Eks Direktur Keuangan PT Timah Dituntut 12 Tahun Penjara, Denda Rp 1 Miliar
JAKARTA, KOMPAS.com – Mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk, Emil Ermindra dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan dalam kasus dugaan korupsi pada tata niaga komoditas timah.
Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung menilai, emil terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama eks Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan kawan-kawan.
“(Menuntut agar majelis hakim) menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Emil Ermindra dengan pidana penjara selama 12 tahun dikurangkan lamanya terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa tetap dilakukan penahanan di rutan,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2024).
Baca juga: Jaksa Sebut Helena Lim Terbukti Bantu Korupsi dan Cuci Uang di Kasus Timah
Selain pidana badan, jaksa juga menuntut Helena dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 493.399.704.345 atau Rp 493 miliar.
Baik pidana badan, denda, maupun hukuman uang pengganti yang dituntutkan kepada Emil sama dengan yang disampaikan jaksa saat menuntut Riza.
Jaksa meminta uang pengganti itu dibayarkan paling lama satu bulan setelah terbit putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Jika dalam waktu yang ditentukan uang pengganti belum dibayar, maka hara bendanya akan disita dan dilelang untuk negara.
Dalam hal ia tidak memiliki harta benda untuk dirampas, maka uang pengganti itu akan diganti dengan pidana badan selama 6 tahun penjara.
Baca juga: Jaksa Tuntut Mantan Dirut PT Timah 12 Tahun Penjara atas Kasus Korupsi
Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Reza Pahlevi, eks Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra, dan kawan-kawannya didakwa melakukan korupsi ini bersama-sama dengan crazy rich Helena Lim.
Perkara ini juga turut menyeret Harvey Moeis yang menjadi perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).
Bersama Mochtar, Harvey diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.
Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.
Baca juga: Terdakwa Kasus Timah Keberatan Asetnya Disita Kejagung untuk Tutup Kerugian Negara Rp 332 T
Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Sariwiguna Binasentosa untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Helena selaku Manager PT QSE.
Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar.
“Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” papar jaksa.
Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang TPPU.