Mastermind di Balik Rancangan Ikonis Yves Saint Laurent
Pionir tuksedo untuk perempuan, gaun bercorak karya seni Mondrian, dan logo tiga huruf YSL yang terjalin modern elegan–itulah hal-hal yang mengingatkan kita pada Yves Saint Laurent. Couturier atau perancang adi busana termuda di zamannya ini dikenal akan kegeniusannya dalam membuat terobosan fashion.
Di era Beatles, generasi bunga, dan maraknya protes anti perang, Saint Laurent membawa isu jalanan ke atas panggung adi busana. Jika Chanel dibilang membebaskan tubuh perempuan, desain Yves Saint Laurent memberikan kekuatan.
Yves Mathieu-Saint-Laurent lahir di Oran, Algeria, pada 1 Agustus 1936. Orang tuanya manajer asuransi dan pemilik sejumlah bioskop. Keluarganya cukup terpandang dan menggemari kebudayaan. Di sekolah, Saint Laurent termasuk anak yang pemalu. Ia lebih banyak menggunakan waktunya untuk membaca karya-karya sastra dan majalah mode milik ibunya.
“Oran adalah kota kosmopolitan di mana para pedagang dari penjuru dunia datang, sebuah kota yang bersinar berkat keragamannya, di bawah kalemnya mentari Afrika Utara,” kenang Yves Saint Laurent.
Usianya belum genap 17 tahun saat Saint Laurent mengikuti perlombaan desain yang dijurikan para perancang adibusana ternama seperti Christian Dior dan Hubert de Givenchy. Ia meraih juara ketiga dalam kompetisi rancangan gaun. Kemenangan ini memacunya untuk lebih serius.
Setamat sekolah menengah atas, pada 1954 Saint Laurent pindah ke Paris dan mempelajari adi busana di École de la Chambre Syndicale de la Haute Couture. Ia mengikuti lagi kompetisi yang sama. Kali ini Saint Laurent sekaligus meraih juara pertama dan ketiga dalam kategori gaun, mengalahkan 6.000 peserta. Di saat yang sama, desainer Karl Lagerfeld juga memenangkan juara pertama untuk kategori mantel.
Momen yang paling bersejarah dalam hidup Yves Saint Laurent adalah ketika Christian Dior terkesan dengan bakat dan mengangkatnya menjadi asisten pada 1955. Bekerja di dekat Dior, Saint Laurent tak hanya menyerap banyak ilmu. Kepercayaan yang diberikan Dior membangunkan imajinasi dan daya kreativitasnya.
Baik Dior maupun Saint Laurent, keduanya mampu menangkap vibrasi estetika dua arah. Ini yang membuat dinamika mereka berjalan mulus. Namun takdir berkata lain. Pada Oktober 1957, Christian Dior meninggal dunia karena serangan jantung. Sesuai keinginan Dior, Yves Saint Laurent ditunjuk sebagai pengganti dan diangkat menjadi direktur artistik rumah adi busana Dior pada usia 21 tahun.
Saint Laurent hanya memiliki beberapa bulan untuk menyiapkan koleksi pertamanya untuk rumah mode Dior. Terbang dan menyepi ke Oran, Saint Laurent menggambar 600 sketsa dalam 15 hari. Pada akhir Januari 1958, semua orang duduk menanti koleksi musim semi/panas 1958 karya Saint Laurent.
Jika Dior menitikberatkan siluet tubuh di pinggang yang sangat ramping, Saint Laurent membuat siluet yang membebaskan. Lahirlah garis Trapeze, ramping di bahu dan semakin ke bawah semakin longgar. Peragaan tersebut sukses dihujani tepuk tangan yang meriah dari kritikus mode dan pelanggan. Semua orang bernafas lega, haute couture telah diselamatkan, ia berada di tangan yang benar.
Namun Yves Saint Laurent bukanlah Christian Dior. Saint Laurent datang dari zaman yang berbeda. Ia melihat adibusana yang berevolusi ke depan. Sebanyak enam musim Saint Laurent membuat koleksi, karya-karyanya semakin gelap, tidak mencerminkan identitas Dior. Pada 1960, Saint Laurent harus menjalani tugas militer. Kesehatannya memburuk, ia masuk rumah sakit. Pasangannya Pierre Bergé, memberi dukungan penuh ketika Saint Laurent ingin mendirikan rumah modenya sendiri.
Maka rumah haute couture Yves Saint Laurent terlahir pada 1961. Peragaan mode pertamanya diawali dengan pea coat yang dipadankan dengan celana berbahan sutra shantung putih dengan selop, menjadi titik kehadiran kembali Saint Laurent ke dunia adibusana. Majalah Life menulis, “Koleksi terindah semenjak Chanel.”
Pea coat, mantel wol tebal yang dikenakan para pelaut untuk mengusir hawa dingin, dipilih karena siluetnya yang longgar menutupi panggul, cocok untuk perempuan yang pada zaman itu tidak terbiasa mengenakan celana panjang. Pakaian pria menjadi inspirasinya dalam mendandani perempuan. Ia juga meminjam trench coat, mantel yang aslinya dikenakan tentara Inggris dalam Perang Dunia I sebagai pelindung di parit-parit (trenches) pertahanan.
Dipendekkannya trench coat yang aslinya sepanjang betis untuk lebih memperlihatkan figur perempuan. Tuksedo yang dibuat untuk melindungi tubuh pria dari asap cerutu, ia desain ulang dengan siluet yang ramping menyiratkan sisi perempuan yang berkuasa. Saint Laurent membuat setelan jas dan celana panjang menjadi ‘normal’ bagi perempuan.
Nama Yves Saint Laurent melaju di luar dunia adibusana. Dimulai dari parfum pertamanya Y dan parfum pria Pour Homme kontroversial yang mengiklankan dirinya sebagai model berpose telanjang. Ia adalah juga desainer pertama yang membuka butik pakaian siap pakai atas namanya. Ia melihat pentingnya keindahan pakaian untuk semua orang. Tak hanya untuk perempuan di kastil, perempuan Yves Saint Laurent ada di mana-mana: jalanan, kereta bawah tanah, dan kantor bursa saham.
Saint Laurent yang selalu berdialog dengan seni mempersembahkan koleksi musim gugur/dingin 1965 untuk Piet Mondrian, memindahkan lukisan karya pelukis Belanda ini ke gaun wol geometri. Selama kariernya, ia juga menafsirkan karya seniman seperti Henri Matisse, Fernand Léger, dan Vincent Van Gogh.
Untuk Piala Dunia FIFA 1988, Saint Laurent menggelar peragaan busana monumental yang menampilkan tiga ratus desain di Stade de France. Tak banyak yang belum pernah dikerjakan desainer ini hingga Costume Institute of the Metropolitan Museum of Art pun membuat pameran yang didedikasikan untuknya. Ia adalah perancang adibusana pertama yang dibuatkan pameran retrospeksinya saat perancang tersebut masih hidup.
Pada Januari 2002, Yves Saint Laurent mengumumkan pengunduran dirinya sebagai perancang mode. Museum, yayasan, dan warisan karya-karyanya masih tetap bisa dinikmati oleh khalayak luas hingga kini, enam belas tahun setelah kematiannya.
“Saya bangga melihat perempuan di seluruh dunia mengenakan tuksedo, setelan celana, pea coat, dan trench coat. Saya ingin mengucapkan terima kasih, saatnya kini mengucap pamit.”
Teks: Rifina Marie