Pemerintah Tarik Utang Setiap 2 Minggu Sekali, Bagaimana Dampak ke APBN?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pemerintah bisa menarik utang setiap dua minggu sekali. Langkah tersebut sudah dilakukan pemerintah sejak lama atau secara rutin.
“Di dalam negeri, kita menerbitkan utang setiap dua minggu, itu reguler lelang. Reguler lelang itu kita lakukan setiap dua Minggu,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Jakarta, Rabu (13/11).
Dia menjelaskan, penarikan utang ini dilakukan melalui lelang surat berharga negara (SBN). Meski menarik utang baru, pemerintah akan tetap berhati-hati dan tidak akan melebihi volume yang diperlukan. “Kita akan lihat juga appetite dan volumenya,” ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menegaskan bahwa utang jatuh tempo pemerintah juga akan tetap terukur. Dia mencontohkan utang jatuh tempo pada 2024 mencapai Rp 434,29 triliun. Meskipun jumlahnya besar, tapi pemerintah tak merasa khawatir.
“Kita dianggap stabil dan kredibel, market itu bisa dan mereka yang pegang surat utang yang jatuh tempo, mereka tidak akan mencairkan,” kata Sri Mulyani.
Pemerintah Jajaki Strategi Prefunding
Sri Mulyani mengungkapkan bahwa pemerintah sudah menyiapkan strategi untuk menjaga stabilitas anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Strategi tersebut melalui prefunding atau pendanaan awal untuk anggaran 2025.
“Kita sedang membuat atau menjajaki prefunding 2025. Apakah ini dalam bentuk curency apa, instrumennya sukuk atau SBN. Itu kita lakukan dengan seluruh informasi yang didapatkan dari market,” ujar Sri Mulyani.
Pemerintah juga akan melakukan evaluasi biaya yang dibutukan, terutama jika tetap memilih penerbitan instrumen utang di pasar internasional.
Dampak Penarikan Utang Pemerintah
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam menarik utang baru. Seretaris Jenderal Fitra, Misbah Hasan menyoroti risiko fiskal yang akan dihadapi akibat utang tersebut.
“Penarikan utang yangg dilakukan pemerintah, jelas mempunyai risiko dalam jangka menengah, maupun panjang,” kata Misbah kepada Katadata.co.id, Kamis (14/11).
Risiko pertama, utang pemerintah makin membengkak. Karena total utang pemerintah sudah mencapai Rp 8.470,9 triliun pada September 2024. Hal ini akan membebani pembayaran bunga dan pokok utang melalui APBN.
“Ini artinya, bunga utang yang harus dibayarkan oleh pemerintah setiap tahun juga meningkat, hampir 20%-25% dari APBN,” ujar Misbah.
Oleh karena itu, penarikan utang barus harus dikawal secara efektif dalam penggunaannya. Misbah mengingatkan agar utang tersebut tak hanya digunakan untuk membiayai operasional kementerian yang gemuk.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menilai pemerintah bakal sulit melunasi urang tersebut. Karena sebagaian besar utang tersebut berbentuk SBN.
Dengan kondisi itu, renegosiasi utang akan sulit dilakukan karena jumlah kreditur atau pembeli SBN bervariasi, mulai dari lembaga keuangan hingga bank.
Sementara renegosiasi yang paling mudah berasal dari pinjaman pemerintah, namun jumlahnya masih sedikit dibandingkan porsi SBN. “Kondisi ini bisa membuat beban fiskal lebih berat,” kata Bhima.