Informasi Terpercaya Masa Kini

Sosok di Balik Pemugaran Candi Borobodur, Dialah Prof Dr. R. Soekmono

0 2

Tak banyak orang yang tahu siapa di balik pemugaran Candi Borobudur. Dialah Prof. Dr. R. Soekmono, pernah menjadi dosen tamu di Cornell serta Hawaii dan kemudian “dipinjam” Universitas Leiden.

Penulis: Muljawan Karim untuk Majalah Intisari edisi Desember 1986

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Intisari-Online.com – Seokmono merasa heran. Bagaimana tidak, bawahannya di Dinas Purbakala tidak bisa membuat foto relief Borobudur sebagus yang dibuat orang Belanda puluhan tahun sebelumnya.

Padahal anak buahnya itu juru foto yang baik. Alat potretnya mestinya juga sudah lebih canggih dari yang dipakai Belanda.

Itu terjadi pada 1955, ketika Soekmono baru dua tahun memimpin Dinas Purbakala. Karena penasaran, Soekmono turne ke candi Buddha buatan abad ke-9 itu.

Di sana dia baru menemukan jawabannya. Yang salah bukan juru foto atau alat potretnya. Kondisi batuan candi ternyata sudah jauh lebih jelek dari saat foto-foto lama dibuat.

Papi menangis

Bukan hanya relief-reliefnya yang sudah makin memudar karena gerusan air hujan dan jamur yang tumbuh subur. Tingkat kelembapan udara yang tinggi dan resapan air hujan yang berlebihan mempercepat korosi di seluruh bagian candi yang terbuat dari batu andesit dan basal yang relatif lunak.

Permukaan dan tubuh candi bagian bawah juga tak kuat lagi menopang berat badan bagian atasnya. Akibatnya banyak dinding candi yang miring ke depan atau melesak ke bawah. Pendeknya, Borobudur persis orang terserang kanker ganas.

Soekmono mengusulkan kepada pemerintah untuk memugar Borobudur secara menyeluruh. Tujuannya supaya warisan budaya kebanggan Indonesia itu tetap dapat berdiri. Paling tidak untuk seribu tahun lagi.

Antara 1907-1911 pemerintah kolonial Belanda sejatinya sudah pernah melakukan usaha yang sama. Tapi apa yang dilakukan baru sampai tahap penyusunan kembali batu-batu Borobudur yang berserakan, lepas dari bangunan induknya.

Perjuangan yang dimulainya pada 1955 baru menelurkan hasil nyata dua puluh tahun kemudian. Tahun 1973 Presiden Soeharto sendiri yang meresmikan dimulainya pemugaran Borobudur yang dibiayai secara internasional.

Melalui UNESCO, tak kurang dari 28 negara turut menyumbang. Termasuk negara-negara yang sulit dicari kepentingannya terhadap Borobudur, seperti Ghana dan Kuwait.

Soekmono-lah yang diberi kepercayaan untuk memimpin proyek raksasa yang menelan biaya sampai 25 juta dolar Amerika atau hampir 41 miliar rupiah dan memakan waktu sampai sepuluh tahun ini.

Tahun 1983 Borobudur sudah kembali tegak dalam kemegahannya. Bisa dipahami bagaimana terpukulnya Soekmono ketika Borobudur diledakkan teroris bulan Januari 1986. “Papi sampai menangis,” kata Endang, salah seorang putrinya yang juga sarjana arkeologi.

Bukan hanya Borobudur yang pernah ditangani pemugarannya Soekmono, juga banyak bangunan purbakala lain di Jawa dan Bali. Meski sudah ikut dalam puluhan proyek yang memakan biaya puluhan juta atau, bahkan, milyaran rupiah, dia tetap tinggal dalam rumah yang tak bisa dikatakan mewah di bilangan Tebet, Jakarta.

Cucu Mbah Pilial

Soekmono lahir pada 14 Juli 1922 di Ketanggungan, Brebes, Jawa Tengah. Dia adalah anak tertua dari sembilan bersaudara.

