Beda Sikap Luhut dan Sri Mulyani soal Family Office
TEMPO.CO, Jakarta – Pemerintah menargetkan detail program pembentukan family office rampung sebelum Oktober 2024. Hal ini dikonfirmasi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Menurut Luhut, saat ini pemerintah sedang memfinalisasi pembentukan family office, agar selesai sebelum masa transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi ke Prabowo Subianto.
Luhut menyebut akan memberikan insentif pajak kepada para pengusaha asing, dengan kewajiban investasi dari uang yang mereka tanam di Indonesia. Dia juga menjelaskan, mengenai jumlah minimum uang yang dimasukkan pengusaha, nilai investasi, dan jumlah pegawai family office, itu hal teknis yang harus selesai sebelum peralihan pemerintahan.
“Saya kira itu masih teknis, tapi harus selesai sebelum Oktober ini,” ujar Luhut di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta Pusat, Senin, 22 Juli 2024.
Dia juga mengaku telah melaporkan rencana pembentukan family office kepada Presiden Jokowi dan presiden terpilih Prabowo Subianto. Laporan itu disampaikan Luhut pada Ahad malam, 21 Juli 2024 setelah berkunjung ke dua kota di Uni Emirat Arab, yakni Abu Dhabi dan Dubai.
“Saya baru kembali dari Abu Dhabi, sudah lapor Pak Jokowi dan Pak Prabowo tadi malam, masalah family office dan family business,” ucapnya.
Dari kunjungan itu, Luhut mengaku mendapatkan pelajaran tentang pentingnya kepastian hukum untuk memperlancar investasi. Di sana, kata Luhut, ada pengadilan arbitrase yang tidak memungkinkan adanya banding. Hakim yang mengadili pun merupakan hakim internasional.
Oleh karena itu, Luhut meminta agar Jokowi meniru konsep pengadilan arbitrase dengan mendatangkan hakim dari Singapura, Abu Dhabi, atau Hong Kong. Dengan begitu, kata Luhut, ada kepastian hukum bagi orang yang berinvestasi di Indonesia.
Kendati demikian, sikap Luhut ini berbeda dengan pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Melansir dari Antara, Bendahara Negara itu justru menyatakan masih mempelajari desain rancangan family office dari berbagai negara yang telah mengimplementasikannya.
“Kami akan melakukan benchmarking terhadap pusat dari family office yang ada di berbagai negara. Ada yang sukses, ada yang tidak, jadi kami belajar dari situ,” kata Sri Mulyani, Senin.
Menkeu juga mengatakan Indonesia telah memiliki banyak kerangka peraturan mengenai pemberian insentif perpajakan. Mulai dari tax holiday, tax allowance, dan insentif untuk Ibu Kota Nusantara (IKN). Karena itu, kementeriannya masih akan mengkaji wacana kebijakan insentif pajak dalam family office tersebut.
“Jadi, kita lihat kemajuan dari pembahasan family office itu sendiri. Ada Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) maupun dari sisi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), di mana kita bisa memberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,” tuturnya.
Sebelumnya, dalam rapat internal di Istana Negara Jakarta, pada Senin, 1 Juli 2024, Presiden Jokowi mengumpulkan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju dan kepala lembaga untuk membahas potensi skema investasi family office.
Pemerintah memproyeksikan investasi dari pengelolaan dana berbasis keluarga itu bisa ditarik ke Indonesia hingga 500 miliar dolar AS dalam beberapa tahun ke depan. Jumlah itu merupakan lima persen dari total dana yang dimiliki perusahaan keluarga atau family office di dunia sebesar 11,7 triliun dolar AS.
Di sisi lain, ekonom sekaligus Direktur Celios Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah perlu mengkaji lebih dalam rencana pembentukan family office. Menurut Bhima, berbagai studi menunjukkan, negara yang menjadi tempat family office adalah negara surga pajak atau mampu memberikan tarif pajak super rendah.
“Apakah Indonesia cuma dijadikan sebagai suaka pajak dan tempat pencucian uang, misalnya?” kata Bhima kepada Tempo, Selasa, 2 Juli 2024.
Selain berpotensi menjadi suaka pajak dan tempat pencucian uang, dia khawatir investasi family office tidak masuk sektor riill, seperti untuk membangun pabrik. Namun, hanya untuk diputar di instrumen keuangan, seperti pembelian saham dan surat utang.
RADEN PUTRI
Pilihan Editor: Luncurkan Simbara, Luhut Klaim Negara Bisa Dapat Royalti hingga Rp 10 Triliun Per Tahun