DPR “Anulir” MK, Bola Panas di KPU, Pakar: Kita Lihat, Membangkang atau Jaga Konstitusi
JAKARTA, KOMPAS.com – Bola panas pengaturan Pilkada 2024 kini ada di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai regulator teknis yang akan memproses seluruh pencalonan kepala daerah.
Pasalnya, Badan Legislatif (Baleg) DPR RI telah “menganulir” putusan penting MK terkait UU Pilkada pada hari ini, meskipun secara teori putusan MK bersifat final dan mengikat sejak diucapkan.
Kini tinggal KPU memilih, mengikuti putusan MK sebagaimana mereka lakukan saat memproses pendaftaran Gibran Rakabuming sebagai calon wakil presiden pada Pilpres 2024, atau manut DPR.
“KPU bagaimana? Ikut putusan MK atau revisi undang-undang? Di sini lah letak kita bisa mengukur apakah KPU ikut menjadi pembangkang konstitusi atau penjaga konstitusi,” ujar pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, kepada Kompas.com pada Rabu (21/8/2024).
Baca juga: Fraksi PDI-P Sebut Pembahasan RUU Pilkada Bertentangan dengan Putusan MK
Pendiri Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu mendesak KPU untuk tetap menjaga konstitusi selaku lembaga independen dengan tidak mengikuti akal-akalan Senayan.
Berfungsi sebagai lembaga pelaksana undang-undang bukan berarti KPU harus membebek pada DPR, terlebih secara hirarkis putusan MK lebih tinggi sifatnya karena menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
“Betul dia harus mengikuti undang-undang dan mengikuti undang-undang juga berarti mengikuti putusan MK,” kata Bivitri.
“Kalau perppu atau undang-undangnya itu melanggar putusan MK yang artinya melanggar konstitusi. Jadi KPU seharusnya tidak melaksanakan perppu itu dan langsung saja bikin peraturan KPU yang secara teknis mengatur (perubahan aturan teknis karena penyesuaian putusan MK),” jelas dia.
Ia memberi contoh lain, pada 2018, KPU sempat diperhadapkan pada “ketidakpastian hukum” terkait pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang melibatkan Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta.
Baca juga: UU Pilkada Direvisi, Kepala Daerah Hasil Pilkada Diduga Melanggar Mesti Siap Dibatalkan MK
Saat itu, muncul putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sampai Mahkamah Agung (MA) yang menguntungkan Oesman, sedangkan MK telah lebih dulu menegaskan bahwa calon anggota DPD tidak boleh rangkap jabatan di partai politik sehingga Oesman harus mundur.
KPU pada akhirnya bertindak tepat dengan tetap bersikukuh pada putusan MK dan mencoret Oesman dari daftar calon anggota DPD yang akan berlaga di Pileg 2019.
Bivitri mengingkatkan, jika KPU membangkang putusan MK, legitimasi calon yang berlaga di pilkada juga akan rentan digugat sengketa.
Pada akhirnya, MK sebagai lembaga yang berwenang mengadili sengketa pilkada, juga dapat membuat calon hasil pembangkangan konstitusi itu tidak sah.
“Konsekuensi politik yang penting, ingat semua sengketa hasil pilkada akan diputus oleh MK dan MK bisa memutuskan pemungutan suara ulang (PSU) buat pemilu yang melanggar Putusan MK,” tegas Bivitri.
Baca juga: DPR Manut MA dan Tolak MK soal Usia Cagub, Angin Segar untuk Kaesang
Istilah pembangkangan konstitusi juga keluar dari mulut MK merespons sengkarut hukum pencalonan Oesman Sapta ketika itu.
Dalam putusan nomor 98/PUU-XVI/2018, majelis hakim konstitusi ketika itu menegaskan bahwa sekali Mahkamah telah mendeklarasikan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka tindakan apa pun yang mengabaikan putusan itu bakal bersifat ilegal.
Pengabaian itu dapat berarti penggunaan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang seolah-olah sebagai undang-undang yang sah, padahal oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
“Dengan demikian, dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi,” tulis putusan tersebut.