Ayahnya, Atmosiswoyo, seorang guru Volkschool, Sekolah Rakyat. Kakek-neneknya dari pihak ayah adalah petani, sedang kakek dari pihak ibu seorang karyawan bank.

“Saya tidak tahu persis apa jabatannya. Tapi ia suka dipanggil dengan sebutan Mbah Pilial. Mungkin kepala cabang, ya.” Pilial memang bisa berasal dari kata Belanda, filialen, yang artinya kantor cabang.

Ayahnya seorang penggemar wayang yang hampir tak pernah melewatkan satu pagelaran pun. Setiap kali dia pergi menonton, Soekmono kecil pasti diharuskan ikut dan kemudian diberi penjelasan tentang makna cerita yang disaksikan.

Soekmono sampai hapal semua tokoh dan lakon wayang. Ketika di AMS (Algemene Middelbare School), setingkat SMA, dia tidak mendapat kesulitan sedikit pun jika belajar tentang Ramayana atau Mahabharata.

Dia juga mampu menggambar tanpa mencontoh tokoh wayang yang mana saja, termasuk Gatotkaca, tokoh kegemarannya. “Semua sudah di luar kepala,” katanya bangga.

Setamat Soekmono dari MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat SMP, Atmosiswoyo berharap sekali anaknya itu melanjutkan pelajaran ke MOSVIA (Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren). Itu adalah sekolah menengah calon pegawai pemerintah kolonial, yang banyak diidamkan orang tua pada masa itu.

Namun gayung tak bersambut, Soekmono sendiri ingin masuk sekolah guru.

Karena angka-angkanya baik dia disarankan masuk AMS Jogja, tempat dia kemudian berkenalan dengan teman-teman seangkatannya. Sebut saja Koentjaraningrat (bapak antropologi Indonesia), Rosihan Anwar (tokoh pers) dan Usmar Ismail (tokoh perfilman).

Gara-gara tak mengikuti kehendak sang ayah, Soekmono tak lagi dibiayai orangtuanya. Selama bersekolah di AMS antara 1939-1942 semua ongkos ditanggung oleh seorang paman yang tinggal di Betawi.

Sejak awal, dan untungnya, dia memang tidak setuju keponakannya masuk MOSVIA yang dianggapnya feodal.

Bajunya selalu putih

Sejak di MULO Soekmono sebenarnya sudah tidak lagi tinggal bersama orangtuanya. Sebagai cucu pertama dia diharuskan ngabdi pada kakek-neneknya dari pihak lbu, yang berdua saja tinggal di sebuah rumah besar yang juga terletak di Purwokerto.

Setiap mahasiswa yang pernah mengikuti kuliah Soekmono pasti terkesan akan kedisiplinannya. Profesor yang selalu berkemeja putih ini bukan saja hampir tak pernah mangkir memberi kuliah, tapi juga selalu datang tepat pada waktunya.

Menurut Soekmono, dari kakeknya yang pegawai bank inilah dia dididik berdisiplin. Di rumahnya, semua benda yang tidak sedang dipakai harus disimpan di tempatnya.

Semua pintu rumah harus ditutup dan dikunci pada pukul 20.00, dan dibuka lagi pada pagi harinya tepat pada pukul 06.00. “Tidak boleh kurang, tidak boleh lebih,” cerita Soekmono.

Siapa pun, termasuk Soekmono, tidak diperkenankan keluar-masuk rumah setelah atau sebelum jam-jam tersebut. Sangat ketat.

Jadi, kalau Soekmono kecil yang anggota kepanduan ini ikut acara api unggun sampai pukul 21.30, dia terpaksa pulang dengan melompat pagar dan hanya tidur di halaman, di bawah pohon pisang.

Begitu pula jika dia harus keluar rumah sebelum pukul 06.00, malam sebelumnya Soekmono sudah harus tidur di halaman dan keluar dengan melompat pagar.

