APRA, Mimpi Ratu Adil Berujung Petaka
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
—
Intisari-online.com – Angin fajar berhembus lembut di bumi pertiwi, namun di balik ketenangan semu itu, bara api revolusi masih membara.
Indonesia, yang baru saja menghirup udara kemerdekaan, masih harus berjuang mempertahankan kedaulatannya dari rongrongan kekuatan-kekuatan yang ingin merongrong kedaulatannya.
Di antara bayang-bayang sejarah yang kelam, muncullah Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), sebuah gerakan yang mengguncang sendi-sendi negara yang masih muda ini.
APRA, Mimpi Ratu Adil yang Berujung Petaka
Nama “Ratu Adil” telah lama menggema dalam mitologi Jawa, sosok penyelamat yang akan membawa keadilan dan kemakmuran.
Namun, di tangan Kapten Raymond Westerling, seorang mantan perwira KNIL yang kontroversial, nama keramat ini justru menjadi alat untuk melancarkan ambisi politiknya.
Westerling, dengan kharisma dan reputasinya yang menakutkan, berhasil mengumpulkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat, terutama dari kalangan mantan tentara KNIL dan kelompok-kelompok yang merasa dirugikan oleh proses kemerdekaan Indonesia.
APRA didirikan dengan tujuan untuk membentuk negara federal di Indonesia, sebuah gagasan yang bertentangan dengan cita-cita Republik Indonesia yang bersatu.
Westerling, yang merasa kecewa dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), meyakini bahwa negara federal adalah solusi terbaik bagi Indonesia yang beragam.
Namun, di balik idealisme semu itu, tersimpan ambisi pribadi Westerling untuk meraih kekuasaan dan mempertahankan pengaruh Belanda di Indonesia.
Bandung Lautan Api: Titik Kulminasi Pemberontakan APRA
Puncak pemberontakan APRA terjadi pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung. Westerling, dengan pasukannya yang bersenjata lengkap, melancarkan serangan mendadak ke kota kembang tersebut.
Tujuan mereka adalah merebut kekuasaan dan membunuh para pemimpin Republik Indonesia, termasuk Perdana Menteri Mohammad Hatta dan Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX.
Serangan APRA menimbulkan kepanikan dan ketakutan di kalangan masyarakat Bandung. Pertempuran sengit terjadi antara pasukan APRA dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kobaran api membumbung tinggi ke langit, menghanguskan bangunan-bangunan dan menelan korban jiwa yang tak terhitung jumlahnya.
Bandung, yang sebelumnya dikenal sebagai kota yang indah dan damai, kini berubah menjadi lautan api.
Akhir Tragis Pemberontakan APRA
Meskipun sempat menguasai beberapa wilayah di Bandung, pemberontakan APRA akhirnya berhasil dipadamkan oleh TNI. Westerling, yang menyadari bahwa misinya telah gagal, melarikan diri ke Belanda.
Sejumlah tokoh APRA ditangkap dan diadili, sementara yang lainnya memilih untuk bersembunyi atau bergabung dengan kelompok-kelompok pemberontak lainnya.
Pemberontakan APRA meninggalkan luka yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Ratusan nyawa melayang, ribuan orang kehilangan tempat tinggal, dan kota Bandung porak-poranda.
Namun, di balik tragedi tersebut, terdapat semangat persatuan dan kesatuan yang semakin berkobar.
Rakyat Indonesia, yang telah merasakan pahitnya penjajahan, bersatu padu melawan segala bentuk ancaman terhadap kedaulatan negaranya.
Mengapa APRA Dianggap sebagai Gerakan Pemberontakan?
APRA dianggap sebagai gerakan pemberontakan karena beberapa alasan:
Melawan Pemerintah yang Sah: APRA secara terang-terangan menentang pemerintahan Republik Indonesia yang sah dan berusaha untuk menggulingkannya dengan kekerasan.
Menggunakan Kekerasan: APRA menggunakan cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuannya, termasuk melakukan serangan bersenjata dan pembunuhan terhadap para pemimpin Republik Indonesia.
Menolak Ideologi Negara: APRA menolak ideologi negara kesatuan Republik Indonesia dan ingin membentuk negara federal, yang bertentangan dengan konsensus nasional.
Didukung oleh Kekuatan Asing: APRA mendapatkan dukungan dari Belanda, yang masih ingin mempertahankan pengaruhnya di Indonesia.
APRA dalam Lintasan Sejarah Indonesia
Pemberontakan APRA menjadi salah satu catatan kelam dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Gerakan ini menunjukkan bahwa perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan tidaklah mudah.
Ancaman datang tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam negeri, dari kelompok-kelompok yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Meskipun telah berlalu lebih dari setengah abad, peristiwa pemberontakan APRA tetap relevan untuk dikenang.
Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan, serta waspada terhadap segala bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara.
Semoga kita dapat belajar dari sejarah dan tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.
Sumber:
Kahin, George McTurnan. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press, 1952.
Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia since c. 1300. Stanford, CA: Stanford University Press, 2001.
Reid, Anthony. The Indonesian National Revolution, 1945-1950. Melbourne: Longman, 1974.
Van Dijk, C. Rebellion under the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff, 1981.
Westerling, Raymond. Challenge to Terror. London: William Kimber, 1952.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
—