Informasi Terpercaya Masa Kini

Paus Fransiskus, Patung Yesus Sibeabea dan Praksis Laudato Si’ di Kaldera Toba

0 14

“Kita tidak terpisahkan dari makhluk lainnya, tapi dengan seluruh jagat raya tergabung dalam suatu persekutuan universal yang indah.” -Petikan dari butir 220 Ensiklik Laudato Si’, 24 Mei 2015.

Ada peristiwa bahagia di Nunsiatur Apostolik, Kedutaan Besar Tahta Suci Vatikan, Jakarta pada pagi hari Jumat, 4 September 2024. Paus Fransiskus berkenan memberkati miniatur Patung Yesus Kristus Penyelamat di Bukit Sibea-bea, Samosir, Sumatera Utara.

Paus mereciki miniatur patung itu dengan air suci, disaksikan oleh Mgr. Kornelius Sipayung, OFM Cap., Uskup Agung Keuskupan Agung Medan (KAM) dan Sudung Situmorang, pemrakarsa pembangunan patung itu. 

Berkat Paus itu menjadi hasurungan, keistimewaan untuk Patung Yesus Sibea-bea. Setelah pemberkatan Patung Kristus Raja di Maumere, Sikka NTT oleh Paus Yohanes Paulus II tahun 1989, maka Patung Yesus Sibea-bea itu menjadi patung kedua di Indonesia yang diberkati oleh Bapa Suci.

Bukan hanya Uskup KAM, pemrakarsa patung, dan masyarakat Samosir atau Kaldera Toba umumnya, saya yang menonton momen pemberkatan Patung Yesus Sibea-bea juga ikut bersyukur, bahagia, dan bangga

Berkat dari Paus telah menjadikan patung itu destinasi wisata rohani yang mendunia, mengabarkan dirinya ke delapan penjuru bumi, jauh menembus dinding Kaldera Toba.

Namun di balik rasa syukur, bahagia, dan bangga oleh berkat Bapa Suci itu ada beban tanggung-jawab besar. Justru karena berkat dari Paus Fransiskus membawa konsekuensi tanggung jawab moral untuk menjadikan Patung Yesus Sibea-bea sebagai sumber berkah kebaikan bagi ekologi manusia Kaldera Toba.

Kebaikan ekologis itulah semestinya nilai utama keberadaan Patung Yesus Sibea-bea di Kaldera Toba. Nilai itu harus ditempatkan di atas nilai bisnis atau ekonomi yang diperoleh Yayasan Jadilah Terang Danau Toba (JTDT), pengelola komplek wisata rohani itu. Juga nilai ekonomi yang mungkin didapatkan oleh Pemda Kabupaten Samosir dan masyarakat di lingkar patung.

Bicara mengenai kebaikan ekologis maka rujukannya adalah Ensiklik Laudato Si’ (Terpujilah Engkau) dari Paus Fransiskus sendiri. Ensiklik itu mengingatkan umat manusia khususnya Katolik tentang krisis lingkungan bumi manusia, rumah kita bersama, akibat ulah manusia sendiri.

Masalah-masalah pemanasan global, polusi (air, udara, tanah, udara), krisis air, dan penurunan keaneka-ragaman hayati dipandang sebagai buah tindakan manusia yang tak menghargai keutuhan ciptaan. 

Masalah-masalah tersebut tidak saja mengakibatkan kemerosotan mutu lingkungan alam. Tetapi, sebagai dampak lanjut, juga menimbulkan gejala peminggiran sosial dan kemerosotan mutu hidup.

Umat manusia, demikian ensiklik itu, memerlukan pertobatan ekologis sebagai jalan keluar dari masalah-masalah tersebut. Inti tobat ekologis itu adalah pembalikan sikap dan tindakan manusia dalam ekosistemnya, dari pola-pola eksploitatif ke pola-pola berkelanjutan.

Krisis Ekologi Manusia Kaldera Toba

Kaldera Toba, tempat Patung Yesus Sibea-bea berada, adalah suatu bentang ekologi manusia yang khas. Dia adalah hasil interaksi triangular antara unsur-unsur keragaman geologis, keragaman hayati, dan keragaman sosio-budaya setempat.

Pada mulanya adalah keragaman geologis. Tiga letusan pertama Gunung Toba — berturut-turut 1.3 juta, 840,00 tahun, dan 501,000 tahun lalu — disusul letusan terdahsyat sejagad 74,000 tahun lalu telah menghasilkan unsur dan struktur batuan serta bentang alam khas Kaldera Toba.