“Walau sampai menangis minta dibukakan pintu, pintu tetap tak akan dibuka sampai waktunya tiba.” Karena itu dia setiap kali juga terpaksa harus mengangkat sepedanya melewati pagar jika pulang kemalaman atau pergi kepagian.

Tapi dari situlah Soekmono merasakan sendiri manfaat hidup berdisiplin. Dia, misalnya, selalu meletakkan buku dan benda-benda lain miliknya di tempat-tempat yang tetap. “Jadi saya selalu dapat dengan mudah menemukan apa yang saya perlukan.”

Termasuk juga kebiasaannya mengenakan baju putih.

“Memang. Saya ini ‘kan sering bepergian. Dengan hanya membawa baju-baju yang warnanya sama, kemungkinan tertukar dengan baju orang lain jadi lebih kecil. Lagi pula, kalau mau pulang saya hanya tinggal menghitung jumlahnya saja. Kalau cocok dengan jumlah yang dibawa, artinya tidak ada yang tertinggal,” katanya.

Gagal jadi sastrawan

Waktu di bangku AMS hampir setiap hari Minggu Soekmono pergi ke candi-candi di sekitar Yogya, seperti Prambanan, Plaosan, Sari dan Ratu Baka. Maksudnya untuk melihat sendiri apa yang sudah dibicarakan dalam pelajaran di sekolah.

Di SMT (Sekolah Menengah Tinggi), sekolah pengganti AMS di zaman Jepang, guru sejarah kebudayaannya, Soegrada Poerbakawatja (kelak menjadi guru besar dan tokoh pendidikan), menugaskan para siswa menerjemahkan buku karangan arkeolog Belanda, Prof. W.F. Stutterheim, yang menjadi buku bacaan wajib.

Soekmono menerjemahkan bagian buku yang membicarakan tentang candi-candi Prambanan, Kalasan dan Sari.

Soekmono ternyata juga berminat pada bidang sastra. Ketika masih menjadi pelajar MULO, dia sudah dapat menulis karangan dalam Bahasa Belanda yang berjudul Het kamp aan bet meer (Perkemahan di Tepi Danau), yang menceritakan pengalamannya sebagai anggota kepanduan.

Waktu guru bahasa Belanda mengajarkan cara menulis buku harian, dia juga mendapat pujian karena bahasa dan isi catatan hariannya dianggap baik. “Saya satu-satunya murid yang buku hariannya kumal karena selalu dibawa berkemah.”

Bakat mengarangnya yang besar inilah yang mungkin membuat Soekmono sampai sekarang tak pernah sulit menyusun berbagai tulisan.

Kegemarannya pada kesusastraan makin berkembang ketika dia duduk di bangku AMS. Karena itu, setamat AMS dia berangkat berangkat ke Jakarta untuk belajar sastra pada Sutan Takdir Alisjahbana yang dikaguminya — yang pada 1943 sudah bekerja di Balai Pustaka.

Penerbit Balai Pustaka merupakan tempat berkumpulnya para sastrawan, seperti Chairil Anwar dan Nur Sutan Pamuntjak. Setelah dites oleh Sutan Takdir sendiri, Soekmono diterima bekerja sebagai penulis.

Dia dimasukkan dalam Sidang Pengarang Jawa dan bertugas menyusun karangan-karangan dalam bahasa Jawa.

Selain hanya mengarang dalam bahasa Jawa, entah kenapa Soekmono juga tidak pernah menulis karangan-karangan yang bersifat sastra. Yang dia hasilkan malah buku-buku pengetahuan umum, yang antara lain berjudul Kasiate Kedele (Khasiat Kedelai).

Tugasnya cuma berbaris

Selama bekerja di Balai Pustaka antara tahun 1943-1947 Soekmono sebenarnya tak banyak ditugaskan menyusun karangan. Dalam masa pendudukan Jepang dia diberi tugas lain, yakni memimpin taiso alias senam kesegaran jasmani di kantornya dan kantor Percetakan Negara.

