu,” kata dia.
Pilihan Editor: Mengenal Pasar Prawirotaman yang Jadi Juara Nasional, Lokasinya di Tengah Kampung Turis Yogyakarta