Saat Adik Almas Tsaqibirru Tak Lagi Berpihak ke Trah Jokowi, Gugat MK Agar Kaesang Gagal “Nyagub”
JAKARTA, KOMPAS.com – Nama Almas Tsaqibirru Re A pernah jadi trending topic sekitar Oktober 2023.
Gara-garanya, gugatan dia terkait syarat usia minimum capres-cawapres, dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) secara kontroversial.
Daei segi substansi, gugatan putra pendiri Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman Re A itu bermasalah karena secara eksplisit mengakui uji materi UU Pemilu itu dilayangkannya demi satu orang: Gibran Rakabuming Raka.
Dari segi prosedural-formal, gugatan itu sempat dicabut, lalu dimasukkan kembali, yang belakangan menyeret eks Ketua MK Anwar Usman dicopot dari jabatannya karena pelanggaran etik berat.
Baca juga: Sidang Lanjutan Wanprestasi, Pihak Gibran Tegaskan Tak Ada Perjanjian dengan Almas
Namun, putusan itu kadung jadi karpet merah dari Anwar, ipar Presiden Joko Widodo itu, kepada keponakannya, Gibran.
Berbagai survei dan analisis meyakini, masuknya Gibran dalam kontestasi menyuntik efek elektoral yang berpengaruh pada kemenangan satu putaran Prabowo Subianto pada Pilpres 2024 lalu.
Gugatan adik-adik Almas
Kini, adik-adiknya menempuh jalan yang sama. Anehnya, tujuan trah Re A kini tak menguntungkan trah Jokowi.
Arkaan Wahyu Re A dan Aufaa Luqmana Re A mengajukan gugatan atas syarat usia minimum calon kepala daerah dalam UU Pilkada ke MK.
Tujuannya, menjegal adik Gibran, Kaesang Pangarep, berlaga pada Pilgub Jawa Tengah 2024
“Mas Arkaan ini menginginkan untuk Mas Kaesang maju di Pilkada Solo saja, tidak ujuk-ujuk calon gubernur DKI atau Jateng. Maka, dengan gugatan ini dikabulkan, Kaesang hanya memenuhi syarat di Solo,” kata kuasa hukum Arkaan, Arif, dalam jumpa pers terkait gugatan uji materi ke MK ini pada Senin (15/7/2024).
Baca juga: Gugatan Adik Almas soal Usia Kaesang di MK: Dicecar Hakim hingga Dugaan Plagiasi
UU Pilkada hanya mengatur bahwa syarat calon gubernur-wakil gubernur minimum berusia 30 tahun serta calon wali kota/bupati dan wakilnya berusia minimal 25 tahun.
UU Pilkada tak mengatur secara rinci sejak kapan usia itu dihitung batasnya.
Arkaan meminta, MK mengatur secara rinci bahwa usia minimal tersebut terhitung sejak penetapan calon yang akan berlaga di pilkada oleh KPU, dalam hal ini 22 September 2024.
Sementara itu, Aufaa meminta agar syarat usia itu terhitung sejak pemungutan suara, dalam hal ini pada 27 November 2024.
Adapun Kaesang sampai hari ini masih berusia 29 tahun dan baru akan menginjak usia yang ke-30 pada 25 Desember 2024 nanti.
Problematik
Gugatan masing-masing kakak-beradik itu lagi-lagi problematik.
Majelis hakim dalam sidang pekan lalu mempertanyakan kedudukan hukum Arkaan sebagai penggugat.
Lalu, gugatan Arkaan diduga kuat hasil plagiasi dari perkara sejenis yang telah dilayangkan 2 mahasiswa, Fahrur Rozi dari UIN Syarif Hidayatullah dan Anthony Lee dari Podomoro University.
Dugaan plagiasi muncul lantaran gugatan Fahrur dan Antony sudah masuk ke MK sejak 27 Mei 2024.
Sementara itu, gugatan Arkaan baru masuk ke MK pada 12 Juli 2024, sehari setelah sidang pemeriksaan pendahuluan pertama Fahrur dan Antony.
Baca juga: Hakim MK Pertanyakan Kedudukan Hukum Adik Almas Gugat Syarat Usia Pilkada
Hasil perbandingan Kompas.com atas dokumen permohonan uji materi kedua penggugat yang diunggah ke MK, struktur kalimat, kata per kata, hingga penggunaan tanda baca seluruhnya nyaris sama persis.
Sementara itu, Aufaa disemprot hakim pada sidang kemarin karena memberi judul gugatan itu “Kaesang Dilarang Jadi Gubernur”.
Nama Kaesang juga secara eksplisit disebutkan di dalam pokok permohonan.
“Dihapus, ya, ini provokatif. Enggak boleh begini permohonan begini ini. Ya seolah-seolah memprovokasikan orang Indonesia, atau memprovokasi hakim supaya memutus seperti apa yang diinginkan,” kata hakim konstitusi Arief Hidayat dalam sidang pendahuluan pada Senin (5/8/2024).
“Ini permohonan yang tidak etis kalau saya mengatakan. Tidak boleh dikasih begini. Apalagi ini kuasa hukumnya dan pemohonnya adalah anak-anak muda,” ucap mantan Ketua MK itu.
Sementara itu, hakim konstitusi Arsul Sani berpendapat bahwa hal ini tidak selaras dengan prinsip putusan MK yang bukan berlaku untuk perseorangan.
“Kalau nanti putusannya dikabulkan, apakah dikabulkan seluruhnya atau dikabulkan sebagian, ataupun ditolak, ya, itu berlaku mengikat untuk semua,” ucap Arsul.