Informasi Terpercaya Masa Kini

Orang Sikh di Indonesia, Tak Banyak tapi Kehadirannya Mencolok

0 3

Jumlah orang Sikh di Indonesia tidak banyak. Meski begitu, kehadirannya cukup mencolok. Barangkali karena pakaiannya yang khas. Banyak hal tentang orang-orang Sikh di Indonesia yang belum kita ketahui.

Disarikan dari tulisan Muljawan Karim di Majalah Intisari pada Januari 1987.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Intisari-Online.com – Di Indonesia, mereka kerap disebut sebagai Orang Bombay (merujuk metropolitan di India, Bombay, yang sekarang menjadi Mumbai). Mereka pun tak habis pikir kenapa sering disebut begitu. Soalnya, tanah leluhur mereka adalah Punjab, daerah di India Utara yang letaknya lebih dari 1.000 km dari Mumbai.

“Tapi kami tak marah,” ujar Manmohan Singh (42), seorang Sikh kelahiran Jakarta, sebagaimana ditulis di Majalah Intisari edisi Januari 1987.

Sebagai informasi, masyarakat keturunan India di Indonesia tidak berasal dari satu daerah. Ada yang dari Punjab, ada yang dari Sind (sekarang masuk wilayah Pakistan), ada yang dari Gujarat (India Barat), ada juga dari Benggala (India Timur).

Tapi yang ada, mereka semua dipukul rata, dipanggil “Tuan Bombay”–padahal, konon, tak ada satu pun orang India asal Mumbai yang merantau di Indonesia.

Orang Sikh di Indonesia jumlahnya memang sedikit, tapi kehadiran mereka sangat mencolok, terutama kaum prianya. Mereka biasanya memakai ubel-ubel atau serban untuk menutup kepala mereka yang berambut panjang.

Mereka juga biasa memanjangkan rambut, memelihara kumis, janggut dan cambang yang tumbuh subur. Bagi orang-orang Sikh, manusia tak boleh mengurangi sedikit pun apa-apa yang telah dikaruniakan Tuhan padanya. Termasuk segala macam rambut yang tumbuh di badan.

Menurut sensus tahun 2011, terdapat sekitar 20 juta orang Sikh di India. Sementara di Indonesia, menurut data Swarn tahun 2017, ada sekitar 7.000 orang. Menurut catatan Intisari, sebagian besar mereka bermukim di Sumatera Utara: di Medan, Binjai, Siantar, Tebing Tinggi, Tanjung Balai dan Tanjung Pura. Sebagian kecil lainnya berada di Jakarta dan Surabaya.

Dikenal mahir berperang

Orang Sikh pertama masuk ke Indonesia diperkirakan terjadi pada 1905 atau 1906. Ada juga yang menyebut lebih awal lagi. Sebab, di Banda Aceh, konon ada gurudwara (kuil Sikh) yang dibangun pada 1899.

Orang-orang Sikh ini tidak datang langsung dari Punjab, tapi dari Malaysia atau Singapura. Tujuan mereka adalah kota-kota di Sumatera Utara seperti Medan dan Deli. Di situ, mereka berdagang kecil-kecilan atau menjadi peternak sapi penghasil susu.

Orang-orang Sikh memang dikenal sehagai bangsa perantau. Meski sebagian besar dari mereka tinggal di Punjab, tapi komunitas-komunitas Sikh juga ada di hampir setiap kota besar di India. Di luar negeri asal mereka, kaum Sikh juga tidak hanya, ada di Indonesia. Mereka tersebar mulai dari Myanmar, Malaysia, Singapura, Amerika Serikat dan, bahkah, sampai di Afrika Selatan.

Alasan kenapa mereka gemar merantau, barangkali karena orang-orang Sikh secara turun-temurun berprofesi sebagai tentara. Mereka biasa dikirim ke berbagai tempat jauh untuk berperang. Ketika India masih dijajah Inggris, orang-orang Sikh juga banyak yang berdinas di British Army.

Masih ingat pasukan Inggris atas nama Pasukan Sekutu yang datang ke Indonesia di awal-awal masa kemerdekaan atau masa revolusi 1945? Banyak dari mereka adalah orang-orang India, persisnya orang Sikh, yang tergabung dalam Kesatuan Sikh, atau di Indonesia dikenal sebagai “Pasukan Ubel-ubel”–bukan Pasukan Gurkha yang banyak disangkakan orang.

