Pekerja Perempuan Paling Rentan Bersaing dengan AI
JAKARTA, KOMPAS.com – Kaum perempuan jadi pihak yang paling rentan dalam menghadapi persaingan dengan kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI).
Direktur IMD World Competitiveness Center (WCC) Arturo Bris menjelaskan, kecerdasan buatan memang menjanjikan efisiensi dan meningkatkan produktivitas.
Namun, AI juga mengancam sejumlah lapangan pekerjaan, khususnya di sektor-sektor yang bergantung pada pekerjaan repetitif yang bisa diotomatisasi.
“Pekerja perempuan paling terdampak oleh perubahan ini,” kata dia dalam keterangan resmi, dikutip Sabtu (21/9/2024).
Baca juga: Kembangkan Kecerdasan Buatan, Indonesia Butuh Investasi Lebih dari Rp 300 Triliun
Ia menambahkan, terdapat tiga poin penting pengaruh AI terhadap ketersediaan lapangan kerja.
Pertama, AI akan menghilangkan sejumlah lapangan kerja yang ada. Oleh karena itu, pemerintah perlu memikirkan bagaimana cara untuk membuka lapangan kerja baru.
Kedua, lapangan kerja di negara maju lebih terdampak oleh AI. Menurut data Organisasi Ketenagakerjaan Internasional Internasional Labour Organization (ILO) PBB, AI akan mengubah atau menggantikan 5,5 persen pekerjaan di negara berpendapatan tinggi dan hanya kurang dari 0,4 persen di negara berpendapatan rendah.
“Negara berpendapatan rendah lebih sedikit terdampak karena terbatasnya akses teknologi,” imbuh dia.
Lebih lanjut, adopsi AI ternyata diduga akan memperburuk inklusi dan dan menciptakan diskriminasi. Data ILO menunjukkan perbedaan gender ternyata mendapat dampak berbeda akibat automasi pekerjaan dengan AI.
Sebanyak 7,9 persen pekerja perempuan di negara maju lebih terdampak otomatisasi pekerjaan dengan AI ketimbang laki-laki dengan persentase 2,9 persen. Sementara di negara berkembang, sebanyak 2,7 persen perempuan lebih terdampak AI ketimbang pria dengan persentase 1,3 persen.
Menurut Bris, penggunaan AI untuk perekrutan, promosi, dan evaluasi kinerja, perlu dievaluasi ulang agar tidak terjadi diskriminasi imbas algoritma AI yang dipakai.
Untuk itu, pemerintah dan pengambil kebijakan disarankan untuk segera melakukan antisipasi. Misalnya dengan menyiapkan pelatihan ulang tenaga kerja dan rencana penanggulangan terhadap tingkat pengangguran dari mereka yang terdampak AI dan kaum marginal.
Pencegahan ini perlu dilakukan agar tak berkembang menjadi gejolak sosial dan berdampak kemampuan suatu negara untuk menarik talenta asing.
“Sebab, tenaga ahli asing kurang berminat untuk masuk ke negara-negara yang memiliki masalah sosial, sehingga mereka memilih lari ke negara lain. Kurangnya daya tarik ini ujungnya akan berdampak pula pada pertumbuhan ekonomi,” sebut dia.
Baca juga: Kemenhub Pastikan Subsidi KRL Berbasis NIK dan AI Tak Diterapkan Tahun ini