Informasi Terpercaya Masa Kini

Skandal guru besar Universitas Lambung Mangkurat hanya ‘puncak gunung es’

0 50

Kasus dugaan rekayasa syarat-syarat permohonan guru besar yang dilakukan oleh 11 dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) dinilai mencerminkan persoalan sistemik dalam proses pencalonannya.

Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Guru Besar Ekonomi Universitas Padjadjaran, Arief Anshory, meyakini bahwa apa yang terjadi di ULM hanya “puncak gunung es”.

Kasus ini telah memantik pertanyaan soal berapa banyak yang “mengakali” sistem demi mencapai jabatan guru besar.

“Saya yakin apa yang terjadi di ULM itu juga terjadi di mana-mana dari dulu sampai sekarang,” kata Arief Anshory kepada BBC News Indonesia.

“Kalau direview semua, mungkin [guru besar di Indonesia] setengahnya habis,” sambung dia.

Para akademisi yang tergabung dalam Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum pun mendesak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, menjamin praktik serupa tidak terulang lagi.

Nadiem juga didesak untuk mencabut jabatan guru besar yang diperoleh dengan cara tidak wajar serta melanggar moral, etika, dan integritas akademik.

Menurut Arief, penindakan semestinya tidak hanya berlaku pada 11 Guru Besar ULM yang diduga bermasalah, namun juga pada semua guru besar yang pencalonannya dinilai janggal. Termasuk para politisi dan pejabat publik.

Rektor ULM, Ahmad Alim Bahri, memastikan telah membentuk tim internal untuk menyelidiki kasus ini.

Ahmad juga mengatakan akan ada pembinaan terhadap dosen-dosen yang mengajukan permohonan guru besar.

Investigasi Majalah TEMPO yang terbit pada Senin (08/09) melaporkan dugaan siasat para akademisi, politisi, hingga pejabat publik demi menjadi guru besar.

Salah satunya dengan cara membayar puluhan juta rupiah agar artikel ilmiah mereka dapat terbit di jurnal predator, yakni jurnal yang kualitasnya diragukan karena tidak melalui proses peninjauan ilmiah.

Sejumlah asesor, yang bertugas menilai pencalonan guru besar, bahkan diduga turut serta meloloskan para calon yang tidak memenuhi syarat.

Ketika dikonfirmasi pada Selasa (09/07), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeklaim telah mencabut status guru besar dari ke-11 dosen ULM tersebut.

“Sudah, sudah dilakukan [pencabutan status guru besar]. Cuma kami kan menjaga nama baik keluarga dan lingkungannya,” ujar Direktur Sumber Daya Manusia Kemendikbud, Lukman, kepada BBC News Indonesia.

“Kalau pemberian guru besar ada pengukuhan, kalau pencabutan kan kami tidak mungkin pengumuman. Yang penting SK-nya sudah kami sampaikan,” tutur Lukman.

Meski demikian, Lukman mengatakan kasus ini adalah ulah “oknum” yang melakukan manipulasi. Namun Kemendikbud juga tidak mungkin meninjau rekam jejak ribuan guru besar lainnya.

“Tentunya yang ke depan kami akan lebih berhati-hati,” kata Lukman.

Bagaimana awal mula kasus ini?

Menurut Majalah TEMPO, Kemendikbud awalnya menerima laporan yang mencurigai keabsahan status guru besar para dosen di ULM.

Salah satu pokok persoalannya adalah ke-11 dosen ini diduga mengirimkan artikel ilmiah ke jurnal predator. Mereka disebut tidak bisa menunjukkan korespondensi dengan penerbit jurnal untuk membuktikan bahwa artikel ilmiah mereka sudah ditinjau.

Para dosen, berdasarkan laporan Majalah Tempo, diduga mengeluarkan uang sebesar Rp70 juta – Rp135 juta saat mengurus permohonan status guru besar yang disetorkan kepada agen penerbitan artikel ilmiah.

