Informasi Terpercaya Masa Kini

Kisah Dualisme Kapolri Saat Era Gus Dur, Berujung Pemakzulan oleh MPR

0 37

KOMPAS.com – Dualisme Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) pernah terjadi ketika pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 20 Oktober 1999-23 Juli 2001.

Dualisme tersebut melibatkan Gus Dur, Kapolri Jenderal Pol Surojo Bimantoro, dan Wakil Kepala Negara Republik Indonesia (Kapolri) Inspektur Jenderal Chairuddin Ismail.

Dualisme Kapolri diawali dari hubungan Gus Dur dengan Bimantoro yang memanas akibat pengibaran bendera Bintang Kejora di wilayah Papua.

Selain itu, keputusan Gus Dur yang mengangkat dan memberhentikan Kapolri juga dinilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak prosedural atau menyalahi aturan.

Baca juga: Sepak Terjang Tito Karnavian, Jenderal Polisi yang Lompati 4 Angkatan Saat Jadi Kapolri

Awal mula dualisme Kapolri

Sebelum Bimantoro diangkat menjadi Kapolri, pucuk pimpinan Korps Bhayangkara dipimpin oleh Jenderal Polisi Roesdiharjo.

Ia menjabat sebagai Kapolri setelah ditunjuk oleh Gus Dur. Roesdiharjo dilantik oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara, Jakarta pada 4 Januari 2000.

Namun, pelantikan Roesdiharjo terkesan mendadak dan tanpa mendapat persetujuan dari DPR.

Delapan bulan kemudian, tepatnya pada 22 September 2000, tongkat kepemimpinan Polri beralih ke Surojo Bimantoro.

Roesdiharjo dicopot setelah terjadi kasus penyerbuan ke Kantor UNHCR di Atambua, Nusa Tenggara Timur yang mengakibatkan tiga petugas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meninggal.

Merujuk catatan Kompaspedia, Senin (18/1/2021), penunjukan Bimantoro sebagai Kapolri dilakukan oleh Gus Dur.

Gus Dur kemudian melantik Bimantoro pada 23 September 2000, tepatnya satu hari setelah mencopot Roesdiharjo.

Baca juga: Sepak Terjang Dono Sukmanto, Salah Satu Kapolri Tersingkat, Menjabat Hanya 9 Hari

Pada saat itu, pelantikan Kapolri yang baru kembali dipermasalahkan karena tidak mendapat persetujuan DPR.

Namun, ada pihak yang menganggap pelantikan Bimantoro sudah sesuai prosedur, karena dilakukan saat suasana darurat sehingga tidak harus menunggu persetujuan DPR.

Ada pula yang menilai, pelantikan Bimantoro merupakan fait accompli atau ketentuan yang harus diterima Presiden terhadap DPR dalam kasus pemberhentian atau pengangkatan Kapolri.

DPR merasa kesal dengan langkah Gus Dur karena pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dinilai melanggar Tap MPR Nomor VII/MPR/2000.

Kendati demikian, posisi Bimantoro sebagai Kapolri tetap aman selama sekitar 10 bulan hingga Juli 2001.

Baca juga: Listyo Sigit Prabowo Jadi Kapolri Terlama di Era Jokowi

Hubungan Gus Dur dan Bimantoro memanas

Posisi Bimantoro sebagai Kapolri mulai goyah setelah Gus Dur melakukan pendekatan untuk meredam pertikaian bersenjata antara aparat dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua.

Pada saat itu, Gus Dur membuat kesepakatan dengan beberapa tokoh di Papua. Mereka diperbolehkan mengibarkan bendera Bintang Kejora yang merupakan lambang OPM.

Gus Dur memandang bendera Bintang Kejora sebagai umbul-umbul yang dikibarkan ketika pertandingan sepak bola. Namun, bendera tersebut harus dikibarkan di bawah Bendera Merah Putih.

Langkah Sang Presiden kemudian ditentang oleh Bimantoro. Dari sinilah, hubungan Gus Dur dengan Bimantoro mulai merenggang.

Hubungan keduanya semakin memanas ketika Polri disebut mengulur proses penyidikan kasus pembelian saham ganda.

Baca juga: Mengenal Hari Bhayangkara dan Lini Masa Sejarah Penetapannya…

Pada saat itu, Polri menahan dua petinggi perusahaan asuransi berkewarganegaraan Kanada yang disebut terlibat dalam perkara tersebut.

Penahanan dua warga nerara asing oleh Polri menyebabkan hubungan Indonesia dengan Kanada menghangat.