Selain itu dia juga menjadi anggota Seinendan, salah satu kesatuan yang dibentuk Jepang, di mana dia diangkat menjadi komandan yang bertugas melatih baris berbaris. “Jadi selama zaman Jepang kerja saya cuma baris,” kata Soekmono setengah bergurau.

Jatah makan dan pakaian yang diberikan Jepang pada anggota Seinendan sangat terbatas. Semua anak buah Soekmono waktu itu jadi kurus-kurus dan pakaian seragamnya sudah kusam.

Suatu kali Soekmono berkata pada atasannya: “Coba Tuan lihat. Mereka berlatih dengan semangat baja. Ini karena saya kerasi. Tapi besok atau lusa mereka pasti berontak kalau tidak diberi seragam baru dan jatah makan tidak ditambah.”

Jepang menambah jatah beras untuk makan pagi menjadi 200 gram per orang. Sebelumnya jatah makan sehari hanya 250 gram.

“Saya juga langsung diperintahkan membeli bahan pakaian untuk seragam baru. Karena di Jakarta tidak ada, saya sampai harus mencari ke Cirebon dan Sragen, Jawa Tengah.”

Waktu Jepang bertekuk lutut pada Sekutu dan revolusi fisik pecah di tahun 1945, dia bergabung dengan teman-temannya yang bergerilya di daerah sekitar Tambun, Karawang dan Cikampek.

“Saya hanya ikut-ikutan saja,” kata Soekmono yang memang tidak pernah benar-benar menjadi anggota suatu laskar.

Berjualan rokok

Sekadar ingin tahu situasi di berbagai daerah, Soekmono pergi berkeliling Jawa: ke Cirebon, Tegal, Sidoarjo, Kediri, Surabaya dan Malang.

“Saya bisa gratis naik kereta api ke mana saja.” Soalnya, sebagai penulis yang sering membuat karangan bagi Majalah Pantja Raja Soekmono bisa memiliki kartu pers.

Di Kediri dia sempat melihat latihan perang-perangan yang dilakukan LASWI (Laskar Wanita Indonesia) yang dipimpin S.K. Trimurti. Dia merasa risih dan malu.

“Masak wanita saja ikut berjuang, saya yang laki-laki malah menganggur, keluyuran ke sana kemari.” Itu sebabnya dia lalu pergi ke Malang untuk mendaftarkan diri sebagai prajurit Divisi VIII. Tapi gagal.

Sebelum sampai di Malang dia keburu ditangkap para pemuda PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia), kelompok berhaluan kiri yang ekstrem. Soekmono yang buta politik dan tak jelas kegiatannya mungkin dicurigai memihak Belanda. Karena tak cukup bukti, setelah beberapa hari dia dibebaskan kembali.

Tak ada penghasilan tetap, hidup Soekmono selama masa revolusi benar-benar sulit. Padahal dia sudah punya istri yang jadi tanggungannya.

Tahun 1946 dia menikah dengan Mariani Dewi Parwati, rekan kerjanya waktu masih aktif di Balai Pustaka. Bersama H.B. Jassin, juga koleganya di Balai Pustaka, dia pernah sampai terpaksa jadi penjaja. “Jassin berjualan koran, saya berdagang rokok,” kenang Soekmono.

Gara-gara duri bandeng

Di masa-masa sulit yang dimulai sejak zaman Jepang, setiap waktu luang dimanfaatkan Soekmono untuk belajar di ruang perpustakaan Balai Pustaka. Dia membaca buku-buku arkeologi, seperti buku karangan N.J. Krom, Javaanse Kunst (Kesenian Jawa).

Tahun 1947 baru Soekmono memiliki pekerjaan tetap lagi. Dia melamar dan diterima magang bekerja di Dinas Purbakala, yang waktu itu masih disebut Oudheidkundig Dienst.