Kasus ini terjadi di tengah ambisi ULM mencapai target 100 guru besar untuk menaikkan peringkat kampus dan mempercepat proses menjadi perguruan tinggi negeri badan hukum (PTNBH).

Penyelidikan Kemendikbud ini kemudian turut mengungkap adanya peran sejumlah asesor yang meloloskan calon guru besar yang tidak memenuhi syarat.

Selain itu, Majalah Tempo menemukan kejanggalan pada permohonan pencalonan guru besar sejumlah politisi hingga pejabat publik.

Bagaimana penindakan terhadap 11 Guru Besar ULM?

Sejauh ini, Direktur SDM Kemendikbud, Lukman, mengatakan status guru besar ke-11 dosen ULM sudah dicabut. Namun, surat keputusan pencopotan jabatan guru besar mereka tidak dibuka ke publik “demi menjaga nama baik keluarga dan lingkungannya”.

“Jangan sampai karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Nah semua kan ada mekanismenya, begitu ada pelanggaran kita cabut SK-nya sesuai dengan sanksi yang memang berlaku,” kata Lukman kepada BBC News Indonesia, Selasa (09/07).

Di luar pencopotan jabatan guru besar itu, Lukman mengatakan bahwa ULM kini bertugas membentuk tim untuk menyelidiki pelanggaran etika oleh 11 dosen tersebut. Ujung dari pemeriksaan ini adalah pemberian sanksi disiplin sesuai dengan kewenangan rektor.

Baik Kemendikbud maupun ULM sama-sama enggan mengungkap daftar nama lengkap dari 11 guru besar tersebut.

Ditemui terpisah, Rektor ULM, Ahmad Alim Bahri, memastikan telah membentuk tim internal untuk menyelidiki kasus ini.

“Kemdikbud telah mengirimkan surat yang menginstruksikan langkah-langkah yang harus kami ambil, termasuk membentuk tim ini,” ujar Ahmad kepada wartawan Donny Muslim yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pada Selasa (09/07).

“Kami sedang menunggu arahan lebih lanjut dari kementerian terkait usulan tim yang telah kami sampaikan,” sambung Ahmad.

Belajar dari kasus ini, Ahmad mengatakan akan ada pembinaan terhadap dosen-dosen yang mengajukan permohonan guru besar.

Langkah awal yang akan dilakukan Rektorat ULM adalah membuat surat edaran kepada seluruh dosen agar berhati-hati dalam bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk dalam penerbitan karya ilmiah.

Selanjutnya, ULM juga akan membentuk tim verifikasi dan merancang standar prosedur operasional untuk memeriksa karya ilmiah beserta jurnal yang menjadi salah satu lampiran dalam pengajuan jabatan guru besar/lektor kepala.

“Selama ini yang kita lakukan di universitas hanya uji plagiasi. Itu akan ditingkatkan. Harus ada telaah terhadap jurnal, apakah itu jurnal diskontinu atau tidak,” kata Ahmad.

Ahmad juga menyinggung peran pengawasan para asesor jurnal di lingkungan Kemdikbud yang mesti ditingkatkan. Sebab, asesor atau penilai inilah yang memiliki peran penting dalam menjaga kualitas jurnal.

Rektorat ULM mengatakan kasus ini tidak menghentikan ambisi mereka untuk memiliki lebih banyak guru besar.

Mengapa disebut ‘puncak gunung es’?

Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Guru Besar Ekonomi Universitas Padjadjaran, Arief Anshory, meyakini bahwa apa yang terjadi di ULM hanya “puncak gunung es”.

Hal senada diutarakan anggota Dewan Pengarah Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Idhamsyah Eka Putra. Dia menduga ada banyak yang mengakali sistem pencalonan guru besar demi mencapai jabatan itu.

Dugaan itu muncul berdasarkan pemindaian yang dia dan rekan-rekannya lakukan terhadap nama-nama guru besar di Indonesia.