Mungkin karena betah, sebagian dari mereka melakukan desersi dan ogah pulang kampung waktu induk pasukannya ditarik kembali ke India.

Pedagang alat-alat olahraga

Orang-orang Sikh merantau karena ingin mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Selain itu, mereka juga ingin terbebas dari tekanan adat yang sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu.

Para perantau India yang pertama kali datang di Indonesia kebanyakan memang bukan orang Hindu, termasuk orang-orang dari Gujarat, Madras dan Benggala yang beragama Islam. Orang Sind yang beragama Hindu baru datang kemudian, setelah terjadi pemisahan India-Pakistan di tahun 1947.

Nah, tadi kita menyebut orang Sikh sebagai sosok yang mahir dalam berperang. Ada fakta lain lain: orang-orang Sikh ternyata dikenal sebagai petani yang unggul dalam mengolah tanah. Sebagai informasi, para petani Sikh di Punjab memberi sumbangan yang tidak bisa dibilang kecil pada perekonomian India.

Meski begitu, di Indonesia orang-orang Sikh lebih banyak berprofesi sebagai pedagang. Bila orang Sind terkenal sebagai pedagang tekstil dan orang Benggala menjadi pedagang bandrek dan roti India di Medan, orang Sikh, terutama yang di Jakarta, adalah para pedagang alat-alat olahraga.

Cek saja, setiap toko alat-alat olahraga yang banyak terdapat di Pasar Baru, Jakarta, bisa dipastikan dimiliki oleh keluarga Sikh. Kok bisa begitu? Ternyata, sejak lama di Punjab terdapat pusat-pusat industri yang memproduksi alat-alat olahraga yang baik, yang diekspor sampai ke Inggris.

Kekurangan pendeta

Di Jakarta, orang-orang Sikh kebanyakan tinggal di sekitar daerah pertokoan Pasar Baru. Karena itulah di sana ada sebuah kuil Sikh yang besar, yang bisa menampung beberapa ratus orang jamaah.

Ada juga kuil Sikh yang terletak di daerah Tanjung Priok–tempat mereka pertama kali mendarat di Jawa pada 1920-an, sebelum pindah ke wilayah pertokoan Pasar Baru, menyesuaikan dengan pekerjaan mereka sebagai pedagang.

Walaupun sudah tak banyak orang Sikh tinggal di sana, kuil itu tetap dipertahankan hingga sekarang. Bagi orang Sikh, kuil tak semata-mata sebagia tempat ibadah. Ia juga sebagai arena sosial di mana mereka bisa saling bertemu dan bertukar pikiran. Berbagai kegiatan sosial, seperti pesta perkawinan, juga biasa diselenggarakan di sana.

Info penting: sebuah gurudwara harus berdiri di mana paling sedikit ada lima orang Sikh tinggal bersama-sama.

Pendeta, yang disebut grenthi, biasanya ada dalam tiap kuil Sikh. Dia bertugas memberi ceramah-ceramah agama dan membaca Granth Sahib, kitab suci umat Sikh. Mereka yang tidak dapat membaca Granth Sahib, yang ditulis dalam bahasa Punjabi dengan aksara Gurmukhi, juga bisa menanyakan pada pendeta arti ayat-ayat yang ingin diketahuinya.

Karena jumlahnya di Indonesia masih terbatas, kaum Sikh sering kali harus mendatangkan pendeta mereka langsung dari Punjab. Gurmit Singh, misalnya, pendeta di kuil Pasar Baru, adalah orang Punjab totok yang baru satu setengah tahun bertugas di Indonesia.

Orang Sikh Indonesia sendiri rupanya jarang yang berminat jadi ulama. Mereka lebih sibuk berdagang.

Umat Sikh setiap hari bersembahyang bersama di kuil mereka. Ini biasanya dilakukan pagi hari, antara pukul 07.00 dan 09.00. Jumlah yang ikut serta tidak selalu sama. Pada hari-hari kerja kebaktian di kuil Pasar Baru biasanya diikuti oleh 70-80 orang, tapi pada hari Minggu yang hadir bisa mencapai 100 orang.

