Alasan Anak Enggan untuk Difollow Orangtua di Media Sosial
Relasi di media sosial terbuka untuk umum. Siapa saja bisa mengakses, membangun relasi, dan memperkuat jaringan pertemanan.
Kita bisa mendapatkan teman baru dengan cara yang gampang. Juga, kita bisa memperkuat relasi di dunia nyata, seperti relasi anggota keluarga, teman seangkatan dan seprofesi, dan sesama latar belakang lewat medsos.
Namun, kita juga dihadapkan dengan privasi. Kendati bersifat umum, ada privasi yang tak boleh dilangkahi, dihargai, atau pun tak boleh diketahui setiap orang.
Makanya, ada orang yang mengunci platform medsosnya. Hanya orang tertentu saja yang bisa melihat dan mengaksesnya.
Alasannya, salah satunya, adalah menjaga privasi agar tak dilihat dan dikomentari oleh setiap orang.
Ternyata hal itu juga berlaku dalam relasi keluarga di medsos. Tak sedikit anak yang mengunci statusnya dari pandangan dan jangkauan orangtua.
Beberapa alasan yang membuat anak mengunci status atau pun dinding medsosnya dari pantauan orangtua.
Pertama, Tak Mau Kontrol Lebih dari Orangtua
Medsos kerap menjadi tempat untuk meluapkan pikiran dan perasaan.
Menariknya, di medsos, kita tak dibatasi oleh orang lain dalam mengungkapkan apa yang kita rasa dan pikirkan.
Kebebasan itu membuat kita nyaman. Ekspresi diri teraktualisasi seturut dengan apa yang kita kehendaki.
Makanya, ketidaknyaman akan muncul saat ada kontrol dari pihak lain. Apalagi kontrol yang berlebihan.
Skenario yang sama berlaku dengan medsos anak yang mendapat kontrol dari orangtua. Anak akan merasa tak nyaman ketika orangtua “terlalu” mengontrol lebih anak lewat medsos.
Kontrol lebih itu nampak pada sikap orangtua yang mengomentari setiap postingan anak. Apalagi, jika nada komentar yang tersampaikan cenderung negatif, sinis, dan penuh kesangsian.
Belum lagi, jika komentar orangtua mengarah pada kungkungan pada anak dalam bermedsos daripada membangun sikap bijak anak dalam bermedsos.
Kontrol lebih itu bisa bermuara pada reaksi anak, seperti mengunci postingannya dari orangtua.
Boleh saja anak berteman dengan orangtua, tetapi ada status dan postingan yang dikunci dari pandangan orangtua.
Di sini perlu ditekankan bahwa orangtua boleh saja mengontrol medsos anak, tetapi kontrol itu perlu dalam batas kewajaran tertentu.
Juga, kontrol lebih itu tak perlu diungkapkan lewat medsos, tetapi lewat interaksi langsung di rumah.
Lebih baik berbicara empat mata dengan anak, daripada langsung menasihatinya di medsos karena itu akan menimbulkan preseden negatif bagi mereka yang membacanya di medsos.
Kedua, Sikap Orangtua yang Lebay.
Alasan kedua anak enggan mengunci medsosnya dari pandangan orangtua karena sikap orangtua yang lebay. Overacting. Sikap yang terlalu berlebihan.
Salah seorang keponakan saya pernah mengeluh tentang sikap mamanya di medsosnya.
Setiap kali keponakan saya itu memposting sesuatu, mamanya begitu lebay dan seolah-olah menjadikan postingannya sebagai bentuk tunjuk diri atas kehebatan anaknya kepada orang lain.
Keponakan saya itu bekerja di sebuah perusahan yang mengharuskannya pergi pada beberapa kota di Indonesia.
Setiap tiba di kota tertentu atau di luar negeri, dia mempostingnya di medsosnya.
Melihat itu, mamanya memberikan komentar atau juga meng-share postingannya itu dengan menuliskan caption tertentu yang cenderung untuk promosi diri dan melebihkan apa yang terjadi dengan pekerjaannya.
Sikap berlebihan itu kadang membuatnya tak nyaman dan malu apabila komentar dan caption-yang dibagikan mamanya tak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Oleh karena itu, tak sedikit postingannya yang disembunyikan dan dikunci dari pandangan mamanya.
Di sini, orangtua perlu mengklarifikasi setiap postingan anak. Bertanya sebelum membagikan dan menuliskan caption dari unggahan anak.
Tujuannya agar ada keselarasan dengan apa yang sebenarnya terjadi dari unggahan anak dengan apa yang kemudian dibagikan orangtua di dinding medsos mereka.
Refleksi Lebih Jauh
Memang, perlu ada interaksi antara anggota keluarga di medsos. Namun, interaksi itu perlu terbangun dalam rupa relasi yang bijak dan selektif.
Sikap bijak itu muncul di mana setiap anggota keluarga tahu berkomentar dari postingan anggota keluarganya. Paling tidak, komentar itu tak menghadirkan ketidaknyamana.
Sementara itu, sikap selektif muncul saat tahu tempat dalam menilai postingan di antara anggota keluarga. Ada postinganya yang memang membutuhkan sikap tegas orangtua agar anak tak berjalan pada jalur yang salah.
Namun, ada postingan yang mana masuk kalangan usia anak dan tak perlu menjadi bagian dari dunia orangtua. Dengan ini, perlu pengertian dalam melihat setiap postingan anak.
Lebih jauh, interaksi langsung lebih penting daripada membangun relasi yang intens di medsos. Persoalan yang muncul di medsos seyogianya dikomunikasikan di rumah, daripada disikapi atau juga dipecahkan lewat medsos.
Salam