Informasi Terpercaya Masa Kini

Yang Sesungguhnya Terjadi di Balik Bahrain 10-0 Indonesia

0 11

Jelang pertandingan Bahrain vs Indonesia di lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026, kisah pembantaian 0-10 dari lawan sama berseliweran di jagat maya. Sayangnya, beberapa hal disampaikan secara kurang tepat. Termasuk upaya ‘maksa’ membenturkan momen kelam tersebut dengan kebijakan naturalisasi pemain era Erick Thohir.

Partai Bahrain vs Indonesia diagendakan berlangsung pada Kamis (10/10/2024) mendatang. Tanggal 10, bulan 10. Angka serbasepuluh yang seakan memang diniatkan untuk mengingatkan kita semua pada pertemuan terakhir menghadapi lawan sama, di ajang sama dan putaran sama pula.

Satu lagi yang identik, yakni stadion yang bakal menjadi venue pertandingan adalah Bahrain National Stadium di Manama. Tempat di mana gawang Indonesia digelontor 10 gol tanpa balas pada 29 Februari 2012.

Hasil memalukan di Kualifikasi Piala Dunia 2014 tersebut merupakan kekalahan terburuk dalam sejarah Indonesia. Rekor yang sekaligus menjadi kemenangan terbesar dalam sejarah sepak bola Bahrain.

Karena merupakan duel terkini kedua tim, secara otomatis pertandingan itulah yang muncul paling atas ketika melacak rekor head-to-head Bahrain vs Indonesia. Skor mencolok yang harus diakui sangat memalukan, serta mencoreng catatan timnas kita.

Hal itulah yang lantas digoreng sedemikian rupa di media sosial. Dan entah dari mana asal-muasalnya, banyak yang percaya kalau kekalahan 0-10 dari Bahrain tersebut adalah contoh nyata kekuatan timnas Indonesia tanpa pemain naturalisasi.

Dengan kata lain, Indonesia tanpa pemain naturalisasi tidak bisa apa-apa. Lemah tanpa daya dan cuma jadi lumbung gol tim lain di Asia.

Kesimpulannya, kalau mau melihat timnas yang gagah perkasa, dukunglah program naturalisasi pemain yang tengah digencarkan PSSI saat ini.

Karena Tanpa Naturalisasi?

Bulan lalu, saya mengomentari artikel seorang Kompasianer yang membahas soal naturalisasi pemain. Dalam balasannya, Kompasianer tersebut menjadikan skor 0-10 di Manama sebagai bantahan argumen saya, sekaligus bukti kalau Indonesia tanpa pemain naturalisasi hanya sebatas itulah kemampuannya.

Saya tidak tahu Kompasianer tersebut kelahiran tahun berapa. Namun para pandemen sepak bola seusia saya, rasa-rasanya tidak akan lupa kalau dalam skuad Indonesia yang dibantai Bahrain 12 tahun lalu ada nama Diego Michiels.

Ya, Diego Michiels penggawa Borneo FC yang kerap mengunggah status nyeleneh di media sosial itu. Pemain kelahiran Deventer, Belanda, yang sejak menjadi mualaf mengubah namanya menjadi Diego Muhammad.

Diego merupakan deretan pemain naturalisasi yang dipersiapkan PSSI jelang SEA Games 2011. Ia disumpah sebagai warga negara Indonesia bersama-sama dua pemain Indo-Belanda lainnya: Joey Suk dan Ruben Wuarbanaran.

Setelah memperkuat Indonesia di SEA Games 2011, Diego dipromosikan ke timnas senior. Partai melawan Bahrain di Kualifikasi Piala Dunia 2014 merupakan debut Diego bersama Tim Garuda.

Artinya, Indonesia yang dibantai Bahrain diperkuat pemain naturaliasi sekalipun hanya seorang Diego Michiels. Malah dalam starting XI juga ada Irfan Bachdim, hasil didikan federasi sepak bola Belanda (KNVB) lainnya yang menjadi primadona saat tampil di Piala AFF 2010.

Jadi, sama sekali tidak benar jika pembantaian 0-10 di Manama terjadi karena Indonesia tidak memakai pemain naturalisasi. Penyebabnya memang bukan soal pemain naturalisasi atau bukan yang bermain.

Bukan Skuad Reguler

Siapapun yang benar-benar mengikuti perkembangan sepak bola nasional pasti langsung paham apa yang sebenarnya terjadi ketika itu hanya dengan melihat susunan daftar pemain yang diturunkan pelatih Indonesia.

