Kena Cibir dan Tak Mudah, Kata Mereka yang Pilih Lepas Kewarganegaraan Indonesia…
Penulis: Utami Hussin/VOA Indonesia
WASHINGTON DC, KOMPAS.com – Perbincangan mengenai orang yang melepas kewarganegaraan Indonesia dan memilih menjadi warga negara lain kerap berasal dari keingintahuan mengenai alasan di balik itu dan apakah mereka benar-benar meninggalkan keindonesiaan mereka.
Harus diakui, masih ada saja pihak yang mencibir seseorang yang memutuskan untuk menanggalkan kewarganegaraan Indonesia dan memilih menjadi warga negara besar, seperti Amerika.
Padahal, menurut Dewi Brewer, keputusan itu adalah keputusan yang sulit.
Baca juga: WNI Ditangkap Polisi Arab Saudi karena Rekam Jenazah, Bagaimana Kejadiannya?
“Itu keputusan yang tidak gampang, bukan (diambil) dalam semalam atau setahun. Buat saya lebih dari setahun, dua tahun, malah tiga tahun,” jelas perempuan yang baru satu tahun menjadi warga negara Amerika itu.
Dewi lahir di Padang Sumatera Barat pada 1970 dan tinggal di Indonesia hingga 1998.
Setelah itu, ia menetap di Singapura selama 20 tahun sebelum pindah ke AS.
Pertimbangan selama tiga tahun juga diperlukan oleh Anita Denais.
Perempuan kelahiran 1979 di Cilacap, Jawa Tengah, yang tinggal di Amerika Serikat sejak 2009 ini akhirnya memutuskan menjadi warga negara Amerika Serikat pada 2017.
Sementara itu, Aryati Peach, yang punya panggilan akrab Ibu Ari, baru tergerak menjadi warga negara AS setelah sekitar 20 tahun tinggal di negara ini.
Ari semula menganggap tidak perlu menyamai kewarganegaraan suaminya karena sebagai WNI saja ketika itu ia masih bisa bekerja menjadi pengajar bahasa Indonesia di Pangkalan Angkatan Udara Amerika Serikat di Florida.
Tidak lama sebelum meninggal, suaminya kembali meminta Ari untuk menjadi warga negara Amerika Serikat.
Sang suami khawatir peraturan yang terus berubah dapat membuat Ari terpisah dari kedua anaknya yang warga negara Amerika.
Baca juga: WNI Pelaku Penikaman di Philadelphia AS Didakwa Pasal Pembunuhan, Bagaimana Kejadiannya?
Ari bercerita, karena salah satu pengorbanan sangat besar yang dilakukan mendiang suaminya adalah memutuskan menjadi mualaf ketika menikahinya dan membesarkan kedua anak mereka secara Islam.
“Aku berpikir dia on his death bed, jadi aku berpikir ini adalah wish-nya. Aku akan melakukan apapun yang dia minta selama aku bisa,” tuturnya.
Pada 2010, tidak lama setelah menunjukkan bahwa ia melamar kewarganegaraan Amerika, suaminya meninggal dunia.
Beberapa bulan kemudian, perempuan kelahiran Semarang tahun 1959 ini diambil sumpahnya sebagai warga negara Amerika di Tallahassee, Florida.
Sementara itu, Anita mengungkapkan keputusannya menjadi warga negara AS adalah karena komitmennya pada sang suami untuk berkeluarga dan membangun masa depan di AS.
“Ini adalah untuk membuktikan bahwa saya akan menemani dia sampai seumur hidupnya dengan citizenship itu,” kata Anita yang tinggal di Lafayette, Lousiana.
Permintaan suami untuk memiliki kewarganegaraan yang sama, agar Dewi tidak meninggalkannya dan kembali ke Indonesia, juga merupakan pertimbangan yang mendasar bagi keputusan warga Frederick, Maryland itu.
Hal yang lebih memudahkannya dalam mengambil keputusan tersebut adalah karena ia tidak lagi memiliki aset apa pun di Indonesia maupun di Singapura.
Baca juga: Pesawat Saudia SV373 Tak Ada Pilot, WNI di Jeddah Terjebak Delay 1 Hari di Bandara
Tetap cinta Indonesia
Seperti halnya perasaan berat ketiga perempuan itu ketika memutuskan menjadi warga negara Amerika, seberat itu pula kecintaan mereka pada Indonesia hingga saat ini.
Pada hari kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus lalu, misalnya. Dewi menghadiri peringatannya di Wisma Indonesia, kediaman resmi duta besar Indonesia di Washington DC.
“Saya merasa (sebagai) masyarakat Indonesia, walaupun saya sudah bukan warga negara Indonesia karena akarnya itu dari sana dan karena pelajaran (semasa) di sekolah yang benar-benar menempel, cinta bangsa dan negara,” ucapnya.
