Pidato Benjamin Netanyahu dan Narasi Post-Truth: Distorsi Kebenaran Israel-Hamas
Tiga kutipan tersebut adalah kutipan yang berasal dari pidato Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, saat dia memberikan pidato di Kongres Amerika Serikat pada tanggal 24 Juli 2024.
Pidato tersebut sungguh menarik, seorang Benjamin Netanyahu yang sudah jelas divonis sebagai penjahat perang oleh International Criminal Court dapat dengan bebas menyampaikan pidato provokatif di hadapan dewan legislatif Amerika Serikat.
Pidato Netanyahu berisi banyak ungkapan-ungkapan provokatif yang berupaya menarik simpati. Pidato tersebut juga semakin memperjelas bahwasannya Israel sama sekali tidak merasa bersalah dengan tindakan kejamnya terhadap warga Palestina selama ini. Israel seolah ingin membelokkan kebenaran dengan mengatakan bahwa Hamas adalah teroris dan Israel adalah korban.
Lantas, bagaimana kemudian implikasi dari pidato yang disampaikan oleh Netanyahu, terutama terhadap penyebaran informasi di era post-truth.
Hubungan Amerika Serikat dan Israel
Sebelum mulai membahas pidato Netanyahu, mari coba kita lihat konteks hubungan Amerika Serikat dan Israel. Jika dilihat dari sejarahnya, Amerika Serikat dan Israel memang mempunyai hubungan diplomatik yang sangat kuat.
Pada peristiwa-peristiwa momentual, Amerika Serikat sering muncul sebagai pihak yang memberikan bantuan kepada Israel. Seperti pada peristiwa perang Yom Kippur, Israel banyak mendapat bantuan senjata dari Amerika Serikat (Rodman, 2013).
Pola hubungan diplomatik tersebut nyatanya masih sangat kuat sampai sekarang. Meskipun belakangan ini Israel sering melakukan tindakan yang mendapat kecaman dunia, Amerika Serikat tetap setia memberikan sokongannya. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin meningkatnya bantuan militer yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Israel.
Melansir dari laman Council on Foreign Relation, Amerika Serikat sudah mulai memberikan bantuan ekonomi yang signifikan kepada Israel dari tahun 1971 hingga 2024.
Bahkan, sejak peristiwa penyerangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, Amerika Serikat telah memberlakukan undang-undang yang menyediakan setidaknya $12,5 miliar dalam bentuk bantuan militer untuk Israel, yang mencakup $3,8 miliar dari undang-undang pada bulan Maret 2024 (sesuai dengan MOU saat ini) dan $8,7 miliar dari undang-undang tambahan pada bulan April 2024.
Data tersebut secara gamblang menunjukkan bahwa Amerika Serikat dan Israel memang adalah dua negara yang mempunyai hubungan diplomatik yang sangat erat. Lantas mengapa kemudian Amerika Serikat sangat gencar untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel ?
Mengapa Hubungan Amerika Serikat Dengan Israel Sangat Erat?
Jika diamati secara saksama, terdapat banyak faktor yang menjadi alasan mengapa Amerika Serikat sangat gencar dalam membangun hubungan yang erat dengan Israel. Namun, terdapat salah satu faktor yang dapat menjadi alasan utama, yaitu Amerika Serikat memandang Israel sebagai proxy untuk kawasan Timur Tengah.
Proxy sendiri dapat dipahami sebagai sebuah negara yang menjalankan kepentingan negara lain. Dalam hal ini, Israel mempunyai peran yang sangat strategis untuk menjadi proxy Amerika Serikat dalam menjaga stabilitas kawasan Timur Tengah (Wunderle & Briere, 2008).
Hal tersebut juga ditambah dengan kepentingan Amerika Serikat dalam urusan minyak di kawasan Timur Tengah, dalam hal ini Israel dapat berperan sebagai proxy yang dapat secara langsung mengawal arus sumber daya minyak di kawasan Timur Tengah (Roth, A. 2009)
Selain karena adanya kepentingan strategis seperti sumber daya dan stabilitas kawasan, terdapat faktor lain berupa lobby Israel terhadap para birokrat di Amerika Serikat. Lobby dapat diartikan sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan pada suatu pemerintahan (Mearsheimer & Walt, 2008).
Di Amerika Serikat, lobby Israel terhadap para birokrat dilakukan secara gamblang melalui sebuah organisasi bernama American Israel Public Affairs Committee (AIPAC). Hal ini yang kemudian semakin memperkuat hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dan Israel, terutamanya dalam aspek kebijakan luar negeri.
