Informasi Terpercaya Masa Kini

Ilmuwan Prediksi Bagaimana dan Kapan Manusia Punah, Diawali dari Terbentuknya Superbenua

0 3

KOMPAS.com – Sebuah studi menunjukkan, suhu ekstrem dapat menyebabkan kepunahan massal yang pada akhirnya mengakhiri keberadaan manusia dan mamalia di Bumi.

Studi yang dipimpin oleh rekan peneliti senior di University of Bristol Inggris, Alexander Farnsworth tersebut memberikan gambaran suram tentang masa depan Bumi di masa depan.

Melalui penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Geoscience pada 25 September 2023, para ilmuwan meyakini benua-benua di Bumi perlahan-lahan akan bergeser.

Pada akhirnya, seperti ratusan juta tahun lalu, benua akan kembali menyatu dan membentuk satu benua besar yang disebut Pangea Ultima.

Terbentuknya superbenua ini tentu akan berdampak pada perubahan iklim planet Bumi secara drastis.

Baca juga: Burung Great Auk, Si Penguin Asli yang Sudah Punah Ratusan Tahun Lalu

Potensi kepunahan manusia dan mamalia lain

Dilansir dari laman Earth, Senin (3/11/2024), penelitian menggunakan model iklim superkomputer untuk menunjukkan bagaimana wujud daratan baru dapat menciptakan lingkungan yang terlalu panas dan kering bagi sebagian besar kehidupan.

Alexander Farnsworth menyampaikan, superbenua pada dasarnya akan menciptakan tiga dampak buruk.

Dampak tak diinginkan itu terdiri dari efek kontinentalitas, Matahari yang lebih panas, dan lebih banyak karbon dioksida di atmosfer.

“(Hal itu) akan meningkatkan panas di sebagian besar planet ini,” jelas Farnsworth.

Dia menjelaskan, pembentukan superbenua artinya akan lebih banyak wilayah daratan yang jauh dari efek pendinginan lautan, sebuah fenomena yang dikenal sebagai efek kontinentalitas.

Dampak kedua, selama jutaan tahun, Matahari akan menjadi lebih terang, sehingga memancarkan lebih banyak energi dan menghangatkan Bumi.

Ketiga, aktivitas gunung berapi akibat pergerakan tektonik menjadi meningkat seiring pembentukan superbenua.

Kondisi tersebut akan melepaskan lebih banyak karbon dioksida ke atmosfer, sehingga memerangkap lebih banyak panas di permukaan Bumi.

“Suhu yang meluas antara 40 hingga 50 derajat Celsius dan kondisi ekstrem harian yang lebih parah, ditambah dengan tingkat kelembapan yang tinggi, pada akhirnya akan menentukan nasib kita,” ungkap Farnsworth.

Menurut dia, manusia bersama banyak spesies lain akan mati karena tidak mampu mengeluarkan panas melalui keringat untuk mendinginkan tubuh.

Baca juga: Spesies Burung di Pulau Terpencil Punah dalam Satu Tahun gara-gara Kucing Si Penjaga Mercusuar

Panas ekstrem membuat manusia sulit beradaptasi

Mamalia, termasuk manusia, selalu mampu beradaptasi untuk bertahan hidup dari berbagai iklim ekstrem sepanjang sejarah.

Makhluk hidup ini mampu mengembangkan fitur-fitur seperti rambut atau bulu untuk menjaga tubuh tetap hangat, bahkan beberapa di antaranya punya kemampuan hibernasi selama musim dingin.

Namun, paparan panas yang berlebihan dalam jangka waktu lama jauh lebih sulit bagi mamalia untuk beradaptasi.

Ketika superbenua terbentuk, studi menunjukkan, hanya ada sekitar 8 persen hingga 16 persen daratan yang dapat dihuni oleh mamalia.

Dengan sebagian besar planet menghadapi panas dan kekeringan ekstrem, hampir tidak mungkin menemukan makanan dan udara.

Meskipun skenario ini diperkirakan masih akan terjadi jutaan tahun lagi, para ilmuwan menekankan, manusia tidak boleh melupakan krisis iklim saat ini.

Rekan penulis sekaligus peneliti perubahan iklim dan kesehatan di University of Bristol, Eunice Lo menyebut, krisis iklim saat ini tidak lepas dari dampak emisi gas rumah kaca manusia.

“Meski kita berpikir planet ini tidak dapat dihuni dalam 250 juta tahun, saat ini kita sudah mengalami panas ekstrem yang merugikan kesehatan manusia,” kata dia, dikutip dari laman University of Bristol, Senin (25/9/2023).

“Itulah sebabnya mengapa sangat penting untuk mencapai emisi nol bersih sesegera mungkin,” imbuhnya.

Baca juga: Ratusan Monyet Mati dan Terancam Punah di Meksiko, Diduga karena Gelombang Panas

Tingkat karbon dioksida naik, masa depan Bumi suram

Di sisi lain, guna menggambarkan tingkat karbon dioksida di atmosfer pada masa mendatang, tim ilmuwan menggunakan model pergerakan lempeng tektonik dan kimia laut.

Perhitungan karbon dioksida ini dipimpin oleh Profesor Benjamin Mills, rekan penulis dan ilmuwan di University of Leeds, Inggris.

Dia menggambarkan, kadar karbon dioksida dapat meningkat dari saat ini, sekitar 400 bagian per juta (ppm) menjadi lebih dari 600 ppm di masa depan.

Sayangnya, model tersebut mengasumsikan manusia sudah berhenti membakar bahan bakar fosil.

“Jika tidak (berhenti menggunakan bahan bakar fosil), kita akan melihat angka-angka itu jauh, jauh lebih cepat,” ujar Benjamin Mills.

Menilik hasil perhitungan kadar karbon dioksida tersebut, Farnsworth mengungkapkan, prospek di masa depan tampak sangat suram.

Belum lagi, Matahari diantisipasi akan memancarkan sekitar 2,5 persen lebih banyak radiasi ke permukaan Bumi.

Tidak hanya itu, superbenua yang terletak terutama di daerah tropis dengan kondisi panas dan lembap menyebabkan sebagian besar daratan bisa menghadapi suhu antara 40 hingga 70 derajat Celsius.

Penelitian pun tidak hanya memberi tahu tentang masa depan Bumi, tetapi juga memiliki makna untuk mencari kehidupan di planet lain.

“Penelitian ini juga menyoroti bahwa dunia yang disebut ‘zona layak huni’ di tata surya mungkin bukan yang paling ramah bagi manusia, tergantung pada apakah benuanya tersebar seperti yang kita alami saat ini, atau dalam bentuk satu superbenua besar,” kata Farnsworth.

Leave a comment