PPN 12% dan tax amnesty akan diberlakukan 2025 – Pajak orang kaya diampuni, ‘kelas pekerja dibikin menderita’
Kengototan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dan memberlakukan pengampunan pajak pada 2025 memperlihatkan bahwa “pemerintah sedang putus asa mengejar penerimaan negara dan melihat kelas pekerja sebagai warga yang masih bisa dibikin menderita” demi membiayai visi-misi Presiden Prabowo Subianto, kata ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana.
Sebelumnya Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Panjaitan, mengeklaim adanya kemungkinan penundaan kenaikan PPN tahun depan.
Tapi belakangan klaim itu dibantah Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang mengatakan belum ada pembahasan soal penundaan penerapan PPN 12%.
Di media sosial, petisi berisi desakan kepada pemerintah untuk membatalkan kebijakan tersebut telah menembus 15.000 lebih tanda tangan.
Di sisi lain, ajakan boikot PPN dengan menerapkan gaya hidup hemat alias frugal living mulai diterapkan beberapa orang.
Apakah gerakan boikot ini bakal berpengaruh? Adakah cara lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara selain menaikkan PPN?
‘Saya tidak perlu berkontribusi ke pemerintah’
Ajakan untuk memboikot bayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan mengurangi belanja atau bahkan tidak berbelanja di pasar modern atau pusat perbelanjaan menggema di media sosial X sejak bulan lalu.
Seruan itu dilontarkan sebagai bentuk protes atas rencana pemerintah yang akan memberlakukan kenaikan PPN jadi 12% pada awal tahun depan.
Sejumlah warganet menyatakan setuju dengan ajakan itu dan menyatakan bakal berbelanja di pasar tradisional agar tak kena pajak.
— Wibudi 🐿🦉👽🔮🧟♀️☔🦚🗡️🔨📜 (@BudiBukanIntel) November 18, 2024
Herita, seorang warga Jakarta, adalah salah satunya.
Dia terang-terangan bilang “merasa dongkol karena selalu membayar pajak tapi tidak merasakan hasilnya”.
“Berita pejabat korupsi selalu ada kan? Jadi saya kecewa, marah dan memilih sebisa mungkin enggak perlu berkontribusi ke pemerintah,” tuturnya dalam wawancara kepada BBC News Indonesia, Kamis (29/11).
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Perempuan 40 tahun ini mengaku akan berkomitmen untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di warung-warung kecil dekat rumahnya ketimbang pergi ke supermarket.
Toh, katanya, soal barang-barang yang ada di warung tradisional sama lengkapnya dan harganya tak jauh berbeda.
“Saya juga bukan orang yang banding-bandingin harga, makanya saya enggak mau kasih duit ke pemerintah… Mendingan kasih ke UMKM dibandingkan bayar pajak.”
Baca juga:
- PPN naik jadi 12% mulai 2025, apa dampaknya pada daya beli masyarakat?
- Deflasi lima bulan berturut-turut, tanda ‘masyarakat kelas pekerja sudah tidak punya uang lagi untuk berbelanja’
Untuk menerapkan gaya hidup hemat atau frugal living seperti yang diserukan warganet di media sosial belakangan ini, menurut dia tak terlalu berat.
Karena hampir separuh hidupnya sudah menjalani itu.
Ia mengaku telah terbiasa membeli pakaian jika bajunya sudah kelihatan lusuh atau baru akan nongkrong kalau diajak teman.
“Saya dari dulu memang bukan orang yang selalu ikuti tren, saya beli sesuatu karena butuh.”
“Tapi karena ditambah ada isu PPN naik, ya makin semangat bergaya hidup seperti ini.“
“Apalagi selalu ada berita korupsi, yang akhirnya jadi mikir uang pajak kita sebenarnya untuk apa sih?“
Seperti banyak disuarakan warganet, Herita juga tidak setuju dengan kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun depan. Menurutnya, pemerintah seperti tidak peka pada kondisi ekonomi orang sepertinya dan warga kelas menengah lain.
Katanya, kalau pemerintah ngotot menaikkan pajak, maka dia sebagai warga negara juga “masih punya pilihan untuk menolak kesewenang-wenangan pemerintah” dengan cara menolak membayar PPN.
Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, mengatakan pada dasarnya “sangat sulit” bagi masyarakat untuk menghindari produk-produk yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Ini karena PPN dikenakan dalam setiap proses produksi maupun distribusi barang-barang yang sehari-hari dikonsumsi.
“Jadi walaupun belanja di warung tradisional atau UMKM terbebas dari PPN, tapi banyak dari sistem penyangganya tidak lepas dari PPN,” ujar Andri kepada BBC News Indonesia, Kamis (28/11).
“Hampir pasti seluruh produk yang kita konsumsi sulit terlepas dari PPN.”
Namun demikian, katanya, gerakan boikot yang kian kencang diserukan masyarakat tidak bisa dianggap hal remeh.
Sebab kalau hal itu dijalankan dan masyarakat tidak berbelanja di pasar ritel sehingga penjualan turun antara 5% – 10%, pendapatan negara sudah berkurang sangat signifikan.
