Mengurus “Perceraian” dalam Bisnis
“Berbisnis bersama selama lebih dari 10 tahun, tapi akhirnya ‘bercerai’? Gak bisa Yura!”
Kalimat di atas tercetus di pikiran saya sewaktu saya membaca kasus “pecah kongsi” di sebuah perusahaan skincare, yang mereknya sudah terkenal di kalangan masyarakat. Saya kira, mungkin kamu juga telah mendengar beritanya, sehingga saya tidak perlu lagi membikin sinopsisnya di artikel ini.
Meski begitu, kasus tersebut sebetulnya tidak seheboh kelihatannya, sebab jauh sebelumnya sudah ada kasus-kasus lain yang serupa. Namun, karena tidak terlalu diekspos oleh media, maka tidak ada “jejak digital”-nya di internet, dan tidak banyak orang yang tahu.
Pecah kongsi adalah sesuatu yang biasa di dalam dunia bisnis. Pecah kongsi berarti “perceraian” di antara para investor di dalamnya. Ada berbagai alasan yang menyebabkan terjadinya pecah kongsi, mulai dari besarnya ego, perbedaan visi, hingga masalah keuangan.
Dari situ terlihat jelas bahwa mengelola, merawat, dan mengembangkan sebuah bisnis bukanlah perkara yang mudah dilakukan. Apalagi kalau bisnis tersebut dimiliki oleh beberapa orang, yang perasaan dan pikirannya berbeda-beda. Sudah pasti akan muncul sedikit gesekan, atau bahkan perselisihan, yang bisa memicu terjadinya pecah kongsi.
Pecah kongsi bisa dicegah kalau ada kepemimpinan yang kuat. Pemimpin tersebut harus mempunyai kendali penuh atas sebuah bisnis, menjadi penengah bagi pihak-pihak yang berselisih, dan membikin keputusan terbaik demi kepentingan banyak orang.
Warren Buffett adalah contoh pemimpin bisnis yang baik. Sejak “menahkodai” Berkshire Hathaway dari tahun 60-an, dia sudah sukses mengubah perusahaan tekstil yang nyaris bangkrut itu menjadi konglomerasi kelas dunia.
Semua itu bisa terwujud karena Buffett mempunyai kendali penuh atas Berkshire. Tidak ada seorangpun yang bisa mengintervensinya, bahkan oleh tangan kanannya sendiri, yakni Almarhum Charlie Munger.
Hal itu bukan berarti selama mengelola Berkshire, Buffett dan Munger tidak pernah berbeda pendapat. Tidak sama sekali. Justru sebaliknya secara blak-blakan buffett mengakui bahwa mereka kerap bersilang pendapat dalam mengambil sebuah keputusan.
Namun, perselisihan itu tidak sampai mengakibatkan terjadinya pecah kongsi di Berkshire. Sebab, meskipun tidak sependapat dengan Buffett atas satu hal, namun Munger mengembalikan semua keputusannya kepada Buffett semata-mata karena dialah yang memegang kekuasaan tertinggi di perusahaan tersebut.
Yang jadi persoalan adalah kalau ada dua pemimpin sekuat Buffett di dalam sebuah perusahaan. Dua-duanya adalah pemegang saham yang besar, sehingga sama-sama merasa berkuasa di perusahaan tersebut. Dalam situasi tersebut sangat mungkin muncul keributan, apalagi kalau keduanya sama-sama ngotot dan mau menang sendiri.
Beberapa tahun lalu, kamu mungkin pernah mendengar kasus di PT Tiga Pilar Sejahtera (sekarang sudah berganti jadi PT FKS Food, Tbk.). Kasus tersebut bisa menjadi contoh untuk menggambarkan betapa rumitnya kondisi perusahaan kalau para pejabatnya saling berseteru.
Perseteruan tadi melibatkan jajaran komisaris dan jajaran direktur perusahaan tersebut. Jajaran komisaris mewakili pemegang saham dengan porsi yang lumayan besar, sementara direkturnya juga memiliki jumlah saham yang besar. Dua pihak yang sama-sama mempunyai kekuasaan dan kepentingan itu kemudian bertengkar hebat, dan terjadilah pecah kongsi yang menyebabkan PT Tiga Pilar Sejahtera dijual kepada pihak lain.
Menjual saham adalah opsi yang bisa diambil jika terjadi pecah kongsi. Ketimbang kamu terus bertempur dan kalah, kamu bisa melepas kepemilikan saham kamu kalau memang kamu sudah tidak akur lagi dengan pemegang saham lainnya. Ibarat kata, kamu memilih “bercerai” secara baik-baik tanpa menciptakan konflik berkepanjangan.
Menjual saham bisa dilakukan kepada sesama pemegang saham atau orang luar. Tentu saja menjual saham yang dimiliki harus diproses sesuai dengan peraturan yang berlaku. Di Bursa Efek Indonesia, menjual saham bisa dilakukan di Pasar Sekunder atau di Pasar Negosiasi. Namun, kalau perusahaan tersebut belum ada titel “tbk” di belakangnya maka bisa dilakukan sesuai kesepakatan bersama.
Meski begitu, menjual saham tidak semudah menjual gorengan. Menjual saham lebih mirip dengan menjual properti. Ada metode valuasi tertentu yang perlu diterapkan, supaya kamu menjual saham tersebut sesuai dengan kondisi pasar yang ada, dan kamu bisa mendapat harga yang bagus. Apa saja metodenya? Saya kira saya akan membahasnya di lain kesempatan karena uraiannya lumayan panjang, tidak cukup disampaikan di artikel ini.
Saya kira itu saja dulu yang bisa saya sampaikan. Terima kasih sudah hadir dan membaca artikel ini hingga tuntas.
Salam hangat.