Bagaimana nasib Iran setelah ‘Poros Perlawanan’ di Timur Tengah porak-poranda?
Di antara pecahan kaca dan bendera-bendera yang telah terinjak, robekan poster Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei berserakan di lantai Kedutaan Iran di Damaskus, Suriah.
Ada juga sobekan foto-foto Hassan Nasrallah, mantan pemimpin gerakan Hizbullah Lebanon yang tewas dalam serangan udara Israel di Beirut pada September silam.
Di luar, ubin-ubin berwarna biru kehijauan di bagian depan kedutaan masih utuh.
Namun, gambar raksasa Qasem Soleimani, mantan komandan Garda Revolusi Iran yang dibunuh atas perintah Donald Trump selama masa jabatan pertamanya sebagai presiden AS, tampak rusak.
Ini seakan jadi pengingat lebih lanjut akan serangkaian pukulan telak yang menyasar Iran, yang mencapai puncaknya pada hari Minggu (08/12) saat Bashar al-Assad—sekutu utama Iran—mundur dari jabatannya sebagai presiden Suriah.
Sementara lukanya belum sembuh, Iran pun kini bersiap menghadapi periode kedua kepemimpinan Trump sebagai presiden AS.
Di tengah situasi ini, apakah Iran akan menggunakan pendekatan lebih keras atau justru memperbarui negosiasi dengan Barat? Dan, seberapa stabil rezim Iran saat ini?
Hancurnya ‘Poros Perlawanan’ Iran
Dalam pidato pertamanya setelah Assad digulingkan, Khamenei tampak memasang wajah berani.
Kini berusia 85 tahun, ia menghadapi tantangan besar suksesi setelah berkuasa dan memegang otoritas tertinggi di Iran sejak 1989.
“Iran kuat dan berkuasa, dan akan menjadi lebih kuat lagi,” kata Khamenei.
Ia menegaskan bahwa aliansi yang dipimpin Iran di Timur Tengah hanya akan semakin kuat dan “lingkup perlawanan” terhadap Israel akan terus meluas ke seluruh wilayah Timur Tengah. Aliansi itu kini mencakup Hamas, Hizbullah, Houthi di Yaman, dan milisi Syiah di Irak.
“Semakin besar tekanan yang Anda berikan, semakin kuat perlawanannya. Semakin banyak kejahatan yang Anda lakukan, semakin kuat tekadnya. Semakin Anda melawannya, semakin luas pula perlawanannya,” kata Khamenei.
Namun, dampak serangan Hamas tarhadap Israel pada 7 Oktober 2023 lalu telah membuat rezim Iran terhuyung—meski Iran menyambut baik, bila tidak bisa dikatakan mendukung, serangan itu.
Pembalasan Israel terhadap musuh-musuhnya telah menciptakan lanskap baru di Timur Tengah dan, imbasnya, membuat Iran sangat terpuruk.
“Semua kartu domino telah jatuh,” kata James Jeffrey, mantan diplomat AS dan wakil penasihat keamanan nasional, yang sekarang bekerja di lembaga riset non-partisan Wilson Center.
“Poros Perlawanan Iran telah dihancurkan oleh Israel, dan sekarang meledak karena peristiwa di Suriah. Iran tidak memiliki proksi nyata di wilayah tersebut selain Houthi di Yaman.”
Iran memang masih mendukung kelompok-kelompok milisi tangguh di negara tetangga Irak.
Namun, tetap saja, menurut Jeffrey: “Ini adalah keruntuhan hegemoni regional yang sama sekali belum pernah terjadi sebelumnya.”
Terakhir kali Assad menampakkan diri di publik adalah di sebuah pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Iran pada 1 Desember lalu.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Saat itu, ia bersumpah untuk “menghancurkan” para pemberontak yang maju ke ibu kota Suriah.
Pihak Rusia mengatakan Assad sekarang berada di negara itu setelah melarikan diri dari Suriah.
Duta Besar Iran untuk Suriah, Hossein Akbari, menggambarkan Assad sebagai “ujung tombak Poros Perlawanan”.
