Gurun Sahara Dilanda Hujan Lebat yang Bisa Kacaukan Musim Badai Tahun Ini, Apa Penyebabnya?
KOMPAS.com – Gurun Sahara tengah dilanda hujan deras yang tidak biasa. Padahal, gurun tersebut adalah salah satu wilayah terkering di Bumi.
Dikutip dari Down to Earth, Jumat (6/9/2024), Sahara disebut sebagai tempat terkering di Bumi karena menerima sedikit atau tidak sama sekali curah hujan tahunan. Ini adalah gurun terbesar dan terpanas di dunia, yang membentang dari Samudra Atlantik hingga Laut Merah.
Beberapa waktu terakhir, hujan yang turun begitu deras membuat beberapa wilayah Afrika Utara yang biasanya kering kini mengalami musim hujan dan banjir.
Selain itu, beberapa wilayah di Gurun Sahara diprediksi akan mengalami curah hujan lima kali lipat dari curah hujan rata-rata di September 2024.
Peristiwa seperti itu sangat jarang terjadi, rata-rata kurang dari satu kali setiap dekade.
Lantas, apa penyebab hujan deras di Gurun Sahara?
Baca juga: Ilmuwan Perkirakan Gurun Sahara Berubah Jadi Hutan Hijau Setiap 21.000 Tahun Sekali
Penyebab hujan deras di Gurun Sahara
Tidak jelas mengapa gurun itu mengalami begitu banyak hujan, namun beberapa ilmuwan berpendapat, kondisi tersebut merupakan bagian dari fluktuasi iklim alami Bumi.
Sementara yang lain mengatakan, kondisi itu adalah hasil dari perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.
“Jawabannya mungkin ada di antara keduanya,” kata seorang ilmuwan atmosfer di Universitas Teknik Federal (ETH) Zurich, Moshe Armon, dikutip dari Live Science, Jumat (13/9/2024).
Ia menyampaikan, pergeseran iklim di Gurun Sahara mungkin terkait dengan musim badai Atlantik yang lebih lemah.
Musim badai 2024 sejauh ini masih tenang, meskipun ada prediksi di awal musim panas akan ada aktivitas badai yang parah karena suhu laut yang tinggi.
“Lebih dari separuh badai bernama dan 80-85 persen badai besar di Atlantik setiap tahun biasanya berasal dari wilayah di selatan Sahara,” kata seorang ahli meteorologi di National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), Jason Dunion.
Selama musim badai, gelombang atmosfer bergerak dari pantai barat Afrika dan masuk ke Samudra Atlantik Utara, di sepanjang apa yang disebut Zona Konvergensi Intertropis (Intertropical Convergence Zone/ITCZ).
ITCZ adalah sebuah sabuk yang melingkar dekat dengan khatulistiwa, di mana udara dari belahan bumi utara dan selatan bertemu. Sabuk ITCZ dapat membawa awan, hujan, dan badai.
Gelombang atmosfer yang terbawa ke barat di sepanjang ITCZ di atas Atlantik, dikombinasikan dengan perairan Atlantik yang hangat, berkembang menjadi badai tropis dan angin topan.
Namun, sebagian dari ITCZ telah bergeser ke utara tahun ini, di atas Sahara bagian utara.
Para ilmuwan tidak mengetahui dengan jelas mengapa hal ini terjadi, meskipun model iklim sebelumnya telah memperkirakan ITCZ akan bergerak ke utara karena pemanasan lautan dan suhu udara yang lebih hangat, karena emisi karbon memanaskan Belahan Bumi Utara lebih cepat daripada Belahan Bumi Selatan.
Efek dari pergeseran ITCZ ke utara saat ini adalah bahwa ITCZ mendorong hujan lebih jauh ke utara di Afrika daripada biasanya dan melintasi Gurun Sahara.
Selain itu, gelombang atmosfer dari Afrika juga bergeser ke utara dari jalur biasanya.
Tanpa kelembapan ITCZ yang bergerak di atas Atlantik yang hangat, unsur-unsur yang dibutuhkan untuk berkembangnya badai yang parah tidak ada.
Namun, puncak musim badai Atlantik biasanya terjadi pada pertengahan September, jadi jeda dalam musim ini bukan berarti badai Atlantik yang parah dan berbahaya tidak dapat terjadi.
Sementara itu, curah hujan yang luar biasa tinggi di Sahara, bisa jadi disebabkan oleh perairan yang lebih hangat dari biasanya di Samudra Atlantik Utara dan Laut Mediterania.
Jika salah satu dari peristiwa curah hujan yang langka ini terjadi dan sistem cuaca bergerak di atas lautan atau daratan yang jauh lebih hangat, kemungkinan terjadinya curah hujan yang parah akan meningkat.
Baca juga: Bagaimana Wilayah Gurun Bisa Terbentuk? Berikut Penjelasannya
Perubahan iklim karena ulah manusia
Para ilmuan mengatakan, Gurun Sahara dapat terus mengalami kondisi yang lebih basah di masa depan.
Mereka menyebut bahwa aktivitas manusia, terutama emisi gas rumah kaca dapat menyebabkan lautan menyerap lebih banyak panas.
Beberapa model iklim memprediksi lautan yang lebih hangat akan menggeser hujan monsun lebih jauh ke utara di Afrika pada tahun 2100, yang berarti lebih banyak hujan akan turun di wilayah yang biasanya lebih kering.
Model iklim juga memprediksi peningkatan emisi gas rumah kaca yang dapat membuat hujan di Sahara menjadi lebih lebat di masa depan.
Baca juga: 10 Gurun Terluas di Dunia, Peringkat Pertama Bukan Gurun Sahara