“Kaka Boss”, Boleh Juga…
Ko stop tipu-tipu! – Kaka Bos
Sekitar jam 16.05, saya buru-buru ke Cinema XXI di Bandung Indah Plaza (BIP). Ketika tiba di depan loket penjualan tiket, di layar untuk memesan tempat duduk, baru terisi dua kursi.
Saya memilih satu kursi di deret paling atas, sembari membatin. Sepi sekali, apakah film ini gagal meledak?
Film Kaka Boss yang perdana tayang 29 Agustus memang menimbulkan rasa penasaran. Terutama karena dipromosikan sebagai film yang bakal berbeda tentang orang-orang yang berasal dari Indonesia Timur.
Tentu saja, saya sebagai anak yang besar di Jayapura, ingin merasakan emosi dari cerita ini. Atau bernostalgia dengan hal-hal yang relevan di dalamnya.
Tapi, tantangannya tidak di sana, pada kebutuhan akan nostalgia untuk perantauan seumpama saya.
Tantangannya adalah bisakah Kaka Boss menghadirkan nuansa drama komedi yang relate dengan para penonton yang tidak pernah mengalami Indonesia Timur seperti saya?
Premis Kaka Boss (dan Usaha Pembalikan Stereotip). Perihal ide atau premis dasar Kaka Boss, di kanal podcast Hahaha TV, Arie Kriting bilang jika film ini tentang seorang ayah yang juga debt collector.
Ia mendadak ingin menjadi penyanyi demi kebanggaan dan kebahagiaan anak perempuannya. Celakanya, dia tidak ingin dikenal sebagai preman tetapi tidak memenuhi syarat menyanyi dengan layak.
Lebih jauh lagi, kata komika kelahiran Wakatobi, Sulawesi Tenggara ini, Kaka Boss adalah jenis narasi yang diciptakan untuk membalik stereotip terhadap orang dari wilayah Indonesia Timur. Orang-orang yang secara fisik hitam, keriting, dan terlihat sangar. Secara sosial, konon keras, emosional dan antidialog.
Pendek kata, stereotip semacam begini membuat orang-orang dari belahan Indonesia Timur begitu saja identik dengan pekerjaan seperti debt collector. Atau terikat pada dunia premanisme yang keras.
Mendekonstruksi stereotip semacam ini lewat sebuah drama komedi jelas bukan perkara mudah, walau tentu saja menarik.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Kaka Boss berhasil menautkan drama keluarga dan komedi yang berakar dari kebiasaan orang-orang di Indonesia Timur berhasil?
Atmosfir di Depan Layar. Untuk memeriksa semampu apa Kaka Boss berhasil menautkan drama keluarga dan komedi adalah dengan menyimak atmosfir di depan layar.
Walau tak sampai setengah isi bioskop, setidaknya saya bisa menduga-duga apakah komedi dan drama dari film ini bekerja atau tidak. Ternyata, di sepanjang film, komedi dan drama yang dibangun bekerja dengan cukup baik.
Banyak penonton yang tertawa berbarengan, seperti ketika Marta dan Nora dengan dialek timur, mengolok-olok niat kaka bos menjadi penyanyi. Sama halnya juga di bagian yang dramatik, suasana mendadak hening ketika melihat kaka boss–yang bos di sebuah perusahaan keamanan swasta– menangis sesenggukan serupa anak kecil di kamarnya.
Hati seorang ayah memang paling terluka oleh kelakuan anak perempuannya.
Sebagai seorang ayah, film ini bisa menghadirkan emosi yang dalam dan menjadi-jadi. Terutama tentang sosok ayah yang bersedia melakukan apa saja demi membahagiakan anak-anaknya.
Kaka Boss yang berdurasi 120 menit kembali menguatkan karakter yang di balik sikapnya yang keras tanpa kompromi atau sosoknya yang sangar, sebenarnya tersimpan jiwa penuh kasih yang hidup hanya untuk kebahagiaan keluarganya.
Para Debutan dari Timur. Kita jangan mengabaikan fondasi proyek bahwasanya Kaka Boss adalah judul sebuah film yang dihidupi banyak debutan.
Dimulai dari Arie Kriting sebagai sutradara dimana ini adalah film layar lebar pertamanya. Kemudian, Glory Hillary sebagai Angel, putri semata wayang Ferdinand Omakare. Kemudian Elsa Japasal yang berperan sebagai Gladys, teman sekolah Angel.
Juga terlibat penyanyi jebolan Indonesian Idol, Nowela Elizabeth Auparay sebagai Nowela. Kaka Godfred Orindeod, yang pertama kalinya berperan sebagai tokoh utama–Ferdinand Omakare– di film drama komedi, bukan film laga. Dan Adrian Mattheis, atlet MMA berjuluk Papua Badboy.
Para debutan ini, rasa-rasanya, sudah cukup baik melakoni perannya masing-masing. Ketimuran mereka yang beragam tak sebatas asal-usul yang menyatukan mereka kedalam sebuah proyek film tentang orang-orang dari mana matahari terbit di Indonesia.
Ketimuran lintas kultur itu menghidupi akting yang cukup solid. Akting yang membuat drama dan komedi Kaka Boss terasa khas.
Paling terakhr, apakah film ini cukup jitu membalik, sekurang-kurangnya merobek stereotip terhadap orang dari timur sebagai kepribadian yang sangar dan keras?
Nilai-nilai yang mungkin relevan. Karakter ayah yang melakukan apa saja demi kebahagiaan keluarga dan seorang kakak yang menjadi pemimpin dan pelindung bagi adik-adiknya selama di perantauan adalah kultur yang sangat kuat di timur, walaupun tidak khusus di sini.
Dalam hubungan peran yang seperti ini, yang disebut sebagai ketimuran juga menjelaskan hidupnya solidaritas kelompok yang sangat kuat. Baik dalam bentuk saling menjaga atau saling melindungi.
Lebih-lebih terhadap kehidupan urban yang keras, dimana kemampuan bertahan individu bisa terjadi dengan memangsa sesamanya, dalam definisi yang lahiriah maupun simbolik, solidaritas yang semacam ini dapat berfungsi sebagai jaring pengaman kultural.
Yang tak kalah pentingnya adalah sikap yang ksatria dari keberadaan kaka bos dan kumpulannya.
Perawakannya yang sangar dan nada bicara yang jauh dari lemah lembut atau sikap yang tanpa kompromi bukan pertanda dari perilaku yang sudi menghalalkan segala cara.
Sebaliknya dalam diri kaka bos, atau ada banyak sekali orang di timur Indonesia, yang lebih mengutamakan kejujuran dan persaingan yang sehat. Mereka tidak suka menyimpan dendam, apalagi sampai menikam dari belakang.
Last but not least, semarah-marahnya kaka bos, ia adalah suami yang tak pernah bertindak kasar kepada istri atau saudara perempuannya.
Di dalam rumah, ia bisa menjadi lelaki yang manis, lembut hati, dan mudah tersentuh. Ia bersedih dengan cara menyembunyikannya. Ada relasi yang setara dan pertukaran peran yang saling menguatkan di antara istri dan suami.
Saya kira, dengan semua yang tergambarkan di atas, Kaka Boss berhasil membawa emosi yang kuat. Hormat!