Serta, hal ini pula yang kiranya memungkinkan seorang Benjamin Netanyahu dapat diundang untuk berbicara ke-4 kalinya di Kongres Amerika Serikat pada tanggal 24 Juli 2024 sebagai seorang perdana menteri Israel.
Substansi Pidato Benjamin Netanyahu
Pada tanggal 24 Juli 2024 waktu setempat, di Amerika Serikat, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu diundang untuk memberikan pidato di Kongres Amerika Serikat.
Pidato Benjamin Netanyahu memuat beberapa poin menarik. Secara umum, pidato tersebut berisi tentang pembelaan Netanyahu atas serangan Israel di Gaza. Ia berdalih bahwa serangan tersebut merupakan upaya memberantas Hamas sebagai sebuah organisasi teroris yang sudah menyerang Israel pada 7 Oktober 2023. Serta, Netanyahu juga mengajak Amerika Serikat untuk turut membantu Israel dalam memberantas Hamas.
Netanyahu bahkan sempat mengusulkan pembuatan aliansi pertahanan baru, yaitu “Abraham Alliance”; bagi Netanyahu, aliansi tersebut merupakan aliansi negara-negara Arab di Timur Tengah untuk menghadapi musuh bersama mereka, yaitu Iran.
Dalam pidato tersebut, Netanyahu juga intens menuduh Iran sebagai ancaman utama dalam konflik di Timur Tengah yang sedang terjadi sekarang ini. Bahkan, ia sempat mengatakan bahwa para demonstran Pro-Palestina yang sedang berdemo saat dia berpidato adalah pendemo yang didanai oleh Iran. Netanyahu juga mengatakan para pendemo tersebut sebagai seorang idiot.
Secara keseluruhan, pidato Netanyahu semakin menunjukkan bahwa memang pihak Israel sama sekali tidak merasa bersalah atas tindakan yang sudah mereka lakukan terhadap Palestina. Seolah pemberitaan yang selama ini beredar di media tidak digubris begitu saja. Bahkan, Netanyahu seolah ingin membelokkan narasi yang selama ini beredar agar opini publik dapat berubah mendukung Israel.
Permainan pembelokkan narasi seperti ini memang hal yang lumrah terjadi di era post-truth sekarang ini. Semakin berkembangnya teknologi informasi membuat kecepatan penyebaran informasi itu sendiri meningkat pesat.
Namun, informasi yang beredar itu tidak pandang bulu, apakah itu merupakan informasi yang benar atau salah, semua bisa menyebar secara bersamaan. Sehingga, hal tersebut bisa menyebabkan kebohongan lebih cepat tersebar daripada kebenaran.
Post-Truth
Istilah “post-truth” mengacu pada konteks sosial-politik di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan daya tarik emosi dan keyakinan pribadi (Higgins, 2016). Dalam konteks ini, batas antara kebenaran dan kebohongan menjadi kabur, dan wacana politik serta publik sering kali bergantung pada perasaan dan interpretasi subjektif daripada akurasi faktual.
Istilah post-truth sendiri mulai populer digunakan sejak tahun 2016, hal tersebut ditunjukkan dengan kata post-truth yang menjadi Oxford Dictionaries Word of the Year 2016 (Hendricks, 2018).
Kepopuleran post-truth juga disokong oleh konteks pemilu di Amerika Serikat, di mana pada saat itu Donald Trump yang sedang berkampanye banyak menggunakan strategi pembelokkan narasi dan penyebaran kebohongan sehingga fakta objektif menjadi semakin tidak jelas, dan masyarakat lebih percaya kepada narasi yang disampaikan secara menggebu-gebu atau dengan gaya provokatif.
Dampak dari semakin berkembangnya narasi post-truth adalah pada bagaimana opini publik dapat dibentuk. Semakin memudarnya fakta objektif dan beredarnya kebohongan tentu akan membuat publik menjadi bingung.
Publik semakin tidak bisa memperoleh kepastian tentang siapa pihak yang benar dan siapa pihak yang salah. Karena setiap pihak selalu mempunyai narasi mereka masing-masing yang tentunya membela dirinya dan menganggap dirinya adalah pihak yang benar (Jones, 2023).
Sehingga, publik kemudian memberikan dukungan atau simpatinya bukan lagi berdasarkan pada suatu fakta objektif atau kebenaran objektif, melainkan didasarkan pada preferensi emosi mereka. Publik jadi lebih memilih untuk mendukung pihak yang bisa menarik simpatinya.