Namun, ketika akhir bagi rezim Assad tiba, Iran yang melemah—terkejut oleh runtuhnya pasukannya secara tiba-tiba—tidak mampu dan tidak mau berperang untuknya.
Dan, dalam hitungan hari, satu-satunya negara lain dalam “Poros Perlawanan” itu telah tumbang.
Bagaimana Iran membangun jaringannya?
Iran menghabiskan puluhan tahun membangun jaringan milisi untuk mempertahankan pengaruhnya di Timur Tengah, sekaligus membangun mekanisme pencegahan terhadap serangan Israel.
Ini semua bermula sejak Revolusi Islam 1979.
Dalam perang dengan Irak yang terjadi setelahnya, ayah Bashar al-Assad, Hafez, mendukung Iran.
Aliansi antara ulama Syiah di Iran dan keluarga Assad (yang berasal dari sekte minoritas Alawi, cabang dari Syiah Islam) membantu memperkuat basis kekuatan Iran di Timur Tengah yang mayoritas beraliran Sunni.
Suriah juga merupakan rute pasokan penting bagi Iran ke sekutunya di Lebanon, Hizbullah, dan kelompok bersenjata regional lainnya.
Iran telah membantu Assad sebelumnya. Ketika ia tampak rentan setelah pemberontakan pada 2011 berubah menjadi perang saudara, Teheran menyediakan pasukan, bahan bakar, dan senjata.
Lebih dari 2.000 tentara dan jenderal Iran tewas di sana saat bertugas sebagai “penasihat militer”.
“Kita tahu bahwa Iran menghabiskan US$30 miliar (sekitar Rp480,5 triliun) hingga US$50 miliar (sekitar Rp800,8 triliun) di Suriah [sejak sekitar tahun 2011],” kata Sanam Vakil, direktur program Timur Tengah dan Afrika Utara di lembaga riset Chatham House.
Sekarang, saluran yang kemungkinan bisa digunakan Iran untuk mengirimkan kembali pasokan ke Hizbullah di Lebanon (dan ke pihak-pihak lainnya) di masa mendatang telah terputus.
“Poros Perlawanan adalah jaringan oportunistik yang dirancang untuk memberi Iran kedalaman strategis dan melindungi Iran dari serangan-serangan langsung,” kata Vakil.
“Ini jelas gagal sebagai sebuah strategi.”
Perhitungan Iran tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya akan dipengaruhi tidak hanya oleh jatuhnya Assad, tetapi juga oleh fakta bahwa militernya sendiri inferior kala menghadapi Israel di awal tahun ini.
Sebagian besar rudal balistik yang diluncurkan Iran ke Israel pada Oktober lalu berhasil dicegat, meskipun beberapa di antaranya berhasil menyebabkan kerusakan pada sejumlah pangkalan udara Israel.
Di sisi lain, serangan Israel menyebabkan kerusakan serius pada pertahanan udara dan kemampuan produksi rudal Iran.
“Ancaman rudal [Iran] terbukti hanya macan kertas,” kata Jeffrey.
Terlebih lagi, pembunuhan mantan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, di Teheran pada bulan Juli juga merupakan aib besar bagi Iran.
Haluan Iran ke depan
Prioritas utama Iran saat ini adalah kelangsungan hidupnya sendiri.
“Iran akan berupaya memosisikan ulang dirinya, memperkuat apa yang tersisa dari Poros Perlawanan, dan berinvestasi kembali dalam hubungan regional agar dapat bertahan dari tekanan yang mungkin datang dari Trump,” kata Vakil.
Dennis Horak, yang menghabiskan tiga tahun di Iran sebagai charge d’affaires atau kuasa usaha Kanada, mengatakan: “Iran adalah rezim yang cukup tangguh dengan daya ungkit yang luar biasa, dan masih banyak lagi yang dapat mereka luncurkan.”
Iran, katanya, masih memiliki kapasitas persenjataan kuat yang dapat digunakan melawan negara-negara Teluk Arab jika terjadi konfrontasi dengan Israel. Ia memperingatkan agar tidak memandang Iran sebagai macan kertas.