Setelah setahun bekerja, Prof. A.J. Bernet Kempers, atasannya, memberinya izin untuk melanjutkan studi di bidang kepurbakalaan.

Di bawah bimbingan guru besar arkeologi di UI itu Soekmono menyelesaikan kuliah pada tahun 1953 dan menjadi sarjana arkeologi Indonesia yang pertama. Teman seangkatannya hanya tiga orang.

“Dua di antaranya malah hanya mahasiswa pendengar,” katanya.

Yang satunya lagi seorang mahasiswi, Satyawati Suleiman, yang lulus tak lama setelah Soekmono. Wanita kelak menjadi peneliti di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan dosen teman sejawat Soekmono di Jurusan Arkeologi UI.

Kalau saja dia tidak tertusuk duri bandeng, Soekmono pasti bisa menyelesaikan kuliahnya lebih cepat. Gara-gara kena infeksi dia tidak bisa kuliah sampai setahun lamanya.

Pengalamannya menjadi asisten ahli purbakala di Oudheidkundig Dienst membuat ilmu arkeologi Soekmono sudah matang meski dia masih mahasiswa. Sampai-sampai dia kemudian diangkat menjadi asisten dosen yang turut menyiapkan kuliah-kuliah yang diberikan Bernet Kempers.

Kuliah yang dirampungkannya dalam waktu yang relatif singkat juga melegakan Bernet Kempers, yang mengharapkan Soekmono sesegera mungkin dapat menggantikannya sebagai kepala Dinas Purbakala. Soalnya, situasi politik di awal tahun 1950-an itu tidak memungkinkan orang Belanda dapat terus bekerja di Indonesia.

Seperti yang diusulkan Bernet Kempers, dalam tahun 1953 itu juga Soekmono diangkat menjadi pegawai tetap dan langsung menjabat kepala Dinas Purbakala sampai tahun 1973. Sementara itu dia juga membantu mengajar di beberapa perguruan tinggi, seperti di IKIP Batusangkar, Sumbar, UGM dan UI.

Kagum pada istri

Tahun 1973 Soekmono ditunjuk sebagai pemimpin Proyek Pelita Pemugaran Borobudur yang diperkirakan akan memakan waktu pelaksanaan sampai sepuluh tahun. Waktu itu dia sudah berusia 51 tahun dan akan pensiun empat tahun lagi.

Ini berarti dia tidak akan sempat merampungkan tugasnya sebagai pimpinan proyek, karena pemimpin proyek pemerintah tidak boleh berstatus pensiunan.

Dosen di perguruan tinggi negeri, jika tenaganya dibutuhkan, bisa pensiun tidak pada usia 55, tapi 65 tahun. Soekmono melihat hal ini sebagai kemungkinan untuk memperpanjang masa kerjanya.

Karena itu dia lalu pindah kerja ke UI, yang baru akan memensiunkannya tahun 1987, dan tercapailah-cita-citanya untuk menangani pemugaran total Borobudur dari awal hingga selesai.

“Salah satunya adalah Bernet Kempers,” jawab Soekmono waktu ditanya siapa orang yang paling dikaguminya. “Dia itu orangnya pandai sekali. Setiap kata yang diucapkannya pasti dapat dipertanggungjawabkan.”

Bekas guru dan atasannya itu kemudian tinggal di Negeri Belanda dan menghabiskan sisa hidupnya di sana. Soekmono ingat betul saat pertama kali dia ikut turne dengan Bernet Kempers, dia menanyakan apakah Soekmono sudah menulis surat untuk istri.

“Belum,” jawab Soekmono. Lalu Kempers bilang bahwa suami yang baik harus menulis surat pada istrinya.

Cara Bernet Kempers menulis surat, menurut Soekmono, sangat unik. Setiap malam dia membuat catatan dari semua yang dia kerjakan dan alami seharian.

Dia menulis di atas kertas yang rangkap dua, memakai karbon. Lembar pertama dimasukkan ke dalam amplop dan dikirimkan pada istrinya, lembar kedua dijadikan arsipnya sendiri.