Tatar kaldera itu adalah kombinasi singkapan batuan dasar asli superbenua Gondwana (550-250 juta tahun lalu) dan tutupan aneka jenis batuan vulkanik yang cenderung tandus. 

Pasca letusan keempat, selang ribuan atau puluhan ribu tahun kemudian, bersemilah keaneka-ragaman hayati di atas tanah Kaldera Toba. Aneka flora dan fauna tumbuh dan berkembang di sana. Mula-mula rerumputan dan serangga, kemudian pepohonan dan hewan besar.

Akhirnya, sekitar 1000 tahun lalu, datanglah komunitas manusia Batak. Komunitas itu, dengan mendaya-gunakan energi sosial-budayanya, kemudian mengubah struktur bentang alam Kaldera Toba dalam rangka adaptasi ekologi.

Istilah “adaptasi ekologi” menunjuk pada ikhtiar manusia, dengan kekuatan budayanya, mengelola dan mengolah keragaman geologis dan hayati di sekitarnya sebagai basis kehidupan sosial-ekonomi. Hasilnya adalah suatu ekologi manusia dengan suatu ciri inti budaya yang khas.

Dalam konteks Kaldera Toba sebagai ekologi manusia, aslinya manusia Batak, inti budaya itu adalah pertanian padi sawah lembah (hauma). Lalu di lapis luarnya ada kebun pekarangan (porlak), pertanian lahan kering (huma), dan hutan adat (harangan). Serta perikanan danau, tentu saja.

Sekurangnya sampai abad ke-19 pola adaptasi ekologi manusia Batak itu masih bersifat konservatif. Tiga komponen ekologi manusia, yaitu kekayaan ekologis, hayati, dan budaya, saling mempengaruhi satu sama lain dalam proses ko-evolutif. Hasilnya adalah rona ekologi manusia yang memenuhi kaidah-kaidah kelestarian dan keberlanjutan. 

Masalahnya kemudian, seiring intervensi ekonomi kolonialisme dan selanjutnya kapitalisme, pola adaptasi ekologi yang bersifat konservatif itu secara perlahan tapi pasti bergeser ke pola eksploitatif.

Kekayaan sumberdaya geologis dan hayati dieksploitasi tanpa mengindahkan kaidah-kaidah kelestarian dan keberlanjutan, sehingga Kaldera Toba kini didera krisis ekologi.

Sedikitnya terdapat tiga gejala degradasi lingkungan , indikasi krisis ekologi manusia Kaldera Toba, sebagaimana dipaparkan Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba (BPGKT) dalam naskah Master Plan Kaldera Toba 2018-2030. 

Pertama, peningkatan dan perluasan erosi permukaan tanah. Sekitar 42 persen kawasan Kaldera Toba adalah lereng perbukitan. Kemiringannya di atas 15 persen, curam dan terjal dan, karena itu, rawan erosi. Ditambah fakta 97 persen tanah kaldera tergolong jenis tanah rawan atau rentan erosi (litosol, regosol, podsolik coklat, tanah hutan coklat). 

Tingkat erosi tinggi itu berdampak ganda. Di satu sisi ia mengupas lapisan atas tanah (top soil), sehingga menambah luas areal lahan kritis (belukar, ilalang, dan gundul) di daerah tangkapan air (DTA) Kaldera Toba. Di lain sisi dia juga meningkatkan volume sedimen danau sehingga terjadi pendangkalan.

Kedua, peningkatan kerusakan lahan dan hutan. Penebangan liar dan konsesi hak pengusahaan hutan tak terkendali. Akibatnya luasan hutan di Kaldera Toba berkurang drastis. Tahun 2012 hanya sisa 58,000 ha (15% DTA), jauh di bawah luasan ideal 144,000 ha (51 % DTA). Kondisi ini mengurangi deposit air tanah sehingga banyak sungai yang mengalami penurunan debit air dan bahkan kekeringan.

Sekali hutan Kaldera Toba dibalak, maka kecepatan pemulihannya pasti kalah oleh kecepatan erosi. Soalnya, di musim kemarau, bekas tanah hutan yang menjadi belukar dan padang ilalang itu rentan terbakar lalu gundul tanpa vegetasi. Atau, di musim hujan, lahan kritis itu rawan longsor dan mengirim banjir bandang ke desa-desa pantai Danau Toba. 

Ketiga, peningkatan pencemaran air. Polutan utamanya adalah limbah peternakan, pertanian, perikanan jaring apung, dan rumahtangga. Akibatnya air danau mengalami pengayaan kadar hara (eutrofikasi), ditandai oleh meluasnya tutupan eceng gondok di Danau Toba.