“Menaikkan [pajak] 1% tetapi aktivitas ekonomi turun 10%, jadi lebih rugi dibandingkan menaikkan yang 1% tadi.”
Mengapa pemerintah menaikkan PPN?
Pada berbagai kesempatan, pemerintah beralasan menaikkan PPN menjadi 12% tahun depan demi menambah pemasukan negara.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, bilang PPN punya peran vital dalam mendanai berbagai program Presiden Prabowo Subianto dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.
Hitungannya, kata Andri Perdana, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% memiliki potensi menambah penerimaan negara sekitar Rp75 triliun.
Kalau berdasarkan pengamatan Bright Institute, realisasi penerimaan negara hingga Oktober 2024 terdapat indikasi penerimaan PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) tidak mencapai target.
Lembaga riset ekonomi tersebut memperkirakan realisasi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) tahun ini hanya di Rp1.060 triliun atau 93% dari target APBN 2024.
Sedangkan untuk PPN dan PpnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah) diperkirakan hanya mencapai Rp763 triliun atau 94% dari target.
“Oleh karena itu kami memprediksi penerimaan pajak untuk tahun 2024 hanya akan naik 1,33% dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini lebih rendah dari target pemerintah di 3,0% dari outlook Nota Keuangan 2025 dan target awal APBN 2024 yang mencapai 9,0%,” jelas Andri Perdana.
Baca juga:
- Nasib jadi kelas menengah di Indonesia – Banting tulang, makan tabungan, dan penuh kekhawatiran
- Gelombang PHK diperkirakan tembus 70.000 pekerja, serikat buruh bertanya ‘Mana lapangan pekerjaan yang dijanjikan pemerintah?’
Rendahnya penerimaan pajak itu membuat pemerintah perlu mencapai peningkatan penerimaan perpajakan setidaknya 11,48% di tahun depan demi mencapai target APBN 2025.
Itu kenapa, menurut dia, pemerintah bersikukuh menaikkan PPN dan kembali menerapkan tax amnesty jilid III.
Untuk menggolkan rencana itu Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty sudah masuk daftar prioritas prolegnas dan besar kemungkinan lolos sehingga bisa berlaku pada 2025.
Tax amnesty merupakan pengampunan pajak yang ditawarkan pemerintah kepada wajib pajak perorangan dan badan yang mengemplang pajak dengan cara membayar uang tebusan.
“Walaupun tax amnesty tidak pernah mencapai target, tapi lumayan bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan defisit ke depan.”
Bright Institute memperkirakan dari program ini pemerintah berpotensi menambah penerimaan sekitar Rp80 triliun.
Ia menyebut dengan pemerintah memakai instrumen tax amnesty dan PPN untuk menggenjot penerimaan negara, itu artinya negara sedang dalam kondisi “putus asa” lantaran “dua kebijakan tersebut sangatlah kontroversial”.
Di satu sisi pemerintah memeras “keringat” orang-orang kelas pekerja, tapi di lain sisi malah mengampuni orang kaya yang tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak.
“Desperate [putus asa] pemerintah juga kelihatan ketika Sri Mulyani memangkas 50% anggaran perjalanan dinas, itu tanda-tanda negara mencoba mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk tahun depan,” imbuhnya.
Memajaki orang kaya?
Andri Perdana mengatakan sebetulnya ada cara lain yang lebih bijaksana untuk menambah pendapatan negara, selain “memajaki masyarakat kelas pekerja yang kondisinya saat ini pas-pasan”.
Yakni memajaki orang kaya dengan mekanisme pajak kekayaan.
Negara, katanya, bisa menerapkan skema tarif progresif 1% – 2%, semakin besar nilai kekayaan bersih yang dimiliki seseorang, semakin tinggi tarif pajaknya.
“[Pemerintah] cukup ambil 1% aja per tahun untuk 50 orang terkaya Indonesia bisa kok dapat Rp80 triliun per tahun dan itu lebih tinggi dari kenaikan PPN,” jelasnya.
Untuk diketahui, pasca-pandemi Covid-19, saat orang miskin bertambah banyak dan kelas menengah kian terjepit, orang-orang kaya di Indonesia semakin kaya.
Majalah bisnis Forbes bahkan mencatat Indonesia menempati urutan ke-20 dengan jumlah miliarder terbanyak di dunia pada 2023.
Total kekayaan bersih kolektif para taipan yang masuk dalam daftar 50 orang terkaya Indonesia mencatatkan rekor kenaikan sebesar 40% pada 2023.
Jika digabung, total nilai kekayaan bersih mereka kini menyentuh Rp3.924 triliun atau melampaui total nilai APBN Indonesia tahun 2024 yang sebesar Rp3.325,1 triliun.
Tapi, kata Andri Perdana, pemerintah sampai sekarang belum berani memajaki orang kaya.