Ari, yang memandang Indonesia bukan sekadar negara melainkan keluarga yang selalu dirindukan, mengatakan ia selalu menangis setiap mendengar lagu kebangsaan Indonesia Raya pada upacara peringatan HUT RI.
“Never fail, never once. Aku hanya mendengarkan, selalu dengan air mata, itu because I am Indonesian. Aku hanya KTP-nya di Amerika. But I am truly, true and true Indonesian. Dari wajah sampai hati, dari sikap, dari bicara, dari pemikiran. Aku Indonesian sejati,” jelas dia.
Hal sama juga dirasakan Anita. Menyanyikan dan mendengarkan lagu Indonesia Raya sekarang ini justru semakin menggetarkan hatinya dan membuatnya berlinang air mata.
Anita menegaskan, meski berstatus warga negara Amerika, ia tetap mengaku berdarah Jawa, berdarah Indonesia dan menyukai banyak hal tentang Indonesia.
Melepaskan kewarganegaraan Indonesia, lanjutnya, tidak berarti ‘menjual’ semuanya, memutuskan hubungan sama sekali dengan Indonesia.
Dan ketika tidak lagi bermukim di Indonesia, Anita sekarang justru bisa merasakan kebanggaan yang lebih besar pada Indonesia sewaktu mendengar kabar-kabar baik dari tanah kelahirannya ini, baik dalam hal kemajuan pembangunan hingga berbagai prestasi putra-putri bangsa di dalam dan di luar Indonesia.
Baca juga: 8 Fakta Kerusuhan Inggris, Penyebab, Nasib WNI, dan Respons PM Keir Starmer
Kontribusi untuk komunitas Indonesia
Sehari-hari bekerja sebagai manajer sebuah restoran China, Anita sekarang ini menjadi ketua organisasi masyarakat Indonesia di Louisiana, IACA (Indonesian American Community Association).
Selain menjadi wadah silaturahmi komunitas Indonesia di sana, organisasi tersebut juga menjadi sumber bertukar informasi hingga sumber penggalangan dana cepat bagi mereka yang sedang kesusahan atau kemalangan.
IACA, lanjutnya, “ernyata bisa membantu juga untuk teman-teman yang mengurus legalisasi untuk tinggal di sini.
“Sntah asylum, atau yang lainnya. Banyak teman-teman yang sudah tertolong karena mendapat surat rekomendasi dari kami,” terang Anita.
Sementara itu, Dewi mengaku tidak berkontribusi langsung pada warga di Indonesia. Namun, ia memiliki hubungan dengan pihak-pihak yang dapat membantu komunitas Indonesia di sekitarnya.
Pada 2021, ketika bekerja untuk organisasi Asian American Center of Frederick, ia menyambut tawaran untuk mengerjakan proyek melayani komunitas Indonesia di Maryland, khususnya yang berstatus tanpa dokumen tinggal sah dan berpenghasilan tahunan rendah.
Dewi terus melakukan pelayanan itu meskipun awal tahun ini berpindah kerja sebagai financial specialist di badan pemerintah federal, National Institute Standard of Technology.
“Sekarang saya volunteer untuk menservis orang Indonesia yang tidak mempunyai izin tinggal di Amerika untuk mendapatkan asuransi kesehatan gratis selama satu tahun dan kemudian perpanjangannya,” terangnya.
Melestarikan Bahasa Indonesia, dengan aktif berbicara dan menjadi pengajar maupun penerjemah Bahasa Indonesia di berbagai lembaga, merupakan salah satu sumbangsih Ari untuk Indonesia.
Sumbangsih lainnya adalah aktif mengembangkan serta melestarikan budaya Indonesia. Belakangan ini ia asyik memperkenalkan angklung.
Baca juga: 1 WNI Tewas dalam Kebakaran Hotel akibat Demo Bangladesh
Ari yang piawai memainkan beberapa alat musik itu membawa kelompok angklungnya yang beranggotakan para lansia, tampil berkeliling Amerika.
Sepanjang tahun lalu, misalnya. Kelompok tersebut telah 25 kali tampil di berbagai kota.
Proyek terbarunya adalah tampil pada WOW Indonesia Festival, acara besar di Washington DC untuk memperingati 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia-AS.
Melalui angklung dan pilihan lagu-lagu yang dimainkan, ia merasa bahagia.
“Saya sebagai orang Indonesia, saya mempertahankan, melestarikan, mengembangkan budaya Indonesia di negara adidaya. Meletakkan kaki saya, menancapkan bendera Indonesia,” kata Ari yang kini bermukim di Silver Spring, Maryland.