Kritik HGU IKN hingga 190 Tahun, Pengamat: Cuma Melempar Bom Waktu
KOMPAS.com – Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Nusantara (IKN).
Dalam Perpres itu, Jokowi memberikan izin Hak Guna Usaha (HGU) kepada investor hingga 190 tahun untuk dua siklus.
Hak Guna Bangunan (HGB) jangka waktu yang diberikan paling lama 80 tahun pada siklus pertama, serta 80 tahun pada siklus kedua berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi.
Selain itu, Otorita IKN juga akan melakukan evaluasi lima tahun setelah pemberian hak siklus pertama.
Baca juga: Jelang Upacara 17 Agustus di IKN, Menhub: Transportasi Aman, tapi Proyek Bandara Terancam Molor
Bisa jadi bom waktu
Menanggapi hal itu, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, pemberian HGU hingga 190 tahun sama halnya dengan memberikan beban kepada pemerintah berikutnya.
“Jadi itu cuma melempar bom waktu saja untuk presiden berikutnya,” kata Agus kepada Kompas.com, Minggu (14/7/2024).
Ia memprediksi, IKN akan tetap kesulitan menarik minat investor, meskipun Jokowi sudah menyetujui kebijakan HGU 190 tahun.
Menurutnya, pelaku usaha tidak ingin berinvestasi di Indonesia karena masifnya korupsi dan perizinan yang tidak jelas, bukan HGU yang kurang panjang.
Baca juga: Menteri Basuki Ungkap Jokowi Akan Berkantor di IKN Setelah 22 Juli 2024, Ini Syaratnya
Ia menjelaskan, negara-negara yang memberikan HGU kepada investor biasanya akan menyerahkan beberapa tools untuk menjalankan usahanya.
Sayangnya, hal itu tak ada pada Indonesia yang hanya menerapkan jangka waktu panjang.
Agus berpendapat, pemberian HGU 190 tahun justru bisa menjadi bumerang bagi Indonesia dan berbahaya di kemudian hari.
Bahkan, ia menyebutkan bahwa negara saat ini tak mampu mengontrol perizinan investasi yang ada.
“Di Freeport, HGU yang digunakan diperpanjang berkali-kali hingga berakhirnya masa izin di Indonesia,” terang Agus.
Baca juga: IKN Terkini: Jokowi Tak Jadi Pindah Juli, Pembangunan Akan Disetop Sementara
Agus juga mempertanyakan mengenai persenan saham yang didapatkan oleh pemerintah.
Menurutnya, peraturan tersebut harus diperjelas kembali, seperti detail persenan saham dan sebagainya.
“Kan harusnya dikunci-kunci begitu. Enggak bisa asal kasih aja,” tegas Agus.
Ia menuturkan, peraturan tersebut sebaiknya tidak perlu dijalankan dan dapat dilimpahkan ke Mahkamah Agung untuk dilakukan judicial review.
Apabila sudah dilakukan judicial review, masyarakat juga harus perlu tetap mengontrolnya agar tidak disalahgunakan oleh beberapa pihak.
Baca juga: Jokowi Dulu Optimistis Pindah IKN Juli, Kini Batal, Apa Alasannya?