“Karena pemerintah tidak memiliki bargaining power [daya tawar] politik terhadap mereka yang punya modal sangat banyak dan tidak ada approach [mendekati] untuk memajaki mereka.”
Baca juga:
- Rumitnya syarat jaminan sosial bagi karyawan yang di-PHK
- Tiga hal penting dalam Putusan MK soal UU Ciptaker yang bakal berpengaruh besar pada gaji karyawan dan ekonomi Indonesia
Selain pakai pajak kekayaan, pemerintah juga sebetulnya masih bisa mengkaji ulang proyek-proyek yang memakan anggaran besar, misalnya Ibu Kota Nusantara (IKN) atau makan bergizi gratis.
Hal lain meniadakan insensif-insentif fiskal yang selama ini diberikan kepada industri yang masuk dalam proyek strategis nasional.
“Mereka selama ini sangat banyak mendapatkan tax holiday dan insentif fiskal lainnya, padahal kalau kita lihat proyek smelter nikel sangat sedikit dampaknya pada penyerapan tenaa kerja dibandingkan dengan biaya kerusakan lingkungan.”
“Percuma pemerintah bangga-banggakan ekspor tinggi, kalau kita tidak dapat satu rupiah pun dari sana.”
“Jadi intinya, kenapa pemerintah tidak bisa melihat sumber-sumber perpajakan dari mereka yang paling banyak memiliki uang?”
Apa jadinya kalau PPN tetap diberlakukan?
“Tentu saja mereka yang pendapatannya pas-pasan makin sulit meningkatkan kesejahteraannya,” kata Andri Perdana.
Ia menjelaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memang terlihat proporsional lantaran semua orang dikenakan besaran pajak yang sama.
Tetapi, sesungguhnya tidak demikian.
Orang kelas pekerja yang pendapatannya pas-pasan bakal lebih berat kondisinya karena pengeluaran dan pendapatannya tak lagi berimbang.
Untuk bertahan hidup, pilihan mereka bisa jadi menambah utang.
“Tapi bandingkan dengan mereka yang pendapatannya Rp100 juta, pengeluaran mereka kan tidak akan sebesar itu juga, ada selisih yang bisa ditabung,” imbuhnya.
“Itu kenapa PPN yang terlihat proporsional, tapi sebenarnya sangat regresif bagi masyarakat kelas pekerja.”
Terhadap industri padat karya, dampak yang terjadi ketika daya beli rendah, penjualan menurun, dan produksi berkurang, maka bakal terjadi penutupan pabrik yang berakhir dengan pemutusan hubungan kerja pegawai.
“PHK sangat-sangat bisa terjadi, terutama bagi penjualan yang menargetkan masyarakat kelas pekerja yang pendapatan pas-pasan.”
Kalau situasi demikian yang terjadi maka pertumbuhan ekonomi bakal stagnan bahkan menurut sejumlah pengamat ekonomi justru bisa turun di angka 2% seperti saat pandemi 2020-2021.
Sementara Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi di masanya bisa mencapai 8%.
Apa keputusan final pemerintah soal PPN 12%?
Pada Rabu (27/11), Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Panjaitan, mengeklaim kebijakan PPN menjadi 12% akan diundur dari rencana awalnya berlaku pada 1 Januari 2025.
Penundaan pemberlakuan PPN 12% dilakukan karena pemerintah, katanya, ingin memberikan bantuan sosial atau stimulus terlebih dahulu kepada masyarakat kelas menengah dan bawah.
“Ya hampir pasti diundur, biar dahulu jalan tadi yang ini [stimulus]. Ya kira-kira begitulah,” ucap Luhut usai mencoblos Pilkada Jakarta di Jakarta Selatan pada Rabu (27/11), seperti dilansir detik.com.
Pengamat ekonomi, Andri Perdana, mengaku ragu pernyataan Luhut itu sebagai keputusan final pemerintah.
Menurutnya omongan itu hanya menunjukkan bahwa pemerintah sudah menangkap keresahan masyarakat dan kalangan industri yang protes jika kebijakan itu diterapkan.
“Tapi apa yang dikatakan Pak Luhut belum bisa jadi jaminan saat ini,” sebut Andri Perdana.
Baca juga:
- Produk China membanjiri Indonesia, puluhan pabrik tekstil tutup dan badai PHK – ‘Kondisi industri tekstil sudah darurat’
Dalam jawaban tertulis kepada BBC News Indonesia, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, bilang “belum bisa memberikan tanggapan.”
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Dwi Astuti, menyebut “pihaknya senantiasa akan mengikuti keputusan pemerintah.”
Terbaru, Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan belum ada pembahasan soal penundaan penerapan PPN 12%.
“Belum. Belum, belum dibahas,” jawab Airlangga ketika dikonfirmasi langsung di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (28/11) seperti dilansir detik.com.
Dan saat dikonfirmasi lebih lanjut apakah akan ada rapat khusus dengan Presiden Prabowo Subianto membahas masalah kenaikan PPN 12%, Airlangga juga mengatakan sejauh ini memang belum ada agenda tersebut.
“Belum dibahas,” jawabnya singkat.