Komisi III soal Tom Lembong: Konstruksi Kasus Sumir, Picu Tuduhan ke Prabowo
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menaruh perhatian terkait penetapan tersangka eks Menteri Perdagangan Thomas Lembong oleh Kejaksaan Agung. Dugaan kasusnya terkait impor gula.
“Kejaksaan Agung hendaknya jelaskan ke publik kasus dugaan Tipikor Tom Lembong. Terus terang konstruksi hukum kasus tersebut masih cukup sumir atau abstrak di mata publik,” kata Habiburokhman dalam keterangannya, Jumat (1/11).
Ia mengaku banyak ditanyakan soal dugaan kasus Tom Lembong. Apakah ini termasuk kriminalisasi atau bukan.
“Banyak yang bertanya kepada saya apakah kasus tersebut dapat dikategorikan sebagai mengkriminalkan kebijakan,” kata dia.
“Tanpa adanya penjelasan yang jelas dan detail, pengusutan kasus tipikor Tom Lembong bisa menimbulkan tuduhan bahwa pemerintahan Pak Prabowo menggunakan instrumen hukum untuk urusan politik,” sambung politikus Gerindra itu.
Ia menyebut semua harus proporsional. Oleh karena itu Kejagung harus memberi penjelasan detail.
“Secara umum pelaksanaan tugas penegakan hukum harus selaras dengan cita politik hukum pemerintah. Kita memerlukan persatuan nasional yang kuat, dengan tetap menjunjung tinggi tegaknya hukum,” tutupnya.
Perkara Tom Lembong
Kejagung menyebut bahwa kebijakan Tom Lembong memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) kepada pihak swasta yang kemudian diolah menjadi gula kristal putih (GKP) diduga merugikan negara Rp 400 miliar.
Tapi dari pihak Tom Lembong, sebagaimana disampaikan Ari Yusuf Amir, kebijakan impor gula itu ada lantaran kondisi kedaruratan demi kepentingan nasional.
Menurut Ari, kebijakan tersebut telah melalui prosedur yang baku dan berjenjang. Selain itu, Tom Lembong disebut Ari tidak menerima fee maupun keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut.
Izin Importasi Gula
Importasi 2015
Berdasarkan penuturan dari pihak Kejagung, pada 2015 terdapat rapat koordinasi antar kementerian yang telah menyimpulkan Indonesia surplus gula sehingga tidak perlu impor.
Namun, pada tahun yang sama, Tom Lembong selaku menteri diduga mengizinkan persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada perusahaan PT AP. Kemudian gula kristal mentah itu diolah menjadi gula kristal putih.
Padahal, untuk memenuhi kebutuhan gula kristal putih hanya BUMN yang boleh mengimpor, bukan swasta. Izin itu diduga dikeluarkan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait.
Importasi 2016
Kemudian, pada 28 Desember 2015, dilakukan rapat koordinasi di Kementerian Bidang Perekonomian yang dihadiri kementerian di bawah Kemenko Perekonomian. Salah satu yang dibahas yakni Indonesia pada 2016 kekurangan gula kristal sebanyak 200 ribu ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.
Pada November-Desember 2015, Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia—BUMN), memerintahkan staf Senior Manager Bahan Pokok PT PPI atas nama P untuk melakukan pertemuan dengan 8 perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula.
Perusahaan gula swasta yang dimaksud yakni PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI. Pertemuan terjalin sebanyak empat kali.
Pertemuan itu, guna membahas rencana kerja sama impor Gula Kristal Mentah yang diolah menjadi Gula Kristal Putih. Pihak Kejagung menyebut pembahasan itu atas sepengetahuan Direktur Utama PT PPI saat itu.
Kemudian Januari 2016, Tom Lembong menandatangani Surat Penugasan kepada PT PPI untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula. Hal itu melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk memasok atau mengolah Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih sebanyak 300.000 ton.
Lalu, PT PPI ini membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan gula swasta ditambah satu perusahaan swasta lainnya yaitu PT KTM.
“Meskipun seharusnya dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP (gula kristal putih) secara langsung, dan yang dapat melakukan impor tersebut hanya BUMN (PT PPI),” kata Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar dalam keterangannya 29 Oktober 2024.