Ini dilakukannya tiap hari. “Jadi dia itu tidak cuma mengabdi pada ilmu, tapi juga pada istri,” kata Soekmono tentang guru yang sudah dianggapnya orang tua sendiri itu.

Orang lain yang dikagumi Soekmonvo adalah istrinya. “Dia telah membuktikan berkali-kali bahwa cintanya pada suami sama sekali tidak ada kaitan dengan uang.”

Menurut Soekmono, dalam keadaan yang sulit bagaimanapun Mariani tidak pernah mengeluh. Juga ketika Soekmono hanya berpenghasilan dari berdagang rokok di zaman clash.

Sayang, setelah beberapa waktu menderita sakit lever, Mariani akhirnya meninggal dunia pada tahun 1983. Hanya dua bulan saja setelah Soekmono menyelesaikan tugas besarnya memugar Borobudur.

Mengoleksi batu akik

Soekmono juga biasa pergi ke Belanda. Sejak awal September 1986, dia “dipinjam” Universitas Leiden untuk mengajar arkeologi Indonesia di sana selama setahun. Sebelumnya, dia juga pernah menjadi dosen tamu di Amerika Serikat, di Universitas Cornell dan Hawaii.

Sambil mengajar, Soekmono menyusun disertasinya yang berjudul Candi: Fungsi dan Pengertiannya, di bawah bimbingan Prof. P.J. Zoetmulder, seorang ahli bahasa Jawa kuno. Disertasi yang dipertahankan pada tahun 1974 ini menjadikan Soekmono doktor arkeologi Indonesia yang pertama.

Bagi yang tak terlalu mengenalnya, Soemono sering dianggap orang yang sulit. Termasuk dalam soal makan.

Dia, misalnya, selalu menolak jika ditawari makan daging daging atau ikan. “Padahal kalau sudah kenal, saya ini malah gampang lho. Diberi nasi, tempe sama sambal saja sudah cukup,” Soekmono menjelaskan selera makannya.

Soekmono pada dasarnya seorang vegetarian. “Saya kadang-kadang masih suka makan ayam, tapi yang saya senang hanya ayam goreng Mbok Berek di Yogya,” kata Soekmono sambil tertawa.

Ditanya apa hobinya di luar kegiatan dinasnya, Soekmono bingung. “Waktu masih muda, banyak. Tapi sekarang tak punya waktu. Terutama sejak sibuk dengan proyek Borobudur.”

Selagi di AMS Soekmono mengaku senang fotografi. Dia juga gemar musik dan bisa memetik gitar, bahkan sampai punya band Hawaiian. Setelah kawin dia tetap gemar memetik gitar. Salah satu lagu favoritnya adalah “La Paloma”.

“Dulu saya juga mengoleksi perangko.” Perangkonya sempat mencapai 5.000-an buah. Tapi waktu zaman Jepang semuanya dibakar adik-adiknya sendiri.

“Soalnya, saya punya banyak perangko Belanda yang bergambar Ratu Wilhelmina,” kata Soekmono. Masih di zaman Jepang, seorang teman memberikan seluruh koleksi perangkonya pada Soekmono. Sayang, koleksi ini hilang entah ke mana di zaman revolusi.

Waktu menangani proyek Borobudur, Soekmono sempat terkena stress karena beratnya tanggung jawab. Dia lalu memulai hobi baru, mengumpulkan batu akik. “Ini disarankan oleh banyak orang, termasuk dokter. Katanya, hobi ini manjur untuk melupakan kesibukan sejenak.”

Namun, setelah koleksi batu akiknya mencapai sekopor kecil, Soekmono malah tambah stress karena takut. “Soalnya, ada orang ‘pintar’ yang bilang bahwa kalau tidak cocok batu-batu akik itu malah bisa membawa bahaya atau penyakit pada diri saya.”

Leave a comment