Alwi Shihab yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri diminta Gus Dur untuk menyelesaikan persoalan tersebut, namun upayanya tidak berhasil.

Jaksa Agung Marzuki Darusman sampai harus turun tangan menangani kasus yang menjerat dua warga negara Kanada itu.

Saat kasus pembelian saham ganda bergulir, sikap Bimantoro mengenai penyidikan kasus tersebut dinilai sarat kepentingan.

Di sisi lain, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menduga Bimantoro terlibat penggelembungan harga pembelian senapan serbu AK dari Rusia senilai Rp 49,9 miliar.

Pembelian senjata tersebut dinilai tidak sesuai aturan karena Polri sudah mengalami demiliterisasi sejak Juli 2000.

AK merupakan senapan serbu standar tempur yang seharusnya digunakan militer, bukan polisi.

Pembelian senjata tersebut dilakukan secara diam-diam tanpa meminta izin Gus Dur, namun meminta persetujuan dari Megawati selaku Wakil Presiden.

Baca juga: Kisah Timur Pradopo, Pagi Masih Bintang 2, Malam Jadi Calon Kapolri

Gus Dur mencopot Bimantoro

Hubungan Bimantoro dengan Gus Dur semakin memanas saat Sang Presiden disebut terlibat skandal korupsi Bruneigate dan Buloggate.

Kejaksaan Agung yang ikut mengusut kasus tersebut menilai, tidak ada bukti bahwa Gus Dur terlibat Bruneigate dan Buloggate.

Namun, DPR mengeluarkan Memorandum II yang mempertanyakan beberapa kebijakan Gus Dur yang dinilai tidak sesuai ketentuan.

Pendukung Gus Dur di Jawa Timur bereaksi keras terhadap sikap DPR sehingga pecahlah bentrok dengan polisi.

Seorang pendukung Gus Dur di Pasuruan, Jawa Timur tewas tertembak polisi saat mereka menggelar unjuk rasa.

Gus Dur naik pitam mengetahui pendukungnya ditembak hingga tewas. Ia juga murka dengan Bimantoro karena Kapolri dinilai tidak bisa mengendalikan anak buahnya.

Setelah kejadian tersebut, Gus Dur mencopot Bimantoro dari jabatannya sebagai Kapolri pada 1 April 2001.

Bimantoro mendapat penugasan baru sebagai Duta Besar Indonesia untuk Malaysia.

Jabatan Kapolri kemudian diisi oleh Chairuddin. Ia dilantik sebagai Kapolri pada 20 Juli 2001.

Bimantoro yang tidak terima dicopot sebagai Kapolri menolak keputusan Gus Dur. Dari situlah muncul dualisme Kapolri di tubuh Polri.

Baca juga: 6 Fakta Pria Tak Dikenal Serang Rumah Kapolri, Sempat Datangi Kediaman Prabowo

Sebanyak 102 jenderal polisi mengutarakan pernyataan bahwa mereka tidak ingin Korps Bhayangkara dipolitisasi.

Upaya untuk menggalang dukungan ke Ketua DPR Akbar Tanjung dan Ketua MPR Amien Rais juga dilakukan oleh Bimantoro yang tidak terima dilengserkan dari Kapolri.

Pelantikan Chairuddin sebagai Kapolri kemudian menuai protes dari DPR. Momen ini menjadi kali ketiga penunjukkan Kapolri di era Gus Dur diwarnai polemik.

Pengangkatan Chairuddin sebagai Kapolri ditentang oleh PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, fraksi Reformasi, fraksi Perserikatan Daulatul Ummah (PDU), fraksi Partai Bulan Bintang (PBB), dan fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (KKI).

Mereka kemudian menuntut Amien Rais supaya segera menggelar Sidang Istimewa MPR.

Akhirnya MPR menggelar Sidang Istimewa pada 23 Juli 2001. Sidang Istimewa MPR memutuskan untuk memakzulkan Gus Dur lalu melantik Megawati sebagai presiden.

Salah satu alasan Gus Dur dilengserkan karena ia memberhentikan Kapolri tanpa persetujuan DPR.

Saat Megawari menduduki kursi RI-1, Bimantoro yang sempat kehilangan jabatan sebagai Kapolri usai dicopot Gus Dur, kembali menduduki pucuk pimpinan di Korps Bhayangkara.

Bimantoro menyelesaikan jabatannya sebagai Kapolri hingga 29 November 2001. Ia kemudian digantikan oleh Jenderal Pol Da’i Bachtiar.

Leave a comment