59 Tahun Lalu Indonesia Lakukan Redenominasi Rupiah dari Rp 1.000 Jadi Rp 1
TEMPO.CO, Jakarta – Pada 13 Desember 1965, Indonesia melaksanakan kebijakan redenominasi rupiah yang menjadi momen penting dalam sejarah moneter bangsa. Kebijakan ini dilakukan dengan menghapus tiga angka nol pada mata uang lama. Sebagai contoh, pecahan Rp 1.000 lama digantikan dengan Rp 1 baru, tanpa mengubah daya beli atau nilai tukar mata uang tersebut di pasaran.
Langkah redenominasi rupiah ini diterapkan di era Presiden Sukarno berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 27 Tahun 1965. Tujuannya adalah menciptakan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia. Bank Indonesia bertindak cepat dengan menerbitkan uang pecahan baru, meskipun kebijakan ini dinilai dilakukan secara mendadak.
Apa Itu Redenominasi?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang tanpa memengaruhi nilai tukarnya. Kebijakan ini berbeda dari sanering, yang memangkas nilai uang secara drastis seperti yang terjadi pada 1959. Dalam redenominasi, jumlah digit pada pecahan mata uang dikurangi, namun nilai sebenarnya tetap sama. Contohnya, Rp 100.000 menjadi Rp 100 setelah redenominasi, tetapi daya belinya tetap setara.
Tujuan utama redenominasi adalah untuk menyederhanakan pencatatan keuangan dan meningkatkan efisiensi transaksi. Di tingkat internasional, redenominasi juga dianggap mencerminkan kredibilitas ekonomi sebuah negara, sehingga memperkuat citra Indonesia di mata dunia.
Pada 1965, redenominasi dilakukan untuk mengatasi tantangan moneter yang dihadapi Indonesia pasca-revolusi. Dengan pecahan baru yang lebih sederhana, pemerintah berharap dapat mendorong stabilitas ekonomi dan mempermudah sistem pembayaran. Namun, tak lama setelah kebijakan ini diterapkan, nominal rupiah kembali ke format awal akibat ketidakstabilan ekonomi yang terus berlanjut.
Wacana Redenominasi di Era Modern
Sejak peristiwa tersebut, isu redenominasi rupiah beberapa kali mencuat. Pada 2013, pemerintah merancang Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi dan berharap kebijakan ini dapat diimplementasikan pada 2014. Sayangnya, rencana tersebut tidak terealisasi. Pada 2023, isu ini kembali muncul, namun dibantah oleh Bank Indonesia.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan pada Juni 2023 bahwa konsep redenominasi sudah lama disiapkan. Penyederhanaan digit dianggap mampu meningkatkan efisiensi transaksi dan mencerminkan kredibilitas ekonomi Indonesia di tingkat global. Meski demikian, kebijakan ini masih memerlukan kajian mendalam dan persiapan matang sebelum dapat diterapkan.
Dalam skala internasional, redenominasi kerap dilakukan untuk meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan memperkuat posisi ekonomi negara. Contoh nyata terlihat dalam penggunaan simbol ‘K’ sebagai singkatan ribuan di masyarakat, seperti Rp 15K untuk Rp 15.000. Dengan redenominasi, sistem keuangan dan pencatatan akuntansi juga menjadi lebih sederhana.
Sebagai mata uang dengan pecahan terbesar di dunia setelah Zimbabwe dan Vietnam, rupiah saat ini memerlukan penyederhanaan agar lebih kompetitif. Melalui redenominasi, Indonesia diharapkan dapat lebih setara dengan negara-negara lain, khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Melynda Dwi Puspita dan Ananda Ridho Sulistya berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Indonesia Pernah Redenominasi Rp 1.000 Menjadi Rp 1, Begini Alasan Keputusan 58 Tahun Lalu