Upacara keagamaan yang dilakukan bertujuan mengagungkan ajaran para guru, yang tertuang dalam kitab Granth Sahib. Dalam ruangan kuil kitab besar dan tebal ini selalu diletakkan di tempat yang paling terhormat, di atas panggung kecil dan ditutup dengan kain sutera indah berlapis-lapis.

Hal pertama yang dilakukan seorang Sikh jika dia tiba di sebuah gurudwara adalah bersujud di muka kitab suci ini.

Granth Sahib disusun oleh guru Sikh yang kelima, Arjan Dev, yang hidup dalam abad ke-16. Isinya merupakan rangkuman dari ajaran-ajarannya sendiri dan ajaran-ajaran para guru yang sebelumnya, seperti Guru Nanak dan Guru Angad.

Sebagian ajaran para guru ini diberikan dalam bentuk himne atau nyanyian suci yang puitis. Menurut Duncan Greenless, seorang ahli perbandingan agama, keindahan kalimat-kalimat dalam Granth Sahib sungguh tak ada bandingannya.

Jika berkunjung ke sebuah kuil Sikh pada pagi hari, kita dapat melihat kaum Sikh sedang melakukan kirtan, menyanyikan lagu-lagu suci yang bersumber pada kitab Granth Sahib. Mereka menyanyi dengan khusyuk diiringi suara gendang, tamborin dan harmonium. Sekilas, mirip dengan nyanyian kasidah yang biasa dibawakan umat Islam.

Ajaran Sikh amat menekankan pada apa yang disebut seva, yakni pelayanan bagi sesama umat manusia. Mereka yang merasa mampu biasanya memberi derma melalui kuil mereka, untuk membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Di setiap gurudwara juga selalu ada dapur umum, di mana setiap orang bisa makan dengan cuma-cuma.

Tradisi dapur umum sebagai perwujudan dari seva masih terus dipertahankan oleh setiap kuil Sikh di Indonesia.

Selain melakukan kebaktian, di kuil mereka umat Sikh juga menyelenggarakan dapur umum dan acara makan bersama. Ini dilakukan setiap hari setelah selesai ber-kirtan. Makanan yang dihidangkan dalam acara ini sudah tentu khas India, seperti roti India yang mirip martabak dan sop kari.

Tak semua pakai serban

Dalamt tradisi orang-orang Sikh, mereka mengenal istilah “Guru”, yang tak lain adalah nabi mereka yang jumlahnya sepuluh orang. Guru pertama yang mencetuskan ajaran Sikh adalah Guru Nanak. Dia lahir pada tahun 1469 sebagai seorang Hindu yang kemudian menentang ajaran-ajaran agama tersebut yang dianggapnya kolot.

Sikhisme yang dikembangkannya merupakan perpaduan antara ajaran-ajaran Hindu dan Islam, di mana ia melenyapkan sistem kasta yang berlaku dalam agama Hindu.

Awalnya, para pengikut ajaran Sikh tak berbeda penampilannya dengan penganut agama-agama lain. Baru pada masa Guru Gobind, guru ke-10 yang hidup dalam abad ke-17, kaum Sikh mempertegas identitas mereka dan membentuk persaudaraan yang militan untuk melawan bangsa Moghul yang ingin menaklukkan mereka.

Rambut dan janggut panjang merupakan salah satu dari lima simbol kaum Sikh untuk membedakan diri dari pengikut agama-agama lain.

Guru Gobind-lah yang memerintahkan dipakainya simbol-simbol Sikh yang kemudian dikenal dengan 5K: kesh (rambut dan janggut panjang), kangha (sisir), kara (gelang baja), kachehra (celana pendek) dan kirpan (pedang pendek). Peraturan ini berlaku tidak saja bagi pria, tapi juga bagi kaum wanita Sikh.

Mulai saat itu pula semua penganut ajaran Sikh menggunakan nama Singh (bagi laki-laki) atau Kaur (bagi wanita) di belakang nama mereka.

Tradisi yang sudah berusia tiga abad ini masih terus hidup sampai sekarang. Tapi, bersama dengan perkembangan zaman berbagai perubahan pun tidak bisa dihindari. Mungkin hanya di Punjab saja kita masih bisa menemukan umat Sikh yang masih memakai kelima simbol ini dengan lengkap.

