5 WNI Dipecat dari Perkebunan Inggris karena Lelet Memetik Buah
Lima pekerja Indonesia dipulangkan selang beberapa minggu kedatangan mereka di Inggris. Mereka dipecat dari pekerjaannya karena dinilai tak cukup cepat dalam memetik buah. Imbasnya, kini mereka menghadapi utang besar.
Para WNI itu telah membayar ribuan poundsterling untuk bekerja di perkebunan pemasok buah ke supermarket besar Inggris.
Dikutip dari Guardian, salah satu WNI mengaku telah menjual tanah keluarganya serta sepeda motor miliknya dan orang tuanya untuk menutupi biaya lebih dari £2.000 (setara Rp 42 juta) demi bekerja di sana.
Tuduhan Pungutan Liar
Pengawas eksploitasi tenaga kerja Inggris sedang menyelidiki tuduhan bahwa beberapa pekerja dikenakan biaya ilegal hingga £1.100 (Rp 23 juta) oleh organisasi di Indonesia yang menjanjikan percepatan proses keberangkatan ke Inggris.
Di Indonesia, penghasilan pekerja tersebut hanya sekitar Rp 2 juta per bulan dari berjualan makanan.
“Saya bingung, marah, dan kecewa dengan situasi ini. Saya sudah menghabiskan seluruh uang saya untuk datang ke Inggris,” ujarnya kepada Guardian.
Terdapat bukti pembayaran kepada pihak ketiga selain lebih dari Rp 20 juta yang ditransfer untuk penerbangan dan visa kepada sebuah perekrut berlisensi.
Tuduhan pungutan liar ini menimbulkan pertanyaan tentang risiko eksploitasi dalam skema pekerja musiman di Inggris. Visa para pekerja ini berlaku selama enam bulan namun seluruh biaya risiko finansial ditanggung sendiri.
Menteri Imigrasi Inggris yang baru, Seema Malhotra, akan mempertimbangkan eksploitasi dalam sistem visa kerja.
Komite Penasihat Migrasi merekomendasikan agar visa musiman mencakup lebih banyak perlindungan, termasuk jaminan kerja minimal dua bulan.
Perkebunan Haygrove di Hereford, pemasok buah ke supermarket besar Inggris, memberikan surat peringatan kepada lima WNI sebelum melakukan pemecatan. Mereka baru bekerja selama lima hingga enam minggu lalu diminta kembali ke Indonesia dengan penerbangan yang dipesan oleh perekrut.
Para pekerja mengatakan target di perkebunan termasuk memetik 20 kg ceri dalam satu jam. Mereka mengaku kesulitan karena buah semakin sedikit.
Salah satu pekerja meminjam uang dari bank, teman, dan keluarga, dan masih memiliki utang lebih dari Rp 23 juta.
“Kenapa aku berakhir seperti ini? Sekarang saya di Indonesia tanpa pekerjaan. Ini tidak adil karena saya sudah berkorban begitu banyak,” katanya, seperti dikutip dari Guardian.
Direktur Pelaksana Haygrove, Beverly Dixon, mengatakan perkebunan secara konsisten membayar upah pekerja meski kinerja buruk. Pihaknya juga mengeklaim telah mendukung untuk meningkatkan kualitas pekerja. Menurutnya, target ditetapkan berdasarkan standar yang dapat dicapai oleh mayoritas pekerja.
Dua WNI diduga melarikan diri ke London dan menolak naik penerbangan pulang yang telah dipesan. Mereka kini mendapatkan pekerjaan baru di tempat penampungan berkat bantuan aktivis kesejahteraan migran.
“Skandal ini menunjukkan bahwa beban risiko terkait skema pekerja musiman di Inggris tidak dibebankan pada supermarket, peternakan, operator skema, atau pelaku rantai pasokan lainnya, tapi oleh pekerja dari luar negerinya sendiri,” ujar spesialis hak-hak buruh migran yang membantu para pekerja, Andy Hall.
Investigasi oleh Gangmasters and Labour Abuse Authority (GLAA) dibuka Juni lalu, dengan fokus pada tuduhan pungutan liar di Indonesia. Haygrove menyatakan keprihatinan mereka dan mendukung penuh penyelidikan GLAA.
The Guardian menemukan WNI datang ke Inggris dengan utang hingga £5.000 (Rp 100 juta) kepada broker ilegal pada 2022 dan menyebabkan perekrut resmi kehilangan lisensinya.