Pencemaran air danau itu sudah memukul balik. Dalam beberapa tahun terakhir, ratusan ton ikan telah mati di area budidaya karamba jaring apung. Arus bawah air mengangkat endapan limbah pakan ikan ke permukaan, sehingga ikan mati kekurangan oksigen.

Krisis ekologi manusia di Kaldera Toba itu memerlukan penanganan serius yang bersifat holistik. Jika tidak maka suatu saat kaldera itu akan berubah dari lembah kehidupan menjadi lembah kematian.

Sibea-bea, Sentrum Tobat Ekologis 

Empat belas hari setelah pemberkatan simbolis oleh Paus Fransiskus, tepatnya pada Kamis 19 September 2024, sebuah Perayaan Misa Syukur Pemberkatan Patung Yesus Sibea-bea diadakan secara konselebarasi di Bukit Sibea-bea, Samosir. Misa dipimpin Uskup KAM Mgr. Kornelius Sipayung, OFM Cap., didampingi Uskup Bandung/Ketua KWI Mgr. Antonius Subianto Bunjamin OSC, l Uskup Palembang Mgr. Yohanes Harun Yuwono, dan Uskup Sibolga Mgr. Fransiskus Tuaman Sinaga.

Misa juga dihadiri oleh Bupati Samosir Vandiko Gultom, Sudung Situmorang selaku penggagas, Praeses HKBP Pdt Rein Justin Gultom, Ketua Yayasan Jadilah Terang Danau Toba (JTDT) Sontaha Pasaribu, para rohaniwan, serta delegasi umat Katolik dan HKBP se-Samosir.

Dengan pemberkatan Patung Yesus Sibea-bea tak berarti patung itu otomatis menjadi sesuatu yang terberkati dan, karena itu, selayaknya disembah dan dipuja agar ketularan berkat juga. Itu penyembahan berhala namanya.

Demikian juga, dengan segala ritual pemberkatan itu, tak berarti patung tersebut menjadi semacam oase rohani semata, tempat orang yang letih dan lesu mereguk air penyegar jiwa. Sebab bila begitu saja, berarti patung itu hanya menjadi suatu pulau yang terisolir dari lingkungan sekitarnya.

Berkat paus dan uskup itu sejatinya adalah sebentuk pengharapan pada Patung Yesus Sibea-bea akan menjadi sentrum pancaran berkah bagi bumi, “rumah yang telah dipercayakan kepada kita” (Bdk. Butir 224 Ensiklik Laudato Si’). Mengingat adanya fakta cekaman krisis ekologi terhadap bumi kita, maka pengharapan itu selayaknya diartikulasikan dalam laku tobat ekologis.

Tobat ekologis itu pada prinsipnya pembalikan perilaku manusia dari pola eksploitatif ke pola konservatif dalam interaksinya dengan tanah, air, serta flora dan fauna.

Dasarnya adalah “kesadaran penuh kasih bahwa kita tidak terpisahkan dari makhluk lainnya, tapi dengan seluruh jagat raya tergabung dalam suatu persekutuan universal yang indah” (Butir 220 Ensiklik Laudato Si’).

“Persekutuan universal yang indah” dalam konteks Kaldera Toba, menunjuk pada relasi dan interaksi triangular antara unsur-unsur geologis (batuan/tanah dan air), biologis (hayati, flora dan fauna), dan sosiologis (budaya).

Implikasinya, tindakan manusia terhadap alam (kekayaan geografis dan hayati), disamping demi keberlanjutan sosio-budaya di sari sisi, juga harus mengindahkan resiliensi dan kelestarian sumberdaya geologis dan hayati di sisi lain.

Krisis ekologi Kaldera Toba kini untuk sebagian berpangkal pada gejala tragedi kepemilikan bersama (tragedy of the commons, Garret Hardin). Terlalu banyak pihak yang merasa paling berhak mengeksploitasi dan mendapat manfaat terbesar dari kekayaan geologi dan biologi Kaldera Toba. Tapi terlalu sedikit pihak yang menjalankan kewajiban untuk memelihara kelestariannya.

Tidak seharusnya satu pihak menunjuk hidung pihak lainnya sebagai yang paling bertanggungjawab atas pelestarian ekologi manusia Kaldera Toba. Paus Fransiskus telah menegaskan, “Kita semua dapat bekerja sama sebagai sarana Allah untuk melindungi keutuhan ciptaan, masing-masing sesuai dengan budayanya, pengalamannya, prakarsanya, dan bakatnya sendiri” (Butir 14 Ensiklik Laudato Si’).

