Pernyataan Menteri Ara Soal Kepemilikan Rumah dan Kemiskinan Banjir Kritikan
Usulan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait alias Ara, agar orang yang belum memiliki rumah dikategorikan sebagai warga miskin menuai ragam kritik.
Konsultan di AS Property Advisory, Anton Sitorus, menilai pernyataan Ara menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap dinamika kepemilikan rumah. Menurutnya, banyak orang yang memilih tinggal di rumah kontrakan atau sewa, baik karena alasan praktis maupun gaya hidup.
“Makin jelas bagi publik kalau menterinya ini tidak tahu soal perumahan, makanya sering buat pernyataan yang tidak jelas,” kata Anton kepada kumparan, Kamis (19/12).
Anton mengatakan, masyarakat di negara maju banyak yang memilih untuk tidak memiliki rumah dengan alasan lebih praktis dan ingin memprioritaskan kebutuhan lain misalnya biaya hidup.
Di Indonesia, lanjutnya, fenomena serupa juga mulai terlihat, terutama di kalangan generasi muda. “Rumah tidak harus dimiliki, bisa sewa atau kontrak, yang penting kebutuhan hidupnya terpenuhi,” imbuhnya.
Anton juga menyoroti perbedaan pandangan generasi muda dengan generasi sebelumnya. Menurutnya, generasi orang tua menganggap rumah adalah keharusan.
Sementara, generasi muda lebih memprioritaskan gaya hidup ketimbang kepemilikan rumah. Sebagai contoh, Anton menyebut ada artis yang menyewa rumah di kawasan Pondok Indah.
“Kalau beli rumah di sana sudah tidak terjangkau. Tapi sewa masih bisa demi prestige. Mereka mungkin mampu beli rumah di Ciledug atau Bekasi, tapi itu tidak mendukung image pekerjaan mereka,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, menegaskan tidak relevan mengkategorikan orang yang belum memiliki rumah sebagai warga miskin.
“Banyak yang memilih menyewa karena frustasi dengan harga rumah yang tidak terjangkau. Kalau pun ada rumah yang affordable, lokasinya jauh dari tempat kerja,” kata Ali.
Ali menekankan pentingnya pemerintah untuk menyediakan hunian yang sesuai dengan daya beli masyarakat urban. “Harga apartemen untuk kelas menengah urban seharusnya maksimal Rp 500 juta untuk tipe studio. Tapi kenyataannya, harga-harga tersebut sangat terbatas di pasaran,” tambah Ali.
Selain itu, tingginya suku bunga KPR di Indonesia turut menjadi penghambat bagi generasi muda untuk memiliki rumah.
“Suku bunga kita tertinggi di Asia Tenggara, jadi beban cicilan terlalu berat,” tegasnya.
Ekonom dan Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menyoroti adanya pergeseran tren di Indonesia terutama di kalangan Gen Z dan Milenial.
“Dulu, di era baby boomers, rumah menjadi simbol kemapanan dan keamanan. Tapi, bagi Gen Z, rumah bukan prioritas utama,” ujar Bhima.
Bhima menjelaskan, alasan utama generasi muda enggan memiliki rumah adalah tingginya biaya cicilan KPR yang dinilai tidak sebanding dengan pendapatan generasi muda. Selain itu, faktor mobilitas dan gaya hidup juga berperan.
Bhima menyampaikan, trauma generasi Milenial yang harus berdesakan di KRL dari Bogor ke Manggarai menjadi pelajaran bagi Gen Z untuk menghindari pembelian rumah di kawasan penyangga.
Bhima juga menyinggung spekulasi tanah yang dibiarkan pemerintah, sehingga harga tanah dan rumah terus melonjak. “Pendapatan generasi muda saat ini tidak mampu mengejar kenaikan harga properti,” tegasnya.
Sebelumnya, Ara menyebut Bank Dunia bahkan mempunyai indikator warga yang kekurangan konsumsi kalori harian tertentu saja sudah dianggap masuk kategori miskin.
“Saya pikir sangat pantas kita masukkan juga kalau orang belum punya rumah, rumah pertama masuk kategori miskin. Bagaimana dia dianggap sudah tidak miskin, sementara dia belum punya rumah?” katanya dalam acara Rakornas Keuangan Daerah Kemendagri di Hotel Sahid, Jakarta, Rabu (18/12).