Pidato Benyamin Netanyahu dan Narasi Post-Truth
Hal ini yang juga rupanya dilakukan oleh Benjamin Netanyahu. Pidato yang disampaikan olehnya penuh dengan bias dan upaya pembelaan terhadap tindakan yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Ia berupaya untuk membelokkan fakta mengenai siapa pihak yang salah dan siapa pihak yang benar, siapa pelaku dan siapa korban.
Netanyahu berupaya membelokkan narasi bahwa pihak yang memang adalah musuh merupakan Hamas itu sendiri, dan Israel adalah korban dari serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Bahkan, ia juga memunculkan narasi bahwa Iran adalah biang kerok dari segala kericuhan yang terjadi di Timur Tengah. Ia juga memainkan narasi yang memposisikan Iran sebagai musuh bersama dari Amerika Serikat dan Israel. Tentu hal ini ditujukan untuk menggaet dukungan pemerintah Amerika Serikat agar mereka mau membantu Israel.
Pidato Netanyahu juga semakin mendistorsi opini publik yang ada. Ungkapan maupun kutipan dari pidatonya dapat dijadikan sebagai sumber oleh kelompok yang Pro-Israel untuk melakukan pembelaan. Hal ini tentu dapat berdampak pada opini publik di Amerika Serikat.
Melansir dari laman Pew Research Centre, publik Amerika Serikat sendiri masih mempunyai penilaian yang bervariatif terhadap konflik Israel dan Hamas.
Data tersebut menunjukkan bahwa opini publik Amerika Serikat masih sangat rentan untuk dibelokan agar mendukung salah satu pihak. Hal tersebut juga semakin dimungkinkan dengan adanya pidato Netanyahu pada 24 Juli lalu.
Serta, sejauh ini Amerika Serikat hanya memberikan ruang bagi pihak Israel untuk menyampaikan pesan mereka. Jika sampai beberapa waktu ke depan Amerika Serikat tidak berupaya memberikan ruang untuk pihak Hamas, maka informasi yang beredar di ruang publik tentu tidak akan berimbang. Informasi yang beredar akan condong mengarah kepada pihak Israel.
Hal ini tentu juga patut dipertanyakan, bukankah Amerika Serikat sebagai suatu negara demokrasi seharusnya memberikan ruang bagi semua pihak untuk berbicara guna menyampaikan pandangan dan pendapat mereka?
Lantas, mengapa kemudian sampai dengan saat ini Amerika Serikat selalu condong hanya memberikan ruang bagi pihak Israel saja. Tindakan tersebut tentu merupakan salah satu contoh kehipokritan Amerika Serikat mengenai nilai-nilai demokrasi yang selalu mereka promosikan.
Publik Harus Semakin Melek Literasi Digital dan Informasi
Kebohongan tersebar lebih cepat daripada kebenaran merupakan masalah utama yang dihadapi di era post-truth sekarang ini. Pidato Netanyahu hanyalah salah satu contoh bagaimana para politisi global dapat dengan mudahnya menyebar kebohongan dan memutar balikan fakta.
Pada akhirnya, subjektivitas akan memenuhi ruang publik, objektivitas menjadi kabur. Semua akan dikendalikan oleh emosi, bukan rasio atau akal sehat. Bila kita semua tidak cermat dan cerdas dalam mengolah informasi yang beredar, tentu kita bisa saja menjadi korban penyebaran kebohongan selanjutnya.
Sebagai penutup, penulis hanya ingin menyampaikan kepada publik untuk bisa semakin melek literasi digital dan informasi. Hal ini penting karena seperti apa sudah disampaikan sebelumnya, bahwa di era post-truth sekarang ini kebenaran objektif semakin kabur karena terlalu banyaknya informasi yang beredar.
Orang seperti Netanyahu saja dapat dengan mudahnya menyampaikan pidato seolah ia bukanlah pihak yang salah dan menuduh Hamas dan Iran sebagai musuh utama.
Maka dari itu, penting sekali bagi kita semua untuk semakin melek literasi digital dan informasi. Sehingga, pikiran kita tidak dapat dengan mudah dikendalikan oleh para media ataupun pihak-pihak yang mencoba melakukan penggiringan opini melalui narasi post-truth yang penuh akan ungkapan sensasional guna menggaet simpati dan emosi pendengar.