Itu berarti Patung Yesus Sibea-bea sebagai suatu entitas sosial, direpresentasikan oleh Yayasan JTDT sebagai pengelola, memiliki tanggungjawab moral untuk mengambil inisiatif menjadikan dirinya sentrum tobat ekologis. Dengan demikianlah Patung Yesus Sibea-bea akan menjadi sentrum praksis nilai-nilai Laudato Si’ khususnya di Kaldera Toba.

Tiga Langkah Kongkrit

Jika disepakati Patung Yesus Sibea-bea menjadi sentrum praksis nilai-nilai Laudato Si’, khususnya tobat ekologis, maka tiga inisiatif berikut pantas dipertimbangkan Yayasan JTDT sebagai langkah kongkrit.

Pertama, menjadikan nilai-nilai Laudato Si’ (Terpujilah Engkau) khususnya tobat ekologis sebagai nilai institusional Patung Yesus Sibea-bea dalam status dan fungsinya sebagai destinasi wisata (ziarah) rohani. Tobat ekologis bisa disematkan sebagai jenama (branding) obyek wisata itu.

Setiap orang yang datang berwisata rohani ke sana, dengan demikian akan memahami kehadirannya di situ sebagai titik awal langkah pertobatan ekologis. Spektrum tobat ekologis dalam konteks Kaldera Toba sangat luas, mulai dari sekadar mengantongi bungkus permen sendiri sampai menanam pohon di lahan kritis. 

Tapi laku tobat ekologis itu tentu tak hanya dilakukan terbatas di Kaldera Toba. Secara konsisten juga juga bisa diamalkan di tempat asal para wisatawan, semisal mereka datang dari luar kawasan Kaldera Toba.

Kedua, menjadikan kawasan Bukit Sibea-bea sebagai model untuk best practice nilai-nilai Laudato Si’ khususnya pertobatan ekologis. 

Bukit Sibea-bea dan lingkungan sekitarnya kini masih menampakkan wajah krisis ekologi manusia Kaldera Toba. Vegetasi utamanya adalah pohon pinus yang tumbuh jarang. Selebihnya adalah semak belukar dan alang-alang.

Pihak Yayasan JTDT dapat mengembangkan semenanjung (bukit) Sibea-bea itu menjadi semacam Taman Eden Kaldera Toba. Kawasan itu bisa dibangun menjadi arboretum untuk pelestarian flora khas Kaldera Toba, khususnya tumbuhan endemik setempat seperti andaliman, antarasa, ingul, pokki, bintatar, mangga toba, dan lain-lain. Bisa juga diintegrasikan dengan pelestarian fauna endemik setempat, khususnya kambing panorusan samosir. 

Wisatawan, secara individu ataupun kelompok, dapat ditawari kesempatan untuk menjadi orangtua angkat (foster parent) untuk satu pohon yang ditanamnya di area arboretum itu. Tentu dengan konsekuensi wisatawan itu menanggung biaya pembelian bibit dan pemeliharaannya sampai dewasa. 

Ketiga, menularkan semangat Laudato Si’, tobat ekologis, ke luar area Patung Yesus Sibea-bea khususnya ke seluruh kawasan Kaldera Toba yang kini sedang dicekam krisis ekologi, dari daratannya sampai perairan Danau Toba.

Kabar baiknya, Sudung Situmorang sebagai pemrakarsa Patung Yesus Sibea-bea kini sedang mengelola kegiatan pelestarian hutan adat di Tele, Samosir. Itu bisa menjadi sebuah kisah sukses. Di samping beberapa kisah sukses lainnya, semisal reboisasi kaki Gunung Pusukbuhit oleh Wilmar Simanjorang, mantan bupati pertama Samosir. 

Yayasan JTDT dapat memetakan rencana wilayah dampak tobat ekologis Kaldera Toba. Prioritas bisa diarahkan pada pemulihan lahan sangat kritis dan perairan tercemar berat di sana. 

Tentu Yayasan JDTD tidak disarankan menjadi pejuang tunggal Laudato Si’ atau tobat ekologis. Seperti ditekankan Paus Fransiskus dalam ensikliknya, kerjasama antar pihak harus dikedepankan untuk menjaga keutuhan ciptaan Tuhan, bumi yang dianugerahkan-Nya sebagai rumah bersama bagi semua makhluk.

Sebuah pengharapan, semoga entitas sosial Patung Yesus Sibea-bea, dalam hal ini direpresentasikan Yayasan JTDT, dapat menjadi sumber terang untuk jalan tobat ekologis di Kaldera Toba. [eFTe]

Leave a comment