Lingkungan sosial-budaya yang berbeda menyebabkan kaum Sikh di Indonesia tidak bisa memenuhi semua tuntutan agama mereka. Adanya larangan membawa senjata tajam tidak memungkinkan mereka membawa kirpan atau pedang mereka ke mana-mana. Di sini juga tidak semua kaum Sikh memanjangkan rambut dan memakai serban tradisional mereka.

Alasan yang banyak diberikan adalah alasan kenyamanan. Seorang pemuda Sikh yang bekerja sebagai buruh di Tanjung Priok mengatakan bahwa rambut panjang dan serban membuatnya kurang leluasa bekerja.

Kaum Sikh yang masih memanjangkan rambut umumnya mereka yang bekerja sebagai pedagang atau pengusaha yang tidak perlu melakukan pekerjaan kasar.

Orang Sikh sesungguhnya sangat bangga dengan serban yang menunjukkan identitas mereka. Dengan serban, orang akan lebih menaruh hotman kepadanya. Bukan hanya di Indonesia, konon di Inggris orang Sikh juga tidak dianggap enteng.

Walau begitu, mereka yang masih benar-benar menjalankan salah satu perintah Guru Gobind ini juga masih banyak. Mereka tidak terbatas pada orang-orang tua, karena tak kurang kaum muda Sikh yang juga turut mempertahankan tradisi berambut panjang dan berserban.

Hanya saja tak ada lagi orang yang sungguh-sungguh tidak pernah memotong rambut mereka sejak kecil hingga dewasa.

Mungkin karena sudah terbiasa, kaum Sikh tidak pernah merasa terganggu dengan rambut mereka. Mereka juga sudah terbiasa mencuci rambutnya seminggu sekali atau dua kali dengan sabun pencuci rambut biasa.

Menurut penuturan seorang Sikh kepada Majalah Intisari bertahun yang lalu, namanya Pritam Singh, mungkin hanya di Jakarta saja banyak orang Sikh yang tidak lagi berambut panjang dan berserban. Mungkin karena di Jakarta jumlah orang Sikh tidak banyak sehingga menyebabkan longgarnya kontrol sosial.

Berbeda halnya dengan di Medan, di mana jumlah kaum Sikh relatif besar, rasa persatuan juga lebih besar dan kontrol sosial lebih ketat. Di sana, seperti juga di Punjab, seorang Sikh yang berani mencukur rambut sampai pendek akan merasa malu karena jadi bahan gunjingan orang.

Tak ada kaitannya dengan kaum ekstremis

Pada masanya, sekelompok orang Sikh pernah melakukan gerakan revolusioner menuntut hak otonomi bagi wilayah Punjab. Kelompok ini, yang dikenal sebagai sayap ekstrem Punjab, tak segan melakukan berbagai aksi teror untuk mencapai tujuan politik mereka.

Mereka membunuhi para pemimpin mereka yang moderat, meledakkan pesawat maskapai Air India, sampai membunuh para pemimpin India yang tak mau memenuhi tuntutan mereka. Mantan Perdana Menteri India Indira Gandhi tewas di tangah pengawalnya sendiri yang orang Sikh. Lalu Rajiv Gandhi, anaknya yang menggantikannya sebagai PM India, juga nyaris terbunuh di tangan seorang pemuda Sikh.

Meski begitu, orang-orang Sikh di India tak mau disangkut-pautkan dengan mereka. Mereka bahkan mengaku tidak mendukung perjuangan saudara-saudara mereka di Punjab. Mereka juga tidak mempunyai hubungan dengan kelompok-kelompok ektremis Sikh di mana pun. Mereka juga mengaku tak mengenal Jagjit Singh Chauhan yang mengaku sebagai presiden Khalistan.

Meski begitu, rasa persaudaraan yang kuat di antara umat Sikh menyebabkan selalu ada hubungan antara orang Sikh di Indonesia dengan saudara-saudara mereka di India.

Sampai hari ini masih selalu ada orang Sikh yang pulang kampung ke Punjab, baik untuk urusan dagang, mengunjungi sanak keluarga maupun untuk berziarah ke tempat-tempat suci, seperti ke Kuil Emas di kota Amritsar.

Tak jarang juga orang Sikh dari India yang datang berkunjung ke Indonesia untuk berjumpa dengan saudara-saudara mereka yang tinggal di rantau. Walau berbeda tempat tinggal dan pandangan politik, segenap penganut ajaran Sikh tetap merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan.