“Ada yang mengambil sampel acak saja, ada 500 orang yang sudah diajukan menjadi guru besar dan lolos. Kami, saya dan beberapa teman-teman diminta untuk screening orang-orang yang sudah lolos ini secara kualitas bagaimana. Ternyata diambil 100 saja, ternyata jelek. Kualitasnya kacau,” papar Idhamsyah.

Menurutnya, ada yang secara administratif tidak masuk akal bisa diangkat menjadi guru besar.

“Ada yang baru lulus S3 tahun 2022, tapi tahun 2023 sudah diangkat menjadi guru besar. Itu kan enggak mungkin,” jelas Idhamsyah.

“Orang-orang yang dianggap sebagai tokoh pendidikan pun kualitas paper-nya meragukan. Mereka bisa mengakali syarat ‘publikasi terindeks Scopus’. Padahal Scopus tidak melulu bicara kualitas,” sambungnya.

Dari temuan itu, KIKA meyakini bahwa ini adalah persoalan sistemik.

“Problemnya tidak hanya di pelakunya, tapi di sistemnya,” ujar dia.

“Asesor itu kan guru besar. Kalau mereka saja yang mencapai guru besar dengan cara tadi, bagaimana kita bisa percaya dengan para asesor itu?” tanya Idham.

Baca juga:

  • Pemerintah dan PTN disebut ‘saling lempar tanggung jawab’ soal kenaikan UKT – ‘Tahun ini ada uang, tahun depan belum tahu’
  • Tagar #JanganJadiDosen ungkap realita gaji dosen – ‘Tunjangan anak buat popok saja tidak cukup’
  • Sejumlah akademisi menggalang pembentukan ‘serikat dosen’, memprotes peraturan menteri yang ‘sarat beban administrasi’

Ada sejumlah syarat yang ditetapkan bagi seseorang yang ingin mengajukan permohonan guru besar, antara lain memiliki gelar doktor dari perguruan tinggi terakreditasi, memiliki pengalaman menjadi dosen selama minimal 10 tahun, memiliki publikasi ilmiah di jurnal tereputasi seperti Scopus atau Web of Science, dan mencapai angka kredit setidaknya 850 poin.

Namun syarat publikasi ilmiah internasional itu, menurut Idhamsyah, kerap menjadi pangkal pelanggaran etika akademik.

Menurut laporan The Conversation mengenai indeksasi Scopus, yang diteliti oleh Macháček dan Srholec (2022) menunjukkan bawa dari 164.000 artikel yang diterbitkan di jurnal predator sepanjang 2015-2017, sebanyak 16,73% diterbitkan oleh peneliti Indonesia.

Apa akar masalahnya?

Menurut Arief Anshory, akar masalah dari pelanggaran etika akademik ini ada pada ambisi banyak pihak yang ingin mencapai jabatan guru besar, namun tidak ditopang oleh ekosistem riset yang memadai.

Dari sisi universitas, memiliki lebih banyak guru besar dapat membantu akreditasi kampus hingga memperbanyak prodi.

Dari sisi dosen, ada semacam kebanggaan untuk memangku jabatan guru besar.

Kemudian, secara finansial, para guru besar mendapat tunjangan tambahan sebesar satu kali gaji pokok.

“Nambahnya Rp5 juta saja, tapi masa pensiun bisa diperpanjang. Itu penting karena sistem jaringan pengaman untuk pensiun di Indonesia belum baik. Kalau ada tambahan secara finansial, itu membantu,” jelas Arief.

Secara kultural, Arief juga mengatakan ada penghormatan terhadap guru besar. Inilah yang membuat jabatan akademis ini juga diminati oleh kalangan non-akademis seperti politisi dan para pejabat.

Di sisi lain, dia mengatakan ekosistem riset di Indonesia juga belum memadai untuk menopang riset-riset berkualitas. Publikasi internasional, kata dia, serupa “barang baru” bagi para akademisi di Indonesia.

