Informasi Terpercaya Masa Kini

Kisah Sudirman Siang Malam Jaga Pantai Ikhlas Tak Digaji,Cuma Minta Diberi Izin Buka Warung

0 6

TRIBUNJABAR.ID – Kisah seorang penjaga pantai yang rela tidak digaji, viral di media sosial.

Sosok penjaga pantai itu adalah Sudirman.  Pria berusia 41 tahun itu memiliki alasan sendiri enggan untuk digaji.

Diketahui, Sudirman adalah penjaga Pantai Batumianak, Desa Tumbu, Kecamatan Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah (Mateng), Sulawesi Barat (Sulbar).

Sudirman mengaku diberi amanah untuk menjaga keamanan di Pantai sejak 2022 lalu bersama dengan rekannya, Fajar Jafar (62).

Adapun yang meminta dirinya untuk menjaga pantai itu adalah pemilik wisata, Sukirta.

Baca juga: Kisah Penjual Kopi di Cimahi Sebatang Kara Kerap Tahan Lapar, Bripka Rizky Gratiskan Makan Tiap Hari

Sukirta meminta Sudirman untuk membersamai Fajar menjaga keamanan wisata.

“Awalnya saya diminta sama Pak Sukirta dan diajak bapak Desi (Fajar) untuk bersama-sama menjaga keamanan di lokasi wisata ini,” kata Sudirman, Minggu (27/10/2024) dikutip dari Tribun-Sulbar.com.

Sudirman mengaku tidak ingin digaji ketika melaksanakan tugasnya.

Ia hanya meminta kepada pemilik wisata untuk diberi kesempatan di lokasi tersebut bersama istrinya.

“Saya sudah bersyukur diberi kesempatan menjual di tempat ini Pak, kalaupun saya ingin digaji saya akan menolak,” jelasnya.

Sudirman mengaku nginap di warungnya yang ada di area wisata.

Hal itu dilakukan agar lebih memaksimalkan penjagaan wisata di malam hari.

“Kalau malam, saya keliling untuk memastikan keamanan pantai Pak,” jelasnya.

“Alhamdulillah, sejauh ini aman-aman saja,” lanjutnya.

Pria kelahiran 1983 itu bercerita, selama dipercaya menjaga area wisata tidak ada hal-hal aneh yang ia temukan.

Selain menjaga keamanan, Sudirman juga eringkali membersihkan pantai dari sampah-sampah berserakan.

“Biasanya, pengunjung membuang sampah sembarangan sehingga kalau mereka sudah balik saya langsung membersihkan demi kenyamanan pengunjung wisata,” ungkapnya.

Kisah Lainnya – Cerita Wiga Guru Honorer di Banyuwangi Ikhlas Digaji Rp200 Ribu Per Bulan

Menjadi seorang guru bukan sekadar soal pekerjaan melainkan juga panggilan hati. Itulah pula yang dilakukan oleh Wiga Kurnia Putri, guru honorer di Banyuwangi.

Meski hanya digaji Rp 200 ribu per bulan, Wiga guru honorer tersebut ikhlas.

Ia memilih menjadikan profesi gurunya sebagai ladang pahala.

Tak ayal kini, aksinya itu menuai pujian dan jadi kisah inspiratif bagi warganet.

Belakangan kisah pilu Wiga guru honorer digaji Rp 200 ribu per bulan itu viral dibagikan akun Instagram @catchvox, dikutip Tribunjabar.id, Kamis (10/10/2024).

Dalam video tersebut memperlihatkan aktivitas Wiga mendapatkan gaji honornya.

Ia bergegas ke TU untuk mengisi absensi bahwa dirinya mengambil honor.

Setelah itu, ia kembali ke ruangan guru untuk membuka amplop yang merupakan honornya selama mengajar sebulan.

Saat dibuka, Wiga tampak biasa membuka amplop gajinya tersebut yang hanya berisi dua lembar uang Rp 100 ribu.

Ternyata gaji mengajarnya selama sebulan hanya Rp 200 ribu.

Baca juga: Sosok Guru Agama di Muna Jadi Tersangka usai Diduga Pukul Murid Pakai Sapu Lidi, Ortu Tolak Mediasi

Meski tak seberapa, Wiga tetap mengucapkan syukur atas gaji yang didapatnya.

“Alhamdulillah, semoga semua yang sudah kita kerjakan menjadi ladang barokah dan pahala untuk kita semua,” ujarnya.

Dikutip dari Kompas.com, kisah pilu tersebut dialami oleh Wiga Kurnia Putri (27), seorang guru honorer.

Wiga merupakan guru honorer di sekolah menengah pertama (SMP) swasta di Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Sejak tahun 2021, Wiga mengajar mata pelajaran IPS dan PKN di sekolah yang berada di dekat rumahnya tersebut.

Wiga menceritakan menjadi seorang pendidik atau guru adalah pilihannya.

Ia memilih jalan hidup sebagai pengajar karena prihatin dengan kondisi sekolah di daerahnya. 

“Sekolah tempat saya mengajar antara ada dan tiada. Padahal sekolahnya sudah lama, bahkan kakek saya dulu mengajar di sini. Papa saya dan keluarganya juga sekolah di sini,” ungkapnya.

Menurut Wiga, sekolah tempat ia mengajar hanya memiliki 40 murid dengan 4 guru dan satu kepala sekolah.

Wiga pun menyadari dan tahu konsekuensi gaji yang ia terima tidak banyak saat memilih mengajar di sekolah tersebut.