Namun, posisi Iran di kancah internasional memang telah sangat melemah, apalagi mempertimbangkan Trump akan kembali menjabat presiden AS dan kemampuan teruji Israel dalam menghajar musuh-musuhnya.
“Iran tentu akan mengevaluasi kembali doktrin pertahanannya yang sangat bergantung pada Poros Perlawanan,” kata Vakil.
“Ia juga akan mempertimbangkan program nuklirnya dan mencoba memutuskan apakah investasi yang lebih besar diperlukan untuk menghadirkan keamanan yang lebih besar pula.”
Potensi nuklir Iran
Iran bersikeras bahwa program nuklirnya sepenuhnya bersifat damai. Namun, program itu telah mengalami kemajuan pesat sejak Donald Trump membatalkan kesepakatan pada 2015, yang membatasi aktivitas nuklir Iran dengan imbalan pencabutan beberapa sanksi ekonomi bagi Republik Islam tersebut.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Iran diizinkan melakukan pengayaan uranium hingga mencapai tingkat kemurnian 3,67%.
Uranium dengan tingkat pengayaan rendah dapat digunakan untuk memproduksi bahan bakar bagi pembangkit listrik tenaga nuklir komersial.
Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), yang berada di bawah PBB, mengatakan Iran sekarang berusaha mendorong secara signifikan pengayaan uraniumnya hingga levelnya bisa menyentuh 60%.
Iran mengatakan hal ini dilakukan sebagai balasan atas sanksi yang diberlakukan kembali oleh Trump, yang kemudian tetap berlaku di pemerintahan Joe Biden.
Sebelumnya, Biden sempat mencoba dan gagal menghidupkan kembali kesepakatan nuklir dengan Iran.
Tingkat pengayaan uranium yang dibutuhkan untuk mengembangkan bom nuklir adalah 90% ke atas.
Kepala IAEA Rafael Grossi sempat menyatakan bahwa apa yang dilakukan Iran bisa jadi adalah respons terhadap kemunduran yang dialami negara tersebut di Timur Tengah.
“Ini gambaran yang sangat memprihatinkan,” kata Darya Dolzikova, pakar proliferasi nuklir di lembaga riset Royal United Services Institute.
“Program nuklir kini ada di posisi yang sama sekali berbeda dengan tahun 2015.”
Saat ini, jika mau, Iran diperkirakan dapat melakukan pengayaan uranium untuk membuat senjata nuklir dalam waktu sekitar seminggu.
Meski begitu, Iran perlu membangun hulu ledak dan memasang sistem pengiriman, yang menurut para ahli bisa memakan waktu berbulan-bulan atau mungkin setahun.
“Kita tidak tahu seberapa dekat mereka untuk mewujudkan senjata nuklir yang siap dikirim. Namun, Iran telah memperoleh banyak pengetahuan [nuklir] yang akan sangat sulit untuk dilucuti ke depan,” kata Dolzikova.
Negara-negara Barat cemas melihat perkembangan ini.
“Jelas bahwa Trump akan mencoba untuk memaksakan kembali strategi ‘tekanan maksimum’-nya pada Iran,” kata Raz Zimmt, peneliti senior di Institut Studi Keamanan Nasional Israel dan Universitas Tel Aviv.
“Namun, saya pikir dia juga akan mencoba membuka negosiasi baru untuk meyakinkan Iran agar melucuti kemampuan nuklirnya.”
Sementara itu, meski Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah menyatakan keinginannya untuk pergantian rezim, Zimmt yakin negara itu akan menunggu waktu yang tepat, utamanya untuk melihat apa yang akan dilakukan Trump dan bagaimana tanggapan Iran.
Kemungkinannya kecil bagi Iran untuk mengambil langkah provokatif yang bisa memicu konfrontasi skala penuh.
“Saya pikir Donald Trump—sebagai seorang pengusaha—akan mencoba menjalin kontak dengan Iran dan berusaha membuat kesepakatan,” kata Nasser Hadian, profesor ilmu politik di Universitas Teheran.
“Jika itu tidak terjadi, ia akan memberikan tekanan maksimum untuk mendorong [Iran] ke meja perundingan.”