Oleh karena itulah kaum Sikh Indonesia ikut marah ketika pasukan militer India menyerbu Kuil Emas, tempat yang paling suci bagi umat Sikh, untuk menumpas para pemberontak Sikh yang menjadikan Kuil Emas sebagai basis pertahanan mereka.

Penyerbuan yang dilakukan pada 1984 itu telah menewaskan tak kurang dari 1.200 orang Sikh, termasuk wanita, anak-anak dan pendeta.

Tak rela tempat suci mereka diinjak-injak serdadu India dan dijadikan ajang peperangan, mereka pun lalu melakukan aksi unjuk rasa di muka Kedutaan Besar India di Jakarta. Aksi yang dilakukan oleh sekitar tiga puluh orang pria berserban ini antara lain diikuti oleh Gurnam Singh, pelari marathon nasional kita di tahun 1960-an.

Jadi warga negara Indonesia

Kalau di India sering terjadi ketegangan dan bentrokan antara umat Sikh dan kaum mayoritas Hindu, di sini kedua golongan masyarakat India ini nampaknya rukun-rukun saja. Bahkan, kadang-kadang terjadi perkawinan di antara mereka. Mungkin karena merasa sama-sama jauh dari kampung halaman, mereka selalu menjaga kerukunan sebagai sesama keturunan India.

Bersama dengan warga masyarakat keturunan India lainnya, pada 1950-an kaum Sikh mendirikan organisasi bagi keturunan India di Indonesia, bernama Indian Association. Organisasi ini adalah tempat kegiatan bagi seluruh masyarakat keturunan India. Ada juga Indian Council of Indoinesia.

Sayang sekarang kedua lembaga ini tidak aktif lagi. Entah kenapa.

Di Jakarta peranan dua organisasi itu kemudian diambil alih oleh Gandhi International Memorial School (GIMS), lembaga pendidikan dasar dan menengah tempat sebagian besar anak keturunan India bersekolah. Di samping menyelenggarakan pendidikan formal, sekolah ini juga sering menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial dan budaya yang melibat seluruh warga masyarakat India di Jakarta.

Kaum Sikh rupanya sudah kerasan tinggal di Indonesia. Malah ada yang sudah menganggap Indonesia tanah air mereka sendiri. Sebagian dari mereka kini sudah resmi menjadi WNI atau sedang mengurus peralihan status kewarganegaraannya. Hanya kaum tua saja yang tetap mempertahankan kewarganegaraan Indianya, karena sudah terlanjur.

Tapi ada juga yang tetap mempertahankan kewarganegaraan India anak-anak mereka. Maksudnya agar mereka tetap bisa bersekolah di GIMS, yang diperuntukkan khusus bagi warga negara India yang tinggal di Indonesia.

Dengan bersekolah di GIMS anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang sama seperti jika mereka bersekolah di India, lengkap dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Ini dilakukan karena mereka masih mempunyai cita-cita memasukkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi di negeri asal mereka, seperti di Mumbai atau New Delhi.

Mereka yang menginginkan anak-anaknya tetap tinggal di Indonesia juga memilih sekolah GIMS, tapi di bagian khusus yang kurikulumnya sudah disesuaikan dengan ketentuan kementerian pendidikan di Indonesia. Bahkan di Medan dan sekitarnya banyak anak kaum Sikh yang sudah membaur dan bersekolah di sekolah-sekolah biasa, termasuk di SD negeri atau sekolah-sekolah lain.

Bahasa Indonesia juga sudah biasa dipakai untuk berkomunikasi dalam keluarga-keluarga Sikh. Tapi mereka umumnya lebih sering bercakap-cakap dalam bahasa Inggris atau Punjabi. Tujuannya, supaya anak-cucu mereka tak melupakan asal-usul darah mereka.

Makanan sehari-hari juga tidak selalu hidangan India, dengan roti India sebagai makanan pokoknya. Nasi, lauk-pauk serta sayuran Indonesia juga biasa dimasak di dapur keluarga Sikh. Malah tak jarang ada orang Sikh yang sudah lebih doyan makan nasi dan sayur asam, walau ia masih memakai ubel-ubel.

Leave a comment