Wiga pun menceritakan sejak awal mengajar hingga sekarang dirinya digaji Rp 200 ribu per bulan.

Namun, ia merasa sudah memaklumi kondisi sekolahnya tersebut.

Bagaimana tidak, ternyata sekolahnya pun memberikan keringanan kepada para siswa membayar uang SPP Rp 5 ribu.

“Saya tahu sejak awal gajinya Rp200.000. Enggak kaget karena memang jumlah siswanya minim,” ungkap Wiga.

Wiga merintis karier sebagai pengajar bermula ketika dirinya menyelesaikan pendidikan SMA di Kabupaten Banyuwangi.

Kemudian ia kuliah dan menikah di Kota Malang. 

Pada tahun 2021, ia dan keluarga kecilnya kembali ke Banyuwangi.

Suami Wiga mengajar sebagai guru honorer di SMA di Kabupaten Banyuwangi.

Awalnya Wiga memilih menjadi ibu rumah tangga yang mengurus dua anak.

Hingga akhirnya seorang kerabat yang melihat pendidikan Wiga, menawarkan pekerjaan sebagai pengajar di SMP swasta di dekat rumahnya.

Menurut Wiga, di sekolah tersebut statusnya adalah guru honorer dan datanya tidak masuk dalam data pokok pendidikan (dapodik).

“Syaratnya memang dua tahun mengajar untuk masuk dapodik. Sempat ditawari. Tapi saya memilih untuk tidak, karena saya masih punya mimpi yang belum terwujud.”

“Jika disebut relawan mengajar, ya bisa juga,” ujar ibu dua anak tersebut, melansir Kompas.com.

Saat pertama mengajar, Wiga mengaku kondisi sekolahnya sangat memperihatinkan karena sarana dan prasarana yang jauh dari kata layak.

“Kelas yang bisa digunakan hanya satu, jadi bergantian. Termasuk kursi-kursinya juga banyak yang rusak.”

“Kalau hari pendek, ada yang belajar di kelas, di ruang guru dan perpustakaan,” ujarnya.

Menurut Wiga, sebelum Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), biasanya SMP akan memperkenalkan sekolahnya di SD-SD sekitar.

Namun tidak untuk sekolah tempat Wiga mengajar.

Saat PPDB berlangsung, dia akan mencari anak yang putus sekolah agar bisa melanjutkan pendidikan di tempatnya mengajar.

“Pertama kali mengajar, saya ajak anak tetangga. Saya datangi satu per satu agar mereka mau sekolah.”

“Saya bilang enggak usah bayar seragam, enggak usah bayar apa-apa.”

“Untuk SPP bisa bayar semampunya. Mau Rp 10.000, mau Rp 5.000 tidak masalah.”

“Yang penting anak-anak mau sekolah,” papar Wiga.

“Saya jemput, saya ajak sekolah karena sebelumnya memang berhenti setelah lulus SD.”

“Ada juga murid saya yang jadi pengamen di jalan,” ujar Wiga sambil tersenyum.


Tak hanya itu, selama ini mereka juga tak menggelar upacara karena tak memiliki pengeras suara.

“Murid saya tanya, ‘Bu kapan upacara?’. Saya jawab, ‘Nanti ya kalau ada pengeras suara’, karena memang pengeras suara yang lama sudah rusak,” ujarnya.

Selain itu, ia juga mengajarkan murid-muridnya menabung setiap hari Rp1.000 agar bisa digunakan untuk membayar biaya ijazah jika lulus SMP.

“Kenapa mewajibkan menabung Rp1.000 ya untuk kebutuhan mereka nanti saat lulus, karena sekarang banyak ijazah yang tidak diambil karena kendala ekonomi,” ungkap Wiga.

Selama menjadi guru di SMP tersebut, Wiga mendapatkan banyak pengalaman, salah satunya adalah pendidikan yang tidak menjadi prioritas orang tua.

Selain itu banyak muridnya yang berasal dari keluarga yang kekurangan, baik kekurangan ekonomi dan kasih sayang.

Alasan tersebut yang menjadi dasar ia tetap mengajar, walau menerima gaji Rp200.000 per bulan.

“Saya ibu dengan dua anak dan menyadari bahwa pendidikan ini penting buat mereka. Dan mengajar adalah kebahagian buat saya,” kata dia.

Tak hanya itu, setelah pandemi Covid-19, ia sempat terkejut saat tahu banyak siswa SMP yang ia ajar tak lancar membaca dan menulis.

“Sekolah ini kan memfasilitasi murid untuk belajar, di rumah nanti harus diulangi lagi dan ada peran orang tua. Tapi di sini peran orang tua sangat minim,” ujar Wiga.

Selain itu Wiga juga bercerita, gaji Rp200.000 yang didapatkan tak seluruhnya ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari, tapi sebagian untuk siswanya.

“Kadang saya tanya butuh apa? Buku, tas atau sepatu atau jajan. Saya enggak bilang semua gaji untuk murid-murid saya, tapi sebagian memang untuk mereka,” tutur Wiga.

Menurutnya, kebutuhan keluarga dipenuhi oleh penghasilan sang suami yang bekerja sebagai guru honorer di salah satu SMA.

“Saya selalu berdoa agar suami diberikan rezeki yang cukup dan juga bisa lolos P3K. Doanya yaa,” pungkas Wiga.

Baca berita Tribun Jabar lainnya di GoogleNews.

Leave a comment