Ia yakin kesepakatan lebih mungkin terjadi daripada konflik, tetapi ia menambahkan: “Ada kemungkinan bahwa, jika ia memberikan tekanan maksimum, keadaan akan menjadi buruk dan kita akan menyaksikan perang yang sebenarnya tidak diinginkan oleh kedua belah pihak.”
Amarah membara yang tersebar luas
Iran juga menghadapi sejumlah tantangan domestik, apalagi ia kini tengah bersiap untuk suksesi kepemimpinan.
“Khamenei tidur sambil mengkhawatirkan warisan dan transisinya dan ingin meninggalkan Iran dalam posisi yang stabil,” ujar Vakil.
Rezim Khamenei terguncang keras protes nasional pada 2020 setelah kematian wanita muda bernama Mahsa Jina Amini, yang dituduh tidak mengenakan jilbab dengan benar.
Pemberontakan tersebut menantang legitimasi lembaga ulama, dan ia lantas ditumpas dengan kekuatan brutal.
Masih ada amarah membara yang tersebar luas di masyarakat terhadap rezim pemerintahan yang telah menggelontorkan begitu banyak sumber daya untuk konflik di luar negeri, sementara banyak warga Iran yang menganggur dan kewalahan menghadapi inflasi tinggi.
Dan, generasi muda Iran pada khususnya semakin terasing dari ide Revolusi Islam. Banyak yang kesal dengan pembatasan sosial yang diberlakukan rezim tersebut.
Setiap hari, ada saja perempuan yang keluar rumah tanpa menutup rambutnya sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim meski ada risiko mereka ditangkap.
Namun, itu tidak berarti rezim tersebut akan runtuh seperti yang terjadi di Suriah, kata sejumlah pengamat Iran.
“Saya pikir rakyat Iran tidak akan melakukan pemberontakan lagi seperti sebelumnya karena Iran telah kehilangan imperiumnya, yang memang sangat tidak populer,” kata Jeffrey.
Sementara itu, menurut Horak, toleransi Iran terhadap perbedaan pendapat akan semakin menurun karena Iran tengah mencoba memperkuat keamanan internalnya.
Undang-undang baru yang telah lama direncanakan untuk mempertegas hukuman bagi perempuan yang tidak mengenakan jilbab juga akan segera diberlakukan.
Namun, Horak tidak yakin rezim pemerintahan saat ini dalam bahaya.
“Jutaan orang Iran tidak mendukung rezim, tetapi jutaan orang lain masih memberikan dukungannya,” katanya.
“Saya tidak berpikir rezim ini akan segera runtuh.”
Namun, mengingat ada amarah membara yang tersebar luas di dalam negeri, dan pusat kekuasaan Iran di Suriah pun telah hilang setelah serangkaian pukulan telak yang melemahkan posisi negara ini di Timur Tengah, tugas para pengambil kebijakan di Iran kini jadi jauh lebih sulit dari sebelumnya.
Baca juga:
- Tiga skenario masa depan Suriah setelah Assad tumbang
- Mengapa Israel menyerang Suriah setelah Assad jatuh?
- Apa itu sekte Alawi, agama mantan Presiden Suriah Bashar al-Assad?
Baca juga:
- Iran mengakui fasilitas nuklirnya rusak parah setelah disabotase
- Mengapa fasilitas nuklir Iran tetap rentan terhadap serangan
- Iran tak lagi izinkan pengawasan ‘mendadak’ atas situs-situs nuklirnya
- Apa yang perlu diketahui tentang serangan Israel terhadap ‘poros perlawanan’ Hizbullah, Houthi, dan Hamas yang disokong Iran
- Seberapa besar kekuatan militer Iran jika dibandingkan dengan Israel?
- Bagaimana nasib Iran setelah kematian Presiden Ebrahim Raisi?
- Apa kepentingan AS, Rusia, Turki, Israel, Iran, dan kekuatan internasional lain di Suriah setelah Assad tumbang?
- Apa yang perlu diketahui tentang serangan Israel terhadap ‘poros perlawanan’ Hizbullah, Houthi, dan Hamas yang disokong Iran
- Seberapa besar kekuatan militer Iran jika dibandingkan dengan Israel?