Review Film Kaka Boss: ‘Pleidoi’ Bagi Stigma Orang-orang Timur
15 tahun belakangan, film berlatar Indonesia Timur tak jauh membahas konflik dan budaya dengan riset yang sempit, dihiasi latar kepulauan hingga lokasi syuting yang eksploitatif. Akses pendidikan terbatas, ketertinggalan, dan stigma miskin masyarakat Timur selalu menjadi bahan sebuah naskah.
Produser dengan tipe film di atas membawa deretan aktor/aktris (bukan asli Timur) yang memerankan karakternya dengan dialek serampangan.
Kenyataan tentang mirisnya posisi Orang Timur di perfilman Indonesia dijawab secara representatif lewat film Kaka Boss. Kaka Boss hadir sebagai suguhan yang utuh, dan menggeser sepenuhnya stigma miring tentang Orang Timur yang kasar dan hanya bisa baku pukul.
Alur Cerita Penuh dengan Konflik
Film Kaka Boss menyajikan dua konflik besar. Pertama, konflik Kaka Boss dengan anaknya, Angel. Kedua, konflik Kaka Boss dengan dirinya sendiri yang mencari cara untuk membahagiakan putrinya tersebut.
Secara tersirat, dua permasalahan ini memang bertalian. Namun masing-masing punya perspektif dan solusi yang unik.
Keluarga Kaka Boss berasal dari Indonesia Timur yang tinggal di Jakarta. Ferdinand “Kaka Boss” Omakare berperan sebagai direktur penyedia jasa penagih utang.
Selain itu ia juga adalah pengawal dari Indonesia Timur yang sudah sukses di Jakarta. Namun putrinya, Angel, tidak suka dengan pekerjaan ayahnya itu.
Menurut Angel pekerjaan ayahnya dianggap preman oleh teman sekolahnya. Lalu Kaka Boss pun berupaya untuk mengubah profesinya itu dengan bernyanyi. Namun semua orang, bahkan produser musik pun, tidak berani untuk menegur atau memberi tahu Kaka Boss soal suaranya yang kurang enak didengar itu.
Realitas Orang Timur
Film Kaka Boss menyajikan 100 persen realitas Orang Timur. Pekerjaan seperti penagih utang, tukang berkelahi, penari, hingga penyanyi, ditampilkan dengan lengkap oleh Arie Kriting. Beberapa profesi ini memang lekat dengan Orang Timur pada umumnya dalam keseharian kita.
Namun, Arie Kriting berhasil menyajikan sisi lain dari sekian pekerjaan yang dianggap sebelah mata, seperti penagih utang hingga tukang baku pukul.
Memang benar, Kaka Boss itu debt collector. Namun perusahaan layanan keamanan yang ia rintis menyajikan pilihan lain seperti sekuriti hingga bodyguard artis.
Cara menagih utang Kaka Boss dan kawan-kawan pun terbilang netral. Mereka memastikan klien sudah menempuh jalur hukum tetapi tidak berhasil mengembalikan uangnya dari yang berutang.
Penyelesaian konflik di beberapa adegan film ini tidak diakhiri dengan kekerasan. Ada langkah damai yang fair dan netral yang mereka tempuh, dan menurut saya itu sangat adil.
Sekali lagi, Arie Kriting ingin menyampaikan bahwa tidak selamanya pekerjaan yang lekat dengan Orang Timur itu adalah sumber kekerasan.
Akting Glory Hillary
Sebagai karya debut, akting Glory Hillary di Kaka Boss sangat maksimal. Glory berhasil membawakan karakter Angel dengan layer emosi yang berbeda.
Sebagai remaja, Glory terlihat manis, berani, dan sangat percaya diri, meskipun hidup di lingkungan sosial yang sangat berbeda satu sama lain. Sebagai anak dalam keluarga, Glory mampu memposisikan dirinya sebagai seseorang yang butuh perhatian, kasih sayang, dan punya suara untuk mengkritik ayahnya ketika orang lain tidak berani.
Namun, ada beberapa aktor yang rasanya kurang maksimal saat mengeksekusi dialog. Putri Nere, sebagai istri Kaka Boss, sepertinya kurang percaya diri. Dia baru meyakinkan justru di adegan emosional menuju akhir film.
Sementara Chun Funky Papua dan Nowela juga masih terlihat kurang garang. Bisa dimaklumi karena film Kaka Boss adalah debut mereka di layar lebar. Dialog panjang menjadi agak kurang halus mereka bawakan.
Kebangkitan Sinema Indonesia Timur
Kita mungkin sepakat bahwa orang-orang yang berkulit gelap dan rambut keriting jarang jadi pemeran utama dalam sebuah film Indonesia. Pertanyaannya, kenapa? Saya pikir, Kaka Boss adalah jawaban.
Kaka Boss mungkin bukan film terbaik, tetapi sebuah film yang berani menggelontorkan semacam nota pembelaan di tengah industri perfilman yang sangat Jakartasentris.
Para aktor Indonesia Timur di Kaka Boss tak perlu mengumpat dengan kata kasar, meninju, atau bahkan mengancam sampai orang lain terkencing demi muncul di beberapa scene film.
Kaka Boss hadir dengan ciri khasnya sendiri, orang Timur yang punya cerita. Para aktor Orang Timur di Kaka Boss berhasil menjadi dirinya sendiri sebagai ayah, ibu, anak, hingga sahabat.
Lebih dari itu, mereka membawa sesuatu yang lebih inklusif dari kekerasan yang melekat pada diri orang Timur, yaitu cinta dan pengorbanan. Pilihan ini telah digariskan dengan tegas oleh Arie Kriting.