“Salah satu indikator kebaikan ekosistem riset adalah penelitiannya valid dan memberi kemaslahatan. Salah satu unsur supaya ilmu itu memberi kemaslahatan, adalah ilmu itu harus diuji orang. Salah satu caranya adalah dengan mempublikasikan di jurnal,” jelas Arief.

“Mempublikasikan di jurnal itu bukan gaya-gayaan. Itu adalah menguji temuan kita, diuji orang lain. Jurnal ini adalah proses penelitian, sebagai syarat yang harus dilakukan. Dosen-dosen di Indonesia belum terbiasa membuat publikasi di jurnal-jurnal.”

“Tetapi kemudian Kemendikbud mensyaratkan untuk jadi profesor harus ada jurnal. Karena enggak terbiasa, risetnya enggak ada, dana risetnya kurang, ya sudah jalan pintas. Ada demand, ada supply. Terjadi lah kejahatan ini,” kata Arief.

Padahal menurut Arief, syarat publikasi internasional di Indonesia tergolong mudah karena hanya memerlukan satu artikel yang dipublikasi dalam jurnal ilmiah.

Senada, Idhamsyah dari KIKA menyoroti soal bagaimana pengangkatan guru besar di Indonesia lebih banyak terpaku pada syarat-syarat administratif ketimbang fokus pada rekam jejak dan pengalaman akademis. Syarat administratif itu pun disebut kerap diakali.

Dosen bisa diangkat menjadi guru besar kalau memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN), Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) dan Sertifikasi Dosen.

Menurutnya, banyak akademisi “dipersulit” secara administratif, sementara orang-orang non-akademisi justru mendapat kemudahan.

“Politisi, tokoh ini itu sepertinya dengan mudahnya, karena punya akses langsung, gampang jadi guru besar,” kata dia.

Pada akhirnya, Idhamsyah mengatakan persoalan ini membuat kualitas kepakaran guru besar mereka pun dipertanyakan.

Apa tanggapan Kemendikbud?

Kepada BBC News Indonesia, Kemendikbud mengakui bahwa kasus pelanggaran akademik ini tidak hanya ditemukan di ULM. Akan tetapi, menurut Direktur Sumber Daya Manusia Kemendikbud, Lukman, ini adalah tindakan “oknum” yang memanipulasi sistem.

“Ini kan hanya berapa persen sih dari ribuan dosen dan lainnya? Kami akui ada oknum yang melakukan manipulasi. Dari kesalahan itu, kami sudah memberi sanksi,” kata Lukman.

Kemendikbud menyatakan akan lebih berhati-hati dalam pengangkatan guru besar berikutnya.

Menurutnya, sistem pemeriksaan syarat-syarat permohonan guru besar akan dibuat lebih terintegrasi dengan meminimalkan peran para asesor.

“Asesor hanya lebih berperan pada substansi, tapi untuk administratifnya sudah masuk ke sistem,” tutur Lukman.

Dia juga mengatakan pihak-pihak yang mengetahui kejanggalan dalam proses permohonan guru besar dapat melaporkannya melalui Anjungan Integritas Akademik Indonesia (Anjani).

Sejauh ini, Kemendikbud telah menerima sejumlah laporan mengenai dugaan pelanggaran etika akademik. Namun Lukman mengatakan laporan tersebut perlu ditelisik lebih jauh lagi kebenarannya.

Perihal kejanggalan dalam proses pengangkatan guru besar sejumlah politisi dan pejabat, dia mengatakan Kemendikbud akan memeriksa sesuai dengan aduan dan fakta-fakta yang ada.

“Ya itu nanti di kementerian tentunya akan mengevaluasi kembali. Dan dari evaluasi-evaluasi baru akan ada keputusan apapun terkait dengan hasil review,” ujarnya.

Wartawan Donny Muslim berkontribusi dalam laporan ini dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan

Leave a comment