Kenapa? Karena yang dipasang memang bukanlah skuad reguler timnas. Bukan nama-nama pemain yang biasa memperkuat Tim Garuda.

Indonesia 12 tahun lalu mengandalkan pemain-pemain minim pengalaman, dengan tak satupun dari mereka yang punya caps lebih dari 12. Tak ada bomber pujaan Bambang Pamungkas maupun Cristian Gonzales yang menjadi bintang di Piala AFF 2010.

Bayangkan saja, 8 dari 11 starter melawan Bahrain waktu itu merupakan debutan di level internasional alias 0 caps. Hanya Irfan, Ferdinand Sinaga dan penjaga gawang Syamsidar yang pernah berseragam timnas sebelum pertandingan tersebut. 

Lalu membaca nama Aji Santoso sebagai juru taktik, siapapun yang mendalami sepak bola nasional juga bakal bertanya-tanya. Kok pelatihnya bukan Alfred Riedl?

Kenapa? Karena sesungguhnya sejak 2010 PSSI telah mengikat Riedl sebagai pelatih timnas dengan kontrak berdurasi dua tahun. Usai membawa Indonesia ke final Piala AFF 2010, lelaki asal Austria tersebut diberi target menjuarai Piala AFF 2012.

Namun pada Juli 2011 lelaki asal Austria tersebut tiba-tiba saja dipecat oleh PSSI. Sebagai pengganti, didatangkanlah eks penggawa timnas Belanda yang turut menjadi bagian dari skuad Der Oranje di final Piala Dunia 1974 dan 1978. Wim Rijsbergen namanya.

Ternyata kinerja Wim tidak sesuai ekspektasi para pengurus PSSI, sehingga jabatannya dicopot pada Januari 2012. Untuk mengisi kekosongan, ditunjuklah Aji Santoso sebagai pelatih anyar timnas.

Apes bagi Aji. Ia tak bisa membawa skuad terbaik yang dimiliki Indonesia untuk menantang Bahrain. Alhasil, terjadilah apa yang kemudian terjadi.

Drama di Balik Layar

Jauh dari perkara pro atau kontra naturalisasi pemain, yang sebenarnya terjadi ketika itu adalah ekses dari gonjang-ganjing perebutan pengaruh di tubuh PSSI. Ada dua kubu yang adu kuat demi menguasai federasi sepak bola Indonesia.

Bibit-bibit ‘serangan’ terhadap PSSI mulai terlihat dalam Kongres Sepak Bola Nasional di Malang, pada 30-31 Maret 2010. Salah satu poin hasil rekomendasi meminta federasi lebih terbuka serta mau bergandengan tangan dengan Pemerintah, khususnya Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan juga Departemen Pemuda dan Olahraga.

Januari 2011, muncul kompetisi tandingan bernama Liga Primer Indonesia (LPI). Sebuah liga yang lebih merupakan bentuk protes baik terhadap semakin menurunnya liga domestik yang ada maupun kepengurusan PSSI.

LPI dijalankan oleh Konsorsium PT Liga Primer Indonesia Sportindo yang dimotori pengusaha Arifin Panigoro. Liga ini dikonsep seperti Major League Soccer (MLS) di Amerika Serikat dan digadang-gadang sebagai pelopor reformasi sepak bola nasional.

Satu poin yang digugat melalui LPI adalah penggunaan dana APBD oleh klub-klub peserta Liga Super Indonesia (LSI) dan juga kontestan liga-liga turunannya di bawah naungan PSSI. Pengelola LPI menjunjung tinggi kemandirian dan kesehatan finansial, sehingga memberlakukan pembatasan gaji bagi pemain.

Lalu ada pula deretan pemain asing level bintang yang disebut sebagai marquee player. Misalnya penggawa Kamerun di Piala Dunia 1998 dan 2002 Pierre Njanka, juga anggota skuad Aston Villa di final Piala FA 2000 Lee Hendrie.

Kontestan LPI kebanyakan klub-klub baru. Ditambah sejumlah anggota Liga Super Indonesia (LSI) yang ‘membelot’, yakni Persebaya Surabaya, Persema Malang, Persibo Bojonegoro dan PSM Makassar.

PSSI merespons keberadaan liga tandingan ini secara frontal. Seluruh pihak yang terlibat dalam LPI mendapat sanksi keras, baik klub, pelatih, pemain, termasuk juga pengurus klub dan perangkat pertandingan.

Riedl selaku pelatih tim nasional turut memanaskan suasana. Dengan tegas ia menyatakan tak akan memanggil pemain-pemain yang berkompetisi di LPI dengan alasan kompetisi tersebut ilegal karena tidak dinaungi PSSI.

Namun bukan ini yang kemudian membuat Indonesia dibantai Bahrain 10 gol tanpa balas. Ini baru permulaan. Yang terjadi setelah episode inilah yang sebenarnya merusak timnas dan juga sepak bola kita.

Dualisme di Segala Sendi

Gonjang-gonjang sepak bola Indonesia menarik perhatian FIFA. Badan sepak bola internasional tersebut lantas menggelar rapat darurat dengan salah satu hasil keputusannya membekukan sementara kepengurusan PSSI di bawah Nurdin Halid.

Sebagai pelaksana tugas federasi nasional sampai terbentuk kepengurusan baru, FIFA membuat Komite Normalisasi pada April 2011. Eks Ketua Umum PSSI Agum Gumelar ditunjuk FIFA sebagai ketua.

Komite Normalisasi bergerak cepat. LPI dihentikan, lalu Kongres Luar Biasa PSSI diadakan pada 25 Mei 2011 untuk memilih kepengurusan baru periode 2011-2015.

Dua pihak yang tengah berebut pengaruh di PSSI ‘berperang’ dalam KLB tersebut. Namun kubu status-quo harus menerima kekalahan karena yang terpilih sebagai ketua adalah Prof. Djohar Arifin Husin, sosok yang dikaitkan dengan Arifin Panigoro si penggagas LPI.

Pada gilirannya, kebijakan-kebijakan Prof. Djohar membuat gerah orang-orang lama. Misalnya saja penghentian LSI dan gantinya malah mengakui LPI sebagai liga resmi garapan PSSI. Lalu klub-klub LPI digabungkan dalam kompetisi tersebut bersama kontestan LSI.

Respons yang kemudian muncul adalah digelarnya KLB PSSI tandingan di Hotel Mercure, Ancol, pada 18 Maret 2012. Hasil kongres menunjuk La Nyalla Mattaliti sebagai Ketua Umum federasi tandingan yang dinamai Komite Penyelamat Sepak Bola Nasional (KPSI).

Kepengurusan KPSI diisi orang-orang lama PSSI. Selain Rahim Soekasah sebagai wakil ketua, ada pula Tony Aprilani, Roberto Rouw dan Djamal Azis yang diberi amanah oleh peserta kongres sebagai anggota komite eksekutif.

Tidak tanggung-tanggung, KPSI tetap menggelar–atau lebih tepatnya melanjutkan lagi–LSI sebagai liga resmi versi mereka. Puncaknya, Rield yang telah dipecat oleh PSSI-nya Djohar Arifin mereka tunjuk sebagai pelatih timnas tandingan.

Alhasil, ketika itu terjadi dualisme di segala lini. Federasinya ada dua, yakni PSSI dan KPSI; liga domestiknya ada dua, yakni LPI dan LSI; bahkan timnasnya pun ada dua pula, di mana masing-masing dikenal sebagai Timnas LPI dan Timnas LSI.

Dari sinilah awal mula Aji Santoso hanya bisa membawa pemain nirpengalaman ke Bahrain dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2014. Penyebabnya, KPSI melarang pemain-pemain LSI memenuhi panggilan PSSI untuk memperkuat timnas.

Tak cuma pemain, bahkan klub tempat bernaung pun diberi ultimatum agar tak melepas pemainnya ke timnas PSSI. Klub kontestan LSI hanya boleh melepas pemain-pemainnya ke timnas KPSI.

Begitulah yang kemudian terjadi. Indonesia menantang Bahrain di Manama dengan kondisi ala kadar.

Baru tiga menit pertandingan berlangsung, Syamsidar sudah kena kartu merah. Alhasil, Andi Muhammad Guntur yang belum berpengalaman sekalipun membela timnas terpaksa menjadi benteng terakhir di bawah mistar gawang.

Alih-alih mengulang kemenangan di Piala Asia 2007, sayap-sayap Garuda justru patah dibabat Prajurit-Prajurit Dilmun. Sepuluh pemain Indonesia harus rela mengakhiri pertandingan dengan kekalahan telak 0-10.

Talang Datar, 8 